Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Sugalu dulu, sedayu kini

Di desa lasem diketemukan sebuah prasasti, berasal dari zaman erlangga, suatu tim penelitian purbakala mencoba mengaitkan lasem dan sedayu, bekas wilayah pelabuhan majapahit. (ilm)

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA 6 km dari Sedayu Kota di Kabupaten Grsik, Jawa Timur, terletak Lasem. Desa ini bisa dicapai dengan ojek dari jalan besar dengan membayar Rp 150. Ojek ini cukup laris, terutama pada hari Jumat Legi dan Jumat Wage, di kala orang ramai berziarah ke kuburan keramat suyut jok dekat Desa Lasem itu. Siapa Buyut Jok itu dan bagaimana riwayatnya? Akhwan. Jurukunci makam itu, yang mengaku sudah turunan ke-6 dalam pekerjaan itu, menjawab "Maaf, saya sendiri tak tahu." Juga Kepala Seksi kebudyaan P&K Gresik, J.V. Sugiharto, tak dapat memberi penjelasan. Agaknya rahasia Buyut Jok kini mulai tersingkap. Sebuah tim penelitian dari salai Arkeologi Yogyakarta beberapa minggu lalu berkunjung antara lain ke Desa Lasem itu. Sebelumnya di dekat desa itu ditemukan sebuah prasasti yang diduga berasal dari zaman Erlangga, dan tulisannya menyebutkan sejumlah tokoh yang dimakamkan di daerah itu. Salah satu dari 8 anggota tim yang diketuai Kepala Balai Arkeologi itu, Drs Goenadi Nitihaminoro, bernama Drs M.M. Sukarto K. Atmojo. Ia seorang ahli bahasa Jawa Kuno dan sempat menemukan nama Buyut Jok pada prasasti itu. Selain itu, juga nama Lasem terdapat di antara tulisan itu. 4 Keping "Kebanyakan ahli purbakala kalau mendengar nama Lasem, terkesan akan Lasem di Jawa Tengah, sebelah timur Rembang," ujar Sukarto. Prasasti itu agaknya menekankan bahwa Lasem di Jawa Timur pernah berperan dalam sejarah. "Jadi Lasem Sedayu lebih menonjol dibanding Lasem Rembang," simpulnya. Semula prasasti itu ditemukan oleh sejumlah anak Desa Lasem di tengah reruntuhan yang diduga sebagai lokasi bekas candi. sangunan candi itu tidak ada lagi. Hanya bekas gerbang--dalam pagar batu gamping yang mengelilingi lokasinya--masih ada. Di tengah pekarangan bekas candi itu terletak sebuah batu lempengan berbentuk bulat, rata dengan tanah. Sudah beberapa bulan lamanya, anak-anak desa gemar mencungkil bahan batu itu, karena ternyata baik untuk mengasah pisu dan clurit mereka Untuk mendapatkan potongan lebih besar, rupanya mereka mencari batu itu. Kemudian mereka terkejut ketika tampak di bawahnya sebuah lempeng batu bulat lagi, yang "penuh tulisan yang mereka tak mengerti," tutur Taslikan, lurah Lasem. Kastolan, mahasiswa IAIN Surabaya, kebetulan pulang kampung dan melihar batu itu. Segera ia menganjurkan kepada Taslikan agar batu itu dijaga baik-baik dan melaporkannya kepada pemerintah. Kini batu prasasti itu -- sudah pecah menjadi 4 keping --disimpan di salai Dusun Lasem, bercampur dengan onggokan padi hasil panen desa. selum disimpan di museum. Tim dari Yogya itu mengalihkan tulisan pada prasasti itu ke kertas kawat, guna dipelajari lebih lanjut. Prasasti itu cenderung menguatkan dugaan bahwa Segalu Kota merupakan lokasi bandar utama Kerajaan Majapahit. Sekalipun sekaran kota itu letaknya jauh dari pantai, berleda dengan Sedayu Lawas di pantai utara Lamongan. "Selana sekian tahun, mungkin saja terjadi perubahan garis pantai," ujar Sukarto anggota tim lainnya, Ir. sambang Wijaya, geolog dari UGM Yogyakarta, sependapat dalam hal ini. Indikasi tentan lokasi bandar Majapahit yang terunkap dari sebuah nakah Cina menyebutkan sebagai Sugalu. Oleh W.P. Groeneveldt, ahli purbakala selanda yang menerjemahkan naskah Cina itu, Sugalu diartikan sebagai Sedayu. Naskah itu mengisahkan perjalanan balatentara Cina ketika mendarat dan melintas wilayah yang sekarang merupakan bagian utara Lamongan dan Gresik, dua kabupaten di Jawa Timur. Di wilayah itu terdapat dua tempat yang dikenal dengan nama Sedayu. Desa Sedayu Lawas di Kecamatan Brondong, Lamongan, dan Sedayu Kota di Kecamatan Sedayu, Gresik. Groeneveldt tidak menjelaskan Sedayu yang mana, atau mungkin juga naskah Cina tidak menyebutnya. Yang menarik ialah naskah itu menyebutkan Buyut jok dengan nama Danyangan Jok. Indikasi lain datang dari prasasri yang diremukan di Karang Bogem. "Sedayu dan Gresik disebut bersama dalam prasasti yang bertarikh 1387 M," jelas Sukarto. Dukungan lain lagi, menurut Sukarto, ialah Sedayu Kota terletak dekat desa Badanten. Sebuah prasasti zaman Majapahit bertarikh 1385 M menyebut sejumlah desa di pinggir kali, antara lain Madanten. Nama ini, menurut Sukarto, dapat disamakan dengan nama Badanten. Goenadi, ketua rim, menambahkan bahwa 1-nlk Sedayu Kota secara stategis dan geografis lebih logis terhadap Trowulan di Mojokerto, ibukota Kerajaan Majapahir. Pelabuhan Kuno Penduduk Sedayu Kota gemar mengisahkan asal usul mereka dari Sedayu Lawas, namun itu rupanya belum berarti bahwa Sedayu Lawas lebih tua walaupun pakai embel-embel lawas. "Kata 'lawas' dan 'kora' di belakang Sedayu bisa saja ditambahkan kemudian oleh penduduk," simpul Sukarto. Penelitian di sekitar Sedayu Kota itu bersifat penjajakan saja. "selum merupakan situs," ujar Sukarto lagi. Berkata pula Goenadi "Dari hasil penelirian ini tentu akan dicari data lebih lanjut." Mungkin dengan cara penggalian, tapi itu tergantung dari persediaan biaya. Tim itu juga meneliti lokasi sekitar Sedayu Lawas. Dekat desa itu terdapat tempat yang dikenal dengan nama Karang seling. "Karena di sana ditemukan hanyak keramik, pasti dulunya merupakan tempat berlabuh," ujar Sukarto. Cenderung menganggap tempat ini sebagai pelabuhan kuno. Semua pantai yang ada teluknya bisa dikatakan sebagai tempat berlabuh. Pecahan keramik dari situ kini sedang diselidiki di Jakarta. "Kalau nanti diketahui keramik itu berasal dari zaman dinasti apa, baru bisa diketahui pertangalannya," jelas Sukarto. Juga wilayah sekitar Tuban menjadi sasaran penelitian tim iru. "Di Tuban kami temukan dua buah prasasti yang ada hubungan dengan Majapahit," tutur Goenadi. Keduanya ditemukan di Desa sandungrejo, Kecamaran Plumpang, Kabupaten Tuban, Jawa Tengah, sekitar 400 m dari tepi Bengawan Solo. Prasasti itu bertarikh 1277 tahun Saka (1355 M) dan menyebutkan nama Tuban. Maka sekarang bisa dipastikan bahwa Tuban di tahun 1355 sudah ada, justru pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus