Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA diibaratkan durian runtuh, yang diterima para pengusaha tabung gas kali ini pastilah berpohon-pohon durian runtuh berbarengan. Setelah setahun bela-kangan bisnis mereka terkulai karena sepi order, sampai-sampai sekitar 60 persen karyawan terpaksa dirumahkan, order raksasa datang sekonyong-konyong.
Senin pekan lalu, delapan perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Industri Tabung Gas (Asitab) dikumpulkan di kantor Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Menteri Fahmi meminta kalang-an industri ini mendukung kebijakan pe-merintah mengalihkan konsumsi mi-nyak tanah masyarakat ke gas alam cair atau elpiji (LPG). Caranya dengan menyediakan 121 juta tabung gas dalam tiga tahun ke depan.
Rapat di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, pekan sebelumnya, memang meminta Fahmi mengkoordinasi pengadaan tabung. Adapun urusan kompor akan ditangani Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Kedua produk ini akan disubsidi pemerintah de-ngan dana yang dialihkan dari penghematan subsidi minyak. ”Akan dibuat murah sekali, sama dengan harga kompor minyak tanah,” kata Fahmi.
Meski senang hati berbunga-bu-nga, ”Ka-lau mendadak begini, kami tak ma-m-pu,” kata Ketua Umum Asitab, Tjip-tadi. Soalnya, selama ini mereka hanya memproduksi tabung ukuran 12 kilogram, dengan kapasitas maksimal 8 juta buah per tahun. Pemerintah meminta tabung tiga kilogram. ”Harus ada investasi ba-ru-,” katanya.
Tapi, Wakil Presiden tampaknya s-u-dah bulat dalam soal ini, walaupun terkesan mendadak dan menabrak prog-ram mengganti minyak dengan briket batu bara, yang Oktober lalu dicanangkan Presiden Yudhoyono. ”Konversi ke el-piji lebih mudah,” kata Jusuf Kalla.
Tak cuma pengusaha tabung, produsen baja seperti Krakatau Steel pun akan turut ketiban rezeki proyek dadakan ini. Kalau mulus, pada akhirnya pemerintah jua—yang selama ini terus-terusan menombok karena minyak—yang akan untung, karena konversi itu akan menghemat triliunan rupiah.
Dalam APBN tahun ini, harga minyak masih dipatok pada US$ 57 per barel. Padahal, dalam bulan-bulan terakhir sa-ja harga di pasar dunia terus bertengger di kisaran US$ 70. Memang, kenaik-an harga minyak tak selalu membuat tekor kantong pemerintah. Sebab, seba-gai produsen, Indonesia pun turut menikmati keuntungan dari hasil ekspor produk ini yang sering disebut dengan istilah windfall profit.
Keuntungan bisa diperoleh kemb-ali se-telah pemerintah menaikkan harga ecer-an lebih dari seratus persen, Oktober tahun lalu. Subsidi mengecil dari Rp 89,2 tri-liun pada tahun lalu menjadi ti-nggal Rp 59,3 triliun dalam APBN 2006—se-telah ditambah sisa anggaran tahun sebelumnya Rp 5 triliun. Tingkat konsum-si pun bisa sedikit ditekan karena masya-rakat terpaksa berhemat dengan harga bahan bakar yang lebih mahal.
Dalam kalkulasi Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan harga itu bahkan bisa menekan defisit anggaran. Kalau harga minyak rata-rata US$ 60 per barel, defisit diperkirakan mencapai Rp 40 triliun. Bila harganya melejit ke US$ 70 per barel, defisit akan turun menjadi Rp 32,4 triliun.
Tapi, sekadar untung ”lumayan” saja tak cukup memuaskan. Pemerintah masih menganggap perilaku konsumsi mi-nyak kita saat ini kelewat boros, teruta-ma pada tingginya konsumsi minyak tanah, yang memakan porsi Rp 31 tri-liun anggaran subsidi tahun ini.
Dibanding minyak tanah, yang di ting-kat konsumen akhir berkisar Rp 3.000 per liter (dari patokan pemerintah Rp 2.500), harga eceran elpiji di pasaran memang lebih mahal, yakni Rp 5.100 (dari harga resmi Rp 4.250). Tapi, jika di-ukur dari besarnya kalori yang dihasil-kan kedua bahan bakar itu, ternyata pema-kai-an elpiji jauh lebih efisien (lihat tabel).
Masalahnya, mengubah kebiasaan ma-syarakat yang puluhan tahun akrab de-ngan minyak tanah jelas tak mudah. Se-telah tabung dan kompor disubsidi pun, sebagian masyarakat tak mampu tetap akan kesulitan bila harga gas cair ini te-tap seperti sekarang.
Selama ini rumah tangga golongan mis-kin masih sedikit tertolong karena bi-sa membeli minyak tanah eceran per liter. Tapi, untuk elpiji, satuan terkecil akan disediakan dengan tabung subsidi ukuran 3 kilogram, yang harganya se-tara dengan 5 liter minyak tanah.
Menurut data Badan Pusat Statistik, konsumen dari kelas sangat miskin sebanyak 10 persen dari konsumsi nasio-nal yang mencapai 11,38 miliar liter per ta-hun. Komposisi konsumen lainnya ada-lah: 20 persen dari golongan miskin, 50 per-sen menengah, dan hanya 20 persen yang dari kelompok mampu.
”Karena itu, kami merekomendasikan, sebaiknya dicoba dulu di empat kota,” kata juru bicara Pertamina, M. Harun. ”Paling tidak, kalangan menengah dan kelompok mampu dulu,” kata Erie Soedarmo, Direktur Pengolahan dan Niaga Minyak dan Gas di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Untuk Jakarta, dengan konsumsi mi-nyak tanah 972 juta liter per tahun, 9 persennya bisa mulai dialihkan tahun ini. Pada saat yang sama, pengalihan se-pe-nuhnya sudah bisa diupayakan u-ntuk Batam, yang mengkonsumsi 93 juta l-iter per tahun. Tahun berikutnya, pengenalan bergerak ke Bali dan Makassar. Dan pada akhir 2009, minyak tanah sepenu-h-nya tak akan lagi beredar di empat kota ini.
Y. Tomi Aryanto, Maruli Ferdinand
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo