Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lakon Baru Berburu Harta

Setelah angkat tangan lewat jalur pidana, Kejaksaan Agung bersiap menempuh upaya perdata. Baru sebatas pernyataan.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHAIRUL Imam gelisah. Berkali-kali pria 64 tahun ini menghela napas panjang. ”Saya kecewa sekali,” katanya ketika ditemui Tempo, Rabu pekan lalu. Keresahan Chairul dipicu oleh penerbitan Surat Keputusan Penghentian Penuntut-an untuk perkara korupsi bekas presi-den Soeharto, yang diumumkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dua pekan lalu.

Sebagai Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung periode 1999-2000, dialah yang enam tahun lalu memimpin penyidikan korupsi di tujuh ya-yasan yang dipimpin ikon Orde Baru ta-di. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun. ”Bukti pidana yang berhasil kami kumpulkan waktu itu sa-ngat kuat,” tuturnya mengenang. Chairul bah-kan sudah membayangkan ganti ru-gi yang kelak harus dibayar Soeharto cukup berarti untuk membayar utang Republik.

Harapan Chairul melihat Soeha-rto duduk di kursi terdakwa kini jauh di a-wang-awang. Pekan lalu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah memasti-kan kejaksaan akan berkonsentr-asi me-ng-embalikan uang negara yang di-duga digangsir Soeharto lewat jalur perdata. ”Saya sudah membentuk tim kh-usus di bawah Jaksa Agung Muda Perd-ata dan Tata Usaha Negara,” kata Abdul Ra-h-man. Babak baru perburuan harta Soeharto pun dimulai.

Tercatat dalam lembaran lama, sejum-lah petinggi Kejaksaan Agung telah ber-usaha mengembalikan kerugian neg-a-ra. Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro merupakan yang pertama kali membentuk tim pengusutan kekayaan Soeharto, beberapa pekan setelah Soeharto lengser. Kerjanya diteruskan Andi Ghalib, Jaksa Agung pada masa Presiden Baharuddin Jusuf Habibie—yang merangkap sebagai Ketua Tim Investigasi Kekaya-an Soeharto sejak September 1998.

Semula orang membayangkan tugas Ghalib akan enteng saja. Soalnya, ketika itu indikasi dugaan korupsi Soeharto sudah berjibun. Majalah Forbes, yang getol membuat peringkat orang kaya sedunia, pada tahun 1998 pernah menaksir harta Soeharto berjumlah US$ 4 miliar (Rp 36 triliun). Artinya, Bapak Pemba-ngunan Indonesia itu merupakan orang ter-kaya nomor 84 sejagat.

Setahun kemudian, laporan investigasi majalah Time menghitung kekaya-an Soeharto dan menemukan angka yang lebih fantastis: US$ 15 miliar alias Rp 135 triliun. Di media Amerika itu, na-ma 564 perusahaan yang terkait de-ngan Soeharto dipampang terang-terang. Ditulis juga soal 3,6 juta hektare tanah di seluruh Indonesia yang diperkirakan di-kuasai keluarga Cendana.

Lalu, masih pada 1999, harian terbitan Inggris, The Independent, membongkar skandal penjualan rumah mewah bergaya Victoria milik Sigit Harjojudanto dan Probosutedjo di Winnington, London. Nilai harta anak sulung dan saudara Soeharto itu mencapai Rp 165 miliar. Properti keluarga Cendana juga dilaporkan berserak dari Beverly Hills, Amerika Serikat, sampai Selandia Baru.

Karena itu, khalayak terhenyak ketika Jaksa Agung Andi Ghalib mengaku hanya bisa menemukan rekening Soeharto senilai Rp 23 miliar yang tersebar di sepuluh bank nasional. Sedangkan aset tujuh yayasan Soeharto yang dapat ditemukan pemerintah nilainya mencapai Rp 4,4 triliun.

Sekian lama mengendap, baru pada Januari 1999 Kejaksaan Agung memas-tikan ada bukti awal terjadi tindak pi-dana dalam pengelolaan ketujuh yaya-san Soe-harto.

Kepada Badriah dari Tempo, pekan lalu, Ghalib, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Persatuan Pembangunan, mengaku su-dah mengusulkan kepada Presiden Habibie agar Soeharto dijadikan tersangka, tiga bulan sebelum ia mundur dari kabinet pada Juni 1999. ”Sudah ada cukup bukti. Kalau waktu itu disetujui, kasusnya tidak akan terkatung-katung seperti sekarang,” katanya. Tapi Gha-lib juga tak memburu bukti lebih jauh untuk meyakinkan bosnya, sampai ia keluar dari Gedung Bundar. Pengganti Ghalib, Ismudjoko, akhirnya mengeluar-kan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Kasus Soeharto pun beku.

Barulah ketika rezim berganti dan Abdurrahman Wahid berkuasa, kasus Soeharto dibuka lagi. Namun, upaya Jaksa Agung Marzuki Darusman pun kandas oleh dalih sakit permanen Soeharto.

Berkaca dari sederet kegagalan itu, apa akal kejaksaan kali ini? Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Neg-ara, Alex Sato Bya—yang di-serahi tanggung ja-wab menyiapkan gugatan per-data untuk Soeharto—tak memberi jawab-an tegas.

Dia mengaku masih mem-pelajari opsi-opsi yang ada di kantongnya. ”Semua prosedur sedang dikaji. Yang akan kami hadapi adalah lawyer-lawyer yang akan memperhatikan betul aspek prosedural tindakan kejaksaan,” katanya.

Untuk merumuskan ber-kas gugatan perdata, Alex mengaku perlu membaca berkas dak-waan pidana perkara Soeharto ketika disidang enam tahun lalu. ”Kami harus lihat dulu posisi kasus pidananya, sebelum menyusun gugatan perdata,” kata Alex. Dia merasa perlu berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang memegang perkara ini sebelumnya.

Sayangnya, semua memang masih sebatas rencana di atas kertas. Apalagi tak ada tenggat. ”Jaksa Agung hanya minta secepatnya,” katanya. Alex mengakui dia bersikap ekstrahati-hati. Ka-rena itu, meski didesak, dia mengaku belum bisa memastikan rencana pemeriksaan ulang sejumlah saksi kunci dalam perkara ini. Alex juga belum memutuskan perlu-tidaknya dibentuk tim khusus di bawah komandonya. ”Kalau Jaksa Agung s-u-dah memerintahkan, kami para Jaksa Agung Muda tinggal melaksanakan,” katanya mengunci pembicaraan.

Yang sedang dijelajahi Alex memang ranah hukum baru buat Kejaksaan Agung. Sebelumnya, gugatan perdata belum pernah dicoba, meski ide untuk itu pernah dilontarkan Jak-sa Agung Baharuddin Lopa. Sayang, dia keburu meninggal.

Akankah Kejaksaan Agung berhasil? Alex tak berani sesumbar. ”Yang pas-ti, kami akan kejar terus,” ujarnya.

Justru Chairul Imam yang rada optimistis. ”Selain bisa diadili secara pidana karena ada unsur melawan hukum, perkara ini memang bisa juga digugat perdata,” kata-nya. Yang bisa jadi pintu masuk sesuai de-ngan hukum perdata, kata Chai-rul, adalah, ”Ada-nya bukti pelanggaran ang-gar-an dasar yayasan itu sendiri.”

Hanya, Chairul lebih sreg upaya pi-da-na diteruskan lewat jalur pengadil-an in absentia. ”Kalau menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan saja bisa, kenapa tidak sekalian saja meng-gelar sidang in absentia,” kata-nya ge-mas. Toh, menurut Chairul, kedua-nya sama-sama terobosan hukum baru. Selain itu, dia juga meminta Kejaksaan Agung meneruskan kasus-kasus korupsi Soeharto lain—yang sebenarnya dulu sudah mulai disidik—seperti kasus mobil nasional dan tata niaga cengkeh.

Buntut kekecewaannya, Chairul se-ka-rang getol ikut aksi Gerakan Masya-ra-kat Adili Soeharto. Gerakan itu didirikan sejumlah aktivis hak asasi manusia di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Selasa pekan lalu ini. Mereka, se-perti banyak yang lain, tidak rela kasus pidana Soeharto tutup buku begitu saja.

Wahyu Dhyatmika, Dian Yuliastuti

Tarik-Ulur Maju-Mundur

Apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung pasca-1998 menghadapi tuntutan publik untuk mengadili Soeharto?

Soedjono C. Atmonegoro (1998-1998) Pertama kali membentuk tim pengusut harta kekayaan Soeharto.

Andi Ghalib (1998-1999)

  • Memeriksa Soeharto untuk pertama kalinya dalam kasus penyelewengan dana yayasan dan proyek mobil nasional.
  • Memburu harta Soeharto ke Swiss bersama Menteri Sekretaris Negara (ketika itu) Muladi. Pulang tanpa hasil.

Ismudjoko (1999-1999) Meskipun hanya berstatus Pejabat Sementara (Pjs) Jaksa Agung, Ismudjoko mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada Oktober 1999. Alasannya, kurang bukti.

Marzuki Darusman (1999-2001)

  • Mencabut SP3 dan memulai kembali penyidikan.
  • Menetapkan Soeharto sebagai tersangka dan memberikan status tahanan rumah.
  • Melimpahkan berkas perkara korupsi ke pengadilan.

Baharuddin Lopa (Juni 2001- Juli 2001) Pertama kali mengkaji kemungkinan menggugat Soeharto secara perdata.

Marsillam Simanjuntak (Juli 2001-Agustus 2001) Hanya menjabat tiga minggu karena Presiden Abdurrahman kemudian diberhentikan lewat Sidang Istimewa MPR.

M.A. Rachman (2001-2004) Pada 2003, pernah berjanji akan mencari pendapat kedua dari tim dokter lain untuk memastikan kondisi kesehatan Soeharto.

Abdul Rahman Saleh (2004 – sekarang)

  • Menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) untuk perkara korupsi yayasan Soeharto.
  • Membentuk tim di bawah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara untuk menggugat Soeharto secara perdata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus