HANYA 6 km dari Sedayu Kota di Kabupaten Grsik, Jawa Timur,
terletak Lasem. Desa ini bisa dicapai dengan ojek dari jalan
besar dengan membayar Rp 150. Ojek ini cukup laris, terutama
pada hari Jumat Legi dan Jumat Wage, di kala orang ramai
berziarah ke kuburan keramat suyut jok dekat Desa Lasem itu.
Siapa Buyut Jok itu dan bagaimana riwayatnya? Akhwan. Jurukunci
makam itu, yang mengaku sudah turunan ke-6 dalam pekerjaan
itu, menjawab "Maaf, saya sendiri tak tahu." Juga Kepala Seksi
kebudyaan P&K Gresik, J.V. Sugiharto, tak dapat memberi
penjelasan.
Agaknya rahasia Buyut Jok kini mulai tersingkap. Sebuah tim
penelitian dari salai Arkeologi Yogyakarta beberapa minggu lalu
berkunjung antara lain ke Desa Lasem itu. Sebelumnya di dekat
desa itu ditemukan sebuah prasasti yang diduga berasal dari
zaman Erlangga, dan tulisannya menyebutkan sejumlah tokoh yang
dimakamkan di daerah itu.
Salah satu dari 8 anggota tim yang diketuai Kepala Balai
Arkeologi itu, Drs Goenadi Nitihaminoro, bernama Drs M.M.
Sukarto K. Atmojo. Ia seorang ahli bahasa Jawa Kuno dan sempat
menemukan nama Buyut Jok pada prasasti itu. Selain itu, juga
nama Lasem terdapat di antara tulisan itu.
4 Keping
"Kebanyakan ahli purbakala kalau mendengar nama Lasem, terkesan
akan Lasem di Jawa Tengah, sebelah timur Rembang," ujar Sukarto.
Prasasti itu agaknya menekankan bahwa Lasem di Jawa Timur pernah
berperan dalam sejarah. "Jadi Lasem Sedayu lebih menonjol
dibanding Lasem Rembang," simpulnya.
Semula prasasti itu ditemukan oleh sejumlah anak Desa Lasem di
tengah reruntuhan yang diduga sebagai lokasi bekas candi.
sangunan candi itu tidak ada lagi. Hanya bekas gerbang--dalam
pagar batu gamping yang mengelilingi lokasinya--masih ada. Di
tengah pekarangan bekas candi itu terletak sebuah batu lempengan
berbentuk bulat, rata dengan tanah.
Sudah beberapa bulan lamanya, anak-anak desa gemar mencungkil
bahan batu itu, karena ternyata baik untuk mengasah pisu dan
clurit mereka Untuk mendapatkan potongan lebih besar, rupanya
mereka mencari batu itu. Kemudian mereka terkejut ketika
tampak di bawahnya sebuah lempeng batu bulat lagi, yang "penuh
tulisan yang mereka tak mengerti," tutur Taslikan, lurah Lasem.
Kastolan, mahasiswa IAIN Surabaya, kebetulan pulang kampung dan
melihar batu itu. Segera ia menganjurkan kepada Taslikan agar
batu itu dijaga baik-baik dan melaporkannya kepada pemerintah.
Kini batu prasasti itu -- sudah pecah menjadi 4 keping
--disimpan di salai Dusun Lasem, bercampur dengan onggokan padi
hasil panen desa. selum disimpan di museum. Tim dari Yogya itu
mengalihkan tulisan pada prasasti itu ke kertas kawat, guna
dipelajari lebih lanjut.
Prasasti itu cenderung menguatkan dugaan bahwa Segalu Kota
merupakan lokasi bandar utama Kerajaan Majapahit. Sekalipun
sekaran kota itu letaknya jauh dari pantai, berleda dengan
Sedayu Lawas di pantai utara Lamongan. "Selana sekian tahun,
mungkin saja terjadi perubahan garis pantai," ujar Sukarto
anggota tim lainnya, Ir. sambang Wijaya, geolog dari UGM
Yogyakarta, sependapat dalam hal ini.
Indikasi tentan lokasi bandar Majapahit yang terunkap dari
sebuah nakah Cina menyebutkan sebagai Sugalu. Oleh W.P.
Groeneveldt, ahli purbakala selanda yang menerjemahkan naskah
Cina itu, Sugalu diartikan sebagai Sedayu. Naskah itu
mengisahkan perjalanan balatentara Cina ketika mendarat dan
melintas wilayah yang sekarang merupakan bagian utara Lamongan
dan Gresik, dua kabupaten di Jawa Timur.
Di wilayah itu terdapat dua tempat yang dikenal dengan nama
Sedayu. Desa Sedayu Lawas di Kecamatan Brondong, Lamongan, dan
Sedayu Kota di Kecamatan Sedayu, Gresik. Groeneveldt tidak
menjelaskan Sedayu yang mana, atau mungkin juga naskah Cina
tidak menyebutnya. Yang menarik ialah naskah itu menyebutkan
Buyut jok dengan nama Danyangan Jok.
Indikasi lain datang dari prasasri yang diremukan di Karang
Bogem. "Sedayu dan Gresik disebut bersama dalam prasasti yang
bertarikh 1387 M," jelas Sukarto. Dukungan lain lagi, menurut
Sukarto, ialah Sedayu Kota terletak dekat desa Badanten.
Sebuah prasasti zaman Majapahit bertarikh 1385 M menyebut
sejumlah desa di pinggir kali, antara lain Madanten. Nama ini,
menurut Sukarto, dapat disamakan dengan nama Badanten. Goenadi,
ketua rim, menambahkan bahwa 1-nlk Sedayu Kota secara stategis
dan geografis lebih logis terhadap Trowulan di Mojokerto,
ibukota Kerajaan Majapahir.
Pelabuhan Kuno
Penduduk Sedayu Kota gemar mengisahkan asal usul mereka dari
Sedayu Lawas, namun itu rupanya belum berarti bahwa Sedayu
Lawas lebih tua walaupun pakai embel-embel lawas. "Kata 'lawas'
dan 'kora' di belakang Sedayu bisa saja ditambahkan kemudian
oleh penduduk," simpul Sukarto.
Penelitian di sekitar Sedayu Kota itu bersifat penjajakan saja.
"selum merupakan situs," ujar Sukarto lagi. Berkata pula Goenadi
"Dari hasil penelirian ini tentu akan dicari data lebih lanjut."
Mungkin dengan cara penggalian, tapi itu tergantung dari
persediaan biaya.
Tim itu juga meneliti lokasi sekitar Sedayu Lawas. Dekat desa
itu terdapat tempat yang dikenal dengan nama Karang seling.
"Karena di sana ditemukan hanyak keramik, pasti dulunya
merupakan tempat berlabuh," ujar Sukarto. Cenderung menganggap
tempat ini sebagai pelabuhan kuno. Semua pantai yang ada
teluknya bisa dikatakan sebagai tempat berlabuh.
Pecahan keramik dari situ kini sedang diselidiki di Jakarta.
"Kalau nanti diketahui keramik itu berasal dari zaman dinasti
apa, baru bisa diketahui pertangalannya," jelas Sukarto.
Juga wilayah sekitar Tuban menjadi sasaran penelitian tim iru.
"Di Tuban kami temukan dua buah prasasti yang ada hubungan
dengan Majapahit," tutur Goenadi. Keduanya ditemukan di Desa
sandungrejo, Kecamaran Plumpang, Kabupaten Tuban, Jawa Tengah,
sekitar 400 m dari tepi Bengawan Solo. Prasasti itu bertarikh
1277 tahun Saka (1355 M) dan menyebutkan nama Tuban. Maka
sekarang bisa dipastikan bahwa Tuban di tahun 1355 sudah ada,
justru pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini