Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung Granadi di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, mencakar langit dengan dua belas lantai. Nama Granadi, ba-ngun-an berdinding cokelat itu, di-sandangkan Soeharto setelah meresmikannya pada 1992. Gedung senilai Rp 32 miliar ini berasal dari kata yang le-bih panjang: Graha Dana Abadi. Artinya, ge-dung untuk menyimpan dana abadi.
Sesuai namanya, Granadi dipakai Soe-harto untuk menjadi lumbung duit kegiatan sosial. Di gedung ini, pengu-asa Orde Baru itu ”beternak” enam yayasan sosial yang dikelola keluarga Cendana bersama para kerabatnya. Yaya-san-ya-yasan itu dulunya berpencar tempat, la-lu menyatu di Granadi setelah setahun ge-dung itu selesai dibangun.
Inilah markas yayasan milik Soeharto. Di lantai empat ada Yayasan Supersemar dan Yayasan Dana Mandiri, kemudian Yayasan Dharmais di lantai li-ma dan Yayasan Amal Bhakti Mu-slim Pancasila, Dana Karya Abadi serta Harap-an Kita di lantai enam.
Yayasan-yayasan itu untuk menyan-tuni pendidikan, mengentaskan kemis-kinan, bantuan kesehatan, pendirian mas-jid, dana usaha kecil menengah serta ke-giatan seni maupun budaya. ”Semua bergerak pada bidang sosial, bukan bisnis,” kata Subagyo, Bendahara Yayasan Supersemar, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Soeharto mendirikan sejumlah yaya-san itu setelah belajar dari menyantuni korban perebutan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Ia membantu korban melalui dana Yayasan Trikora yang didirikan pada 1963 dan Yayasan Seroja pada 1970. Santunan itu diberikan kepada 500 anak yatim dan 177 janda korban Trikora, lalu 870 janda dan 2.682 yatim piatu korban Seroja.
Kini, meski Soeharto sakit serius, se-mua yayasan masih bernapas baik. Enam yayasan yang dikelola di Granadi benar-benar menjadi lumbung duit se-perti harapan Soeharto. Dana membubung, kegiatan sosial pun terus ber-ge-rak. Dana yang ditanam yayasan ke sejumlah bank dalam bentuk deposito dan saham di perusahaan swasta terus memberi napas kehidupan bagi yayasan itu untuk berjalan.
Yayasan juga punya untung dari saham di Perseroan Terbatas Granadi melalui pengelolaan gedung. Sebagian lantai disewakan ke sejumlah perusahaan. Satu di antaranya PT Humpuss, milik putra Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di lantai tujuh dan delapan. ”Uang sewanya untuk pemeliharaan gedung,” kata Subagyo, yang juga Komisaris PT Granadi.
Dalam laporan keuangan Yaya-san Dharmais dan Supersemar ke pemerintah pa-da tahun ini, dana yang tersimpan se-besar Rp 650 miliar. Kemudian Ya-ya-san Dana Mandiri sekitar Rp 1,2 tri-liun. Su-bagyo memperkirakan sejumlah yayasan lain pun masih banyak dana-nya.
Meski begitu, Subagyo tak menampik ada pula sejumlah deposito dan saham yang hilang akibat bank atau perusaha-an bangkrut. Dia mencontohkan saham di PT Sempati milik Tommy Soeharto dan PT Bank Duta.
Maklum bila dana itu bisa terus mengalir ke yayasan. Pengelolaan yaya-san tak berhenti meski Soeharto lengser dari kursi presiden pada 1998 dan mulai sakit-sakitan. Soeharto menunjuk Haryono Suyono sebagai pengelola semua yayasan, sekaligus ketua Yayasan Dana Mandiri. Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini bisa mempertahankan yayasan hingga empat presiden berganti.
Peran Soeharto juga masih besar da-lam menghidupkan yayasan. Sejati-nya Soeharto masih punya ruang kerja di semua yayasan. Ia masih menjabat se-ba-gai Ketua Yayasan Dharmais dan memiliki ruang kerja pribadi di lantai dua belas, lantai puncak di Granadi. Apakah Soeharto masih mengunjungi kantornya itu? ”Beliau kan sudah sepuh, dan nanti kalau muncul di sini malah jadi pembe-ritaan,” kata Subagyo.
Detak jantung yayasan itu juga masih terasa hingga pekan lalu. Haryono Su-yono, misalnya, terbang ke Yogyakarta, Magetan, dan Balikpapan untuk meng-ak-tifkan lagi pos pelayanan terpadu buat kesehatan ibu dan anak. Posyandu, dulu pernah diterapkan di kampung-kampung pada era Soeharto berkuasa. Kini, Presiden Yudhoyono ingin meng-aktifkannya lagi.
Bukan cuma itu, Yayasan Dharmais ju-ga punya gawe pada bulan depan. Sekretaris Dharmais, Indra Kartasasmita, mengatakan, yayasan sedang me-nyiap-kan operasi massal penyembuhan bibir sumbing di Wonosobo, Jawa Tengah, se-telah sukses di Solo. ”Kegiatan masih ber-jalan terus,” kata sepupu anggota DPR Ginanjar Kartasasmita ini.
Se-mua kegiatan para karyawan dan peng-urus yayasan berlangsung di Gra-nadi. Dari lantai tiga sampai empat, pekan lalu, para karyawan yayasan masih melakukan aktivitas di depan kursi masing-masing. Jumlah mereka untuk masing-masing yayasan sekitar 30 sampai 40 karyawan bagian administrasi. Me-reka bekerja setiap hari dari pagi hingga sore hari sesuai dengan jam kerja.
Meski aktivitas para karyawan itu hi-dup sepanjang jam kantor, bukan berarti semua pengurus harian berada di kantor. Setiap hari, pengurus hari-an yang ada di kantor cuma satu atau dua orang. Menurut Indra, para pengurus harian hanya berkumpul bila rapat a-khir tahun untuk kemudian dilaporkan ke Soeharto di Cendana.
Pengurus Dharmais terakhir bertemu Soeharto pada akhir tahun lalu ketika melaporkan keuangan 2005. Ketika itu pun tak semua pengurus ikut berangkat ke Cendana. Cuma Indra se-bagai sekre-taris dan Bendahara Zarlons Zaghlul yang berangkat ke Cendana. Pelaks-ana Harian Yayasan Supers-emar, Abdur-rah-man juga mengakui mela-porkan yaya-san kepada Soeharto setiap akhir tahun.
Pengaruh Soeharto memang sangat kental di Granadi. Di sejumlah dinding di gedung tempat enam yayasan berkantor masih banyak terpajang foto Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah Soeharto. Berbagai pose Soeharto dari berpakaian Jawa dengan blangkon sampai foto kepresidenan. Ada pula foto bersama antara setiap pengurus yayasan de-ngan Soeharto.
Aura Soeharto juga terlihat dari pengurus harian di yayasan-yayasan tadi. Untuk Dharmais saja, Soeharto masih menjadi ketua yayasan. Di bawah dia ada nama Sudharmono (almarhum), sebagai Wakil Ketua Yayasan Dharmais. Seperti halnya yayasan ini, Sudharmono pernah menjadi wakil Soeharto ketika masih presiden. Selain di Dharmais, Sudharmono juga menjadi Wakil Ketua Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti.
Ada lagi sejumlah bekas kroni Soeharto yang menjadi pengurus di sejumlah yayasan tadi. Seperti misalnya Bus-tanil Arifin (almarhum), Mohammad Bob Hassan, Radius Prawiro, Widjojo Nitisastro, Ibnu Sutowo, Soedjarwo (almarhum), Soebijakto Tjakrawerdaya, dan lain-lain. Sebagian dari me-reka adalah bekas menteri dan punya jabatan dobel di beberapa yayasan.
Bukan cuma para menteri itu, ada pu-la sejumlah anggota keluarga Cenda-na, seperti Sigit Haryoyudanto, Bambang Trihatmodjo, Indra Rukmana, dan Siti Hardijanti Rukmana. Sejumlah per-usahaan milik para kroni itu bahkan mendapat kucuran penanaman saham dari yayasan. ”Itu kan cuma suatu ke-betulan,” kata Indra Kartasasmita.
Abdurrahman, pelaksana harian Ya-yasan Supersemar, malah melihat wajar Soeharto mengambil orang-orang dekatnya. Ia juga tak menyalahkan Soeharto menanamkan modal ke perusaha-an milik anak-anaknya sendiri.
Kini, para pegiat reformasi sedang gen-car mendesak Jaksa Agung meng-ungkap tuntas korupsi di yayasan yang di-pimpin Soeharto. Bahkan wacana untuk mengambil aset yayasan itu sudah lama muncul. Masalahnya, terpulang pada Jaksa Agung, berani atau tidak melawan Soeharto yang kini lagi sakit serius.
Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo