Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal Rumphius atau lengkapnya Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702) adalah seorang peneliti yang tinggal di Ambon selama 50 tahun dan juga wafat di Ambon.
Selama di Ambonlah Rumphius melakukan penelitian terhadap flora dan fauna serta menghasilkan beberapa karya yang mengagumkan. Dua karya monumentalnya, Herbarium Amboinense (tentang tumbuhan dan kegunaannya untuk obat-obatan) dan D’Amboinsche Rariteitkamer (tentang fauna laut Maluku), menjadi rujukan para ilmuwan dunia.
Herbarium Amboinense, yang terdiri atas 12 jilid, disebut mempengaruhi bapak taksonomi, Carolus Linnaeus. Dia menggunakan data Rumphius untuk penelitiannya. Linnaeus juga menulis buku tentang spesimen dari Rumphius. Buku Rumphius lain, De Ambonse Histoire, diduga menjadi sumber penulisan pendeta dan pengelana Belanda, Francois Valentijn, pada 1724-1727 tatkala menuliskan sejarah Ambon.
Di Borobudur Writers & Cultural Festival, akhir November lalu, sosok dan karya Rumphius dibahas dalam sebuah sesi. Tempo melakukan reportase di Ambon untuk mengenang sosok Rumphius yang dikenal buta total tapi sampai akhir hidupnya tak surut melakukan penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA sepi terasa ketika menginjakkan kaki di perpustakaan Rumphius di Jalan Pattimura, Ambon, pada Kamis pekan lalu. Tak ada pengunjung di sana. Hanya ada Yola, petugas perpustakaan, yang sedang merapikan beberapa buku di rak. Meja persegi panjang tepat di depan pintu masuk juga kosong. Tak ada satu pun penanda buku selesai dibaca oleh pengunjung. Boleh dibilang perpustakaan Rumphius memang tak seramai perpustakaan pada umumnya. Padahal perpustakaan itu menyimpan sekitar 10 ribu literatur sejarah yang berbaris rapi di enam rak kayu di ruang utama perpustakaan. Dari buku ensiklopedia tua, sejarah kependudukan -Belanda di Maluku, hingga buku seri internasional.
Di perpustakaan itu terdapat satu ruangan khusus yang menyimpan literatur tentang Georgius Rumphius di dalam lemari kaca bersusun empat. Ada 47 literatur Rumphius yang ditulis ulang oleh berbagai penulis dunia dan enam karya yang ditulis sendiri oleh Rumphius. Keenam karya Rumphius itu adalah Herbarium Amboinense atau Amboinsche Kruidboek (berisi tentang rempah-rempah dan botani, terbitan tahun 1695), D’Amboinsche Rariteitkamer (barang-barang aneh dan langka dari Ambon, terbitan 1705), Amboinsche Dierbook (tentang binatang di Ambon, terbit 1690-an dalam bentuk salinan), serta tiga buku lain Rumphius tentang sejarah, yakni D’Ambonsche Landbeschrijving (pulau-pulau Ambon, terbit 1679), De Ambonse Historie (Sejarah Ambon, 1679), dan Waerachtigh Verhael Van de Schzickelijcke Aerobebinge (tentang gempa bumi dahsyat, 1675).
Keenam buku tua karya Rumphius itu dijaga dengan baik. Para pengunjung yang datang tak bisa sembarangan memegang tanpa sarung tangan atau sekadar memfotokopi, kecuali yang sudah disalin dalam bentuk jilid. ”Buku-buku Rumphius tidak banyak, karena langka. Makanya buku-buku itu tidak bisa dibawa keluar. Untuk fotokopi juga tidak bisa,” kata Yola.
Tinggal sekitar 50 tahun di Ambon, Rumphius menghasilkan sejumlah karya mengagumkan. Dua mahakarya monumentalnya, Herbarium Amboinense atau Amboinsche Kruidboek dan D’Amboinsche Rariteitkamer, banyak menjadi rujukan ahli botani dan biologi dunia hingga kini. Herbarium memberikan deskripsi aneka tumbuhan yang dijumpai di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, baik tumbuhan di darat maupun laut. Plus kegunaannya untuk obat-obatan. Buku itu dilengkapi gambar ilustrasi dan detail yang akurat.
Herbarium Amboinense terbit pertama kali pada 1695. Awalnya buku tersebut memiliki sembilan jilid yang dipadatkan kemudian dalam tujuh jilid dengan masing-masing memiliki ketebalan lebih dari 500 halaman. Buku Rumphius yang paling terkenal itu memuat sekitar 1.200 spesies langka dari Ambon dengan lukisan-lukisan menyerupai foto tentang dunia botani dan biologi setebal 811 halaman dalam dua bahasa, yakni Latin dan Belanda.
Mula-mula naskah Herbarium Amboinense dikirimkan dari Ambon kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Johannes Camphuys, pada 1690 agar dikirimkan ke Belanda dan dicetak di sana. Namun Camphuys baru mengirimkan buku itu ke Belanda tujuh tahun kemudian setelah dia memerintahkan untuk menyalinnya lebih dulu. Menurut Cornelis Johannes Bohm, peneliti Rumphius, penyalinan buku itu dilakukan Camphuys untuk berjaga-jaga agar masih ada salinan buku yang diselamatkan apabila kapal yang mengangkut buku aslinya ke Belanda karam. ”Benar saja, buku asli itu tenggelam di dasar laut karena kapal yang membawanya diserang Prancis,” ujar Romo Bohm—sapaan akrab Cornelis Johannes Bohm—di sela-sela diskusi tentang Rumphius dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival di Manohara Resort, Magelang, Jawa Tengah, pada 24 November lalu.
Romo Bohm menambahkan, buku Herbarium Amboinense diterbitkan pada 1741-1747 secara berturut-turut dalam enam jilid. Pada 1755, diterbitkan lagi jilid ketujuh tentang Auctuarium, yaitu tumbuh-tumbuhan, yang ditambahkan dan disempurnakan Rumphius sebelum meninggal. Kehati-hatian VOC menjadi alasan penerbitan buku itu ditunda cukup lama. Juga keragu-raguan tak banyak yang berminat pada buku itu. Baru pada 2011, buku itu di-terbitkan dalam bahasa Inggris oleh E.M. Beekman.
Adapun mahakarya Rumphius lain yang juga terkenal, D’Amboinsche Rariteitkamer, yang diterjemahkan menjadi Ruang Benda-benda Langka Pulau Ambon, menguraikan tentang fauna laut Maluku, batuan fosil, dan obyek-obyek prasejarah. Romo Bohm, yang membawa buku tersebut dalam diskusi, menilai D’Amboinsche Rariteitkamer mempunyai nasib lebih mujur. Sebab, Rumphius tak mengirimkannya kepada pejabat VOC di Batavia, tapi langsung kepada sahabatnya di Belanda, Hendrik d’Acquet dari Delft, yang menerbitkannya pada 1705. ”Sayangnya, Rumphius tak sempat melihat terbitannya karena lebih dulu meninggal pada 1702,” ucap Romo Bohm.
Menurut Romo Bohm, saat di Portugal itulah Rumphius mendengar tentang Maluku, khususnya Ambon, yang kaya akan rempah-rempah. Orang-orang Portugis yang telah tiba di Ambon sejak 1512 membawa kekayaan alam, terutama rempah-rempah. ”Karena tiap hari ada cengkih, Rumphius pun bertanya, ’Dari mana ini?’ Dijawab, itu dari Ambon. Itu yang membuat dia ingin tahu,” tutur Romo Bohm.
GEORG Eberhard Rumpf, yang kemudian lebih dikenal dengan nama versi Latinnya, Georgius Everhardus Rumphius, lahir di Wölfersheim, sekitar 40 kilometer arah utara Frankfurt, Jerman, pada 1627 dari ayah Jerman dan ibu Belanda. Ayahnya, August Rumpf, adalah kontraktor kaya. Dari ayahnya, ia belajar matematika, menggambar teknik, dan bahasa Latin. Alih-alih meneruskan jejak sang ayah menjadi insinyur, ia malah tertarik keliling dunia.
Pada umur 18 tahun, Rumphius direkrut West-Indische Compagnie, perusahaan Belanda sejenis VOC, dan dikirim dengan kapal menuju ke koloni Belanda di bagian timur laut Brasil. Namun kapal itu ternyata tak pernah sampai tujuan. Kapal itu terdampar di Portugal. Rumphius pun sempat tinggal di Portugal selama tiga tahun, sebelum kembali ke orang tuanya.
Menurut Romo Bohm, saat di Portugal itulah Rumphius mendengar tentang Maluku, khususnya Ambon, yang kaya akan rempah-rempah. Orang-orang Portugis yang telah tiba di Ambon sejak 1512 membawa kekayaan alam, terutama rempah-rempah. ”Karena tiap hari ada cengkih, Rumphius pun bertanya, ’Dari mana ini?’ Dijawab, itu dari Ambon. Itu yang membuat dia ingin tahu,” tutur Romo Bohm.
Pada 1652, Rumphius mendaftar menjadi tentara VOC di Amsterdam dan bertolak ke Hindia Belanda dengan kapal laut. Dia tiba di Batavia pada Juli 1653. Dia kemudian ditugasi ke Ambon. Rumphius ikut terlibat dalam perang Ambon, yang berlangsung di utara Pulau Seram. Namun lama-lama dia merasakan menjadi tentara ternyata tak sesuai dengan panggilan hatinya. Dia tak tega berlaku kejam terhadap sesama, apalagi sampai membunuh.
Akhirnya Rumphius mengundurkan diri sebagai tentara. Ia mengajukan bekerja di bidang perdagangan. VOC mengabulkannya. Kinerjanya yang bagus membuat dia mendapat promosi untuk menjadi pengawas di pesisir laut di Kampung Hila. Di sela-sela kesibukannya, dia kembali menekuni minatnya mempelajari aneka flora dan fauna. Dia kemudian menikahi se-orang gadis Ambon, Susanna.
Atas minat Rumphius itu, VOC memberikan sepetak lahan di samping benteng di Hila. Rumphius kemudian menyulap lahan itu menjadi semacam kebun untuk laboratorium aneka tanaman yang ditelitinya. Dia memberi nama tanaman yang ditelitinya. Salah satunya nama bunga anggrek putih langka yang dicuplik dari nama istrinya, Susanna, yakni Flos susannae, yang kini disebut Pecteilis susannae.
Rumphius tak sekadar memberi nama, tapi juga menggambarkan struktur, bentuk akar, susunan daun, dan warna kembang setiap tanaman. Ia bahkan menjelaskan manfaat setiap tanaman untuk obat-obatan, sementara penduduk Ambon yang lebih dulu mengenal aneka tanaman yang bisa digunakan untuk obat-obatan bagi sejumlah penyakit di sana tidak memasukkannya ke sistem itu seperti halnya -Rumphius.
Menurut Romo Bohm, sistem pemberian nama tanaman itu mendahului Sistem Linnaeus, yang dibuat oleh Carolus Linnaeus, peletak dasar taksonomi. Sistem Linnaeus yang kemudian dijadikan referensi awal dalam sistem penamaan tumbuhan yang kita kenal sekarang ini baru muncul pada 1753 ketika dia membuat karya Species Plantarum. ”Sebelum Rumphius, saat itu belum pernah ada satu pun orang yang berpikir sampai ke situ,” ujarnya. Padahal, kata Romo Bohm, Rumphius bukan ahli tumbuhan atau ahli biologi.
Ilmuwan Profesor Dr Sangkot Marzuki, yang juga hadir dalam Borobudur Writers & Cultural Festival, menyebutkan, sebagai bapak taksonomi, Carolus Linnaeus menggunakan data Rumphius untuk penelitiannya. Linnaeus juga menulis buku tentang spesimen dari Rumphius. Meski ide taksonomi adalah ide Linnaeus, dia banyak terbantu oleh data dari koleksi Rumphius, yang hidup lebih dulu daripada Linnaeus. ”Rumphius itu pendiri botani tropis,” ucap Sangkot kepada Tempo seusai diskusi tentang Rumphius dalam Borobudur Writers & Cultural Festival di Manohara Resort pada 24 November lalu.
Keanekaragaman hayati di Ambon kian mencuri perhatian Rumphius. Namun kegairahannya meneliti flora dan fauna tidak berjalan mulus. Pada usia 45 tahun, mata Rumphius mengalami buta total akibat penyakit glaukoma. Toh, ia tak patah semangat. Ia terus melakukan penelitian dengan dibantu istri dan anaknya. Penduduk setempat juga banyak membantunya dengan membawakan sejumlah tanaman dan binatang, seperti aneka siput dan -kerang.
Dalam keadaan buta, Rumphius mengandalkan indra peraba dan penciuman untuk mengidentifikasi flora dan fauna. Ia mendapat bantuan sekretaris untuk mencatat dan juru gambar untuk mendokumentasikannya dari VOC. Bahkan VOC menambahkan juru tulis dan juru gambar. Salah satunya anak sulung Rumphius, Paul August. ”Paul August juga yang menggambar ayahnya. Ini gambar sosok Rumphius satu-satunya,” tutur Romo Bohm seraya menunjuk layar infocus dalam diskusi Borobudur Writers & Cultural Festival tentang Rumphius.
Di layar infocus, tampak sosok laki-laki berambut ikal sebahu sedang berdiri seorang diri. Ia menghadap meja yang dipenuhi onggokan tanaman dan setumpuk buku. Rumphius digambarkan sudah berumur dengan kerut-kerut pada wajahnya dan tatapan mata yang menatap kosong karena buta. Ia kerap mendapat julukan ”si buta yang bisa melihat dari Ambon” (the blind seer of Ambon).
Pada 17 Februari 1674, gempa besar menerjang Ambon. Tak hanya meruntuhkan bangunan, gempa itu juga menumbangkan pohon-pohon karena tanah terbelah. Menurut Sangkot Marzuki, saat itu terjadi bukan sekadar gempa besar, tapi juga tsunami hebat. Gempa itu mengguncang ketika warga Cina di Ambon tengah merayakan tahun baru Imlek. Istri dan anak bungsu Rumphius yang hendak menonton arak-arakan tewas karena tertimpa reruntuhan bangunan. Sedangkan Rumphius selamat.
”Nama istrinya Susanna. Nama itu diberikan kepada sebuah bunga anggrek putih yang langka, Flos susannae (kini disebut Pecteilis susannae),” kata Romo Bohm. Di tengah duka kehilangan istri dan anaknya, Rumphius membuat catatan mengenai kejadian gempa yang menewaskan 2.322 jiwa itu. Catatan yang diberi judul Waerachtigh Verhael Van de Schzickelijcke Aerobebinge tersebut dicetak di Batavia pada 1675. -Catatan itu adalah satu-satunya karya Rumphius yang dicetak semasa ia masih hidup. Dalam catatan itu, Rumphius menguraikan secara rinci peristiwa gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang menghantam Ambon dan sekitarnya. Boleh dibilang ini merupakan salah satu laporan tertulis tertua mengenai gempa dan tsunami di Indonesia.
Pada 11 Januari 1687, musibah kembali menimpa Rumphius. Saat itu kebakaran besar melumat sebagian Ambon, termasuk perpustakaan milik Rumphius. Hampir semua isi perpustakaannya, antara lain buku, tumbuhan dan kerang yang dikeringkan yang telah dikumpulkan selama 15 tahun, serta manuskrip, termasuk naskah tentang kerang, ludes dilalap api. Hanya naskah-naskah tentang tumbuhan yang bisa diselamatkan. Rumphius tak putus asa. Dia mengulangi penelitiannya dari awal dengan tekun. ”Ketabahannya yang luar biasa semestinya bisa ditiru masyarakat Indonesia,” ujar Romo Bohm.
Rasa cinta Rumphius terhadap Ambon khususnya ternyata tak membuat penduduk di sana mengenalnya. Romo Bohm mengaku prihatin. Padahal, pada masa itu, Rumphius sangat dikenal di Ambon: orang yang ramah, peduli, dan suka menolong. Dia membantu penduduk dengan menjelaskan khasiat dan manfaat sejumlah tanaman. Rumphius juga menjadi anggota Politieke Raad van Ambon (Majelis Politik Ambon) serta Ketua Dewan Urusan Perkawinan dan Perkara Yudisial Kecil hingga menjelang ajalnya. Sejumlah keputusan untuk kesejahteraan warga Ambon turut -diambilnya.
Menurut Sangkot Marzuki, Rumphius kurang dikenal diduga karena dia tak pernah menulis tentang dirinya. Berbeda dengan ahli botani Alfred Russel Wallace yang suka membuat catatan atas perjalanan dan dirinya. Terbukti, ketika gempa di Ambon terjadi, Rumphius lebih banyak mencatat tentang kejadian gempa bumi dan tsunami meskipun tengah berduka kehilangan istri dan anaknya. ”Informasi tentang istrinya yang meninggal karena gempa hanya sebaris,” ucap Sangkot.
Rumphius tak sekadar memberi nama, tapi juga menggambarkan struktur, bentuk akar, susunan daun, dan warna kembang setiap tanaman. Ia bahkan menjelaskan manfaat setiap tanaman untuk obat-obatan, sementara penduduk Ambon yang lebih dulu mengenal aneka tanaman yang bisa digunakan untuk obat-obatan bagi sejumlah penyakit di sana tidak memasukkannya ke sistem itu seperti halnya Rumphius.
Rumphius wafat 15 Juni 1702 pada usia 75 tahun karena sakit. Selain meninggalkan karya-karya agung yang kini tersimpan di Perpustakaan Rumphius, sebuah tugu dibangun untuk mengenang ahli botani tropis nan legendaris tersebut. Tugu berbahan marmer setinggi satu meter lebih di Jalan Pattimura, Ambon, itu didirikan atas prakarsa Uskup Andreas Sol, orang Belanda yang menjadi warga negara Indonesia dan bertugas sebagai uskup Diosis Amboina yang berminat pada sejarah dan kebudayaan Maluku. Monumen yang diresmikan pada 22 April 1996 itu untuk menggantikan tugu kenangan yang didirikan pada 1824 atas ide Gubernur Jenderal Van der Capellen. Namun tugu lama itu rusak berat karena terkena bom tentara Sekutu yang menyerang tentara Jepang di Ambon pada 1944.
Untuk mengingat kembali perjalanan hidup Rumphius di Ambon, Komunitas Rumphius berencana membangun museum di Hila. Menurut Anis De Fretes, salah satu pegiat Komunitas Rumphius, sang ilmuwan pernah tinggal di Desa Hila, yang berjarak sekitar 42 kilometer dari pusat Kota Ambon. Tapi rumah Rumphius yang berada di kawasan Benteng Amsterdam Hila kini sudah tak berbekas. ”Rumphius adalah Ilmuwan yang penting bagi Maluku dan Indonesia, sayangnya sejarahnya seperti dilupakan. Di Ambon ada perpustakaan, tapi hanya sedikit literatur,” kata Anis. ”Museum itu untuk melawan lupa.”
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), RERE KHAIRIYAH (AMBON)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo