Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH panggung berkubah bambu berdiri megah di pelataran kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang 5-9 Desember 2018. Panggung setinggi 10 meter yang terbuat dari sekitar 1.400 bilah bambu itu menjadi saksi bagi lahirnya konsep strategi kebudayaan, yang akan menjadi pedoman pembuatan kebijakan kebudayaan di negeri ini. Di bawah kubah bambu tersebut, Presiden Joko Widodo, dalam penutupan Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, 9 Desember lalu, menerima buku Strategi Kebudayaan dari perwakilan tim perumus Kongres, Profesor Dr I Made Bandem dan Dr Nungki Kusumastuti.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, konsep kongres kebudayaan tahun ini amat berbeda. Kongres terdahulu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, tidak memiliki sangkut-paut yang jelas dengan proses pengambilan keputusan. Rekomendasi-rekomendasi yang muncul pun, walaupun brilian, jarang membuahkan kebijakan yang berkelanjutan. ”Saya berharap strategi kebudayaan akan menjadi pedoman pemajuan kebudayaan nasional sampai 20 tahun ke depan,” ujar Muhadjir, yang juga ketua tim perumus strategi kebudayaan.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, penyusunan strategi kebudayaan ini memakan waktu sedikitnya sepuluh bulan. Berangkat dari instruksi Presiden Joko Widodo kepada Muhadjir pada 31 Agustus 2016, dimulailah digelar berbagai pra-kongres. Pada 27 April 2017, setelah hampir 35 tahun dibicarakan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini mengamanahkan agar disusun sebuah strategi kebudayaan yang bertolak dari pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Lebih dari 800 pertemuan aktivis kebudayaan kemudian dibuat untuk menampung berbagai gagasan, dari tingkat kabupaten, kota, sampai provinsi. Gagasan itu, pada puncak kongres kemarin, dirumuskan menjadi tujuh poin strategi kebudayaan yang akan dituangkan dalam sebuah peraturan presiden.
Seremonial pembukaan Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta, 05 Desember 2018. TEMPO/Nurdiansah
Agar strategi-strategi itu bisa segera diimplementasikan, tim perumus menyusun tujuh resolusi yang merupakan turunan dari poin-poin strategi kebudayaan. Resolusi itu mencakup pembentukan Pekan Kebudayaan Nasional, pelibatan maestro dalam pendidikan formal, peningkatan program pertukaran dan residensi untuk seniman, pembangunan pusat inovasi kebudayaan, pelibatan seniman dalam kebijakan pariwisata dan ekonomi kreatif, pembentukan dana perwalian kebudayaan, serta pemfungsian aset publik dan fasilitas yang ada sebagai pusat kegiatan budaya.
Hilmar mengatakan, dari tujuh resolusi itu, yang bisa terwujud dalam waktu dekat adalah Pekan Kebudayaan Nasional. Program itu berkaitan dengan pemfungsian fasilitas budaya. Saat ini ada lebih dari 2.500 fasilitas budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Sayangnya, yang benar-benar berfungsi hanya sekitar 10 persen. Persoalannya, kata dia, adalah minimnya program yang berjalan. ”Dengan adanya Pekan Budaya Nasional yang digelar dari tingkat kabupaten, kota, provinsi, hingga nasional, aset-aset yang ada bisa dioptimalkan,” ujarnya.
Resolusi yang tak kalah penting, menurut Hilmar, adalah pembentukan dana perwalian atau dana abadi kebudayaan. Dia mengakui sulit menyelenggarakan kegiatan budaya dengan disiplin keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. ”APBN punya standar biaya,” katanya. Namun, untuk kebudayaan, belum ada standar yang baku. Karena itu, sering muncul persoalan ketika dilaksanakan kegiatan budaya. Selain itu, anggaran kebudayaan tersebar di banyak kementerian dan lembaga. ”Dengan adanya dana perwalian, kita bisa mengkonsolidasikan dana yang tersebar itu,” ujar Hilmar.
SUASANA santai mewarnai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan seniman pada Selasa sore pekan lalu. Saat hadir pada hari terakhir Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, Ahad dua pekan lalu, lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Presiden mengundang para seniman untuk bertemu dengannya di Istana Negara. Dua hari berselang, sekitar 40 seniman, di antaranya Goenawan Mohamad, Edi Sedyawati, Jaya Suprana, dan Franki Raden, memenuhi undangan itu. Nungki Kusumastuti, yang juga hadir, mengatakan dana perwalian kebudayaan dibahas dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu.
Menurut Nungki, Presiden berjanji menganggarkan dana perwalian sebesar Rp 5 triliun mulai tahun depan. Bendahara Koalisi Seni Indonesia (KSI) Linda Hoemar Abidin, yang juga ikut dalam pertemuan itu, menambahkan bahwa dana perwalian nantinya akan berbentuk dana abadi seperti yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Dana tersebut akan diinvestasikan dan hasil dari investasi itulah yang boleh digunakan untuk hibah kegiatan budaya. ”Setiap tahun, pemerintah juga akan menambah dana pokoknya sebesar Rp 5 triliun,” ucap Linda.
Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, kepada Tempo mengatakan, ketika LPDP dibentuk pada era kepemimpinannya, anggaran awal untuk dana abadi pendidikan diambil dari sisa lebih pembiayaan anggaran dalam APBN. Menurut dia, hal serupa bisa diterapkan pada dana abadi kebudayaan. Chatib, dalam pidato kebudayaannya di kongres, mengatakan anggaran LPDP awalnya pada 2013 berjumlah Rp 16 triliun. ”Dana itu kami investasikan ke obligasi pemerintah. Pada 2017, dana itu menjadi Rp 31 triliun.” Menurut Chatib, pembiayaan LPDP untuk beasiswa dan hibah penelitian selanjutnya diambil dari hasil investasi tersebut. ”Dana principal jadinya tidak terganggu.” Akan halnya untuk operasional lembaga, kata Chatib, ketentuan penggunaannya setinggi-tingginya 5 persen dari hasil dana pengelolaan. ”Misalnya 1 triliun 5 persennya 5 miliar. Itu yang untuk gaji dan lain-lain.”
Dana abadi kebudayaan, menurut Chatib, penting karena aktivitas kesenian bisa berlangsung sustainable. Untuk pengelolaan dana abadi kebudayaan yang dijanjikan Presiden Joko Widodo itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan akan membentuk badan layanan umum (BLU). Ada kemungkinan BLU tersebut berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, karena aturan pembentukan BLU lumayan ketat, Hilmar akan mengundang berbagai pihak terkait untuk membahas kelembagaan dana perwalian kebudayaan itu. ”Termasuk soal penempatannya, akan berada di bawah kementerian atau lembaga apa,” ujarnya.
Menurut Nungki Kusumastuti, dalam pertemuan dengan para seniman, Presiden mengatakan orang-orang yang akan berada dalam kelembagaan dana perwalian bukanlah para birokrat. ”Bapak Presiden menyetujui bahwa lembaga ini harus dikelola secara independen,” Linda Hoemar menambahkan. Menurut Hilmar, walaupun nantinya BLU berada di bawah kementerian, tim manajemen bisa berisikan orang-orang non-pemerintahan.
Chatib mengatakan pengelolaan dana abadi lebih baik memang diserahkan kepada ahli di bidang investasi keuangan. ”Birokrasi tidak punya kemampuan untuk mengelola. Harus diserahkan kepada para profesional. Di Amerika, misalnya, ada Harvard Endowment Fund. Para professional asset management ini mengetahui cara investasi dana abadi kebudayaan yang paling aman di dalam pasar uang atau pasar modal. Mereka bisa melakukan investment oversight, tahu mana yang berisiko atau tidak,” ucapnya. Menurut Chatib, cara pengelolaan lembaga dana abadi kebudayaan Amerika Serikat, National Endowment for the Arts (NEA), atau Australia Council of the Arts di Australia bisa menjadi rujukan. ”NEA telah memberikan lebih dari 128 ribu hibah senilai sekitar 5 miliar dolar atau setara dengan Rp 70 triliun sejak 1965,” katanya.
Linda menuturkan, Koalisi Seni Indonesia pernah melakukan studi banding ke NEA. Di sana, KSI melihat bahwa mereka memang mempunyai tim manajemen yang terdiri atas para profesional untuk mengelola dana abadi yang terkumpul. NEA pun memiliki tim seleksi untuk memilih kegiatan budaya yang layak didanai. Masalah klasik yang ”rawan” setelah ada dana adalah bagaimana menentukan siapa yang bisa menerima hibah, bagaimana proses seleksinya, dan siapa yang layak menjadi tim pemilih alias kuratornya. Bagaimana menghindari koncoisme. ”Tim seleksi di NEA bisa berganti-ganti. Yang penting orang-orang yang menyeleksi itu benar-benar punya rekam jejak dan paham mengenai perkembangan dan kebutuhan pemajuan kebudayaan,” ujar Linda.
Direktur program seni tari NEA pada 1978, Rhoda Grauer, yang kini menetap di Bali, mengatakan NEA memiliki syarat bagi pelamar, baik individu maupun kelompok, yang ingin mendapatkan dana. Salah satu syarat, misalnya, kelompok seni yang melamar harus sudah berkarier atau berdiri selama tiga tahun dan mampu mengelola keuangan mereka. Menurut Rhoda, berbagai departemen untuk setiap cabang kesenian di NEA pun memiliki kriteria masing-masing dalam menyeleksi pelamar. Namun ada fleksibilitas di sana. ”Pada dasarnya yang terpenting adalah kualitas. Ada kriteria, tapi itu sangat minimum,” ucapnya.
Rhoda bercerita, NEA mewajibkan pelamar memberitahukan dalam aplikasi yang mereka kumpulkan tentang kapan dan di mana mereka akan tampil dalam waktu dekat. Nantinya tim panel yang dibantu para konsultan di bidang kesenian akan melihat secara langsung penampilan itu. Kemudian tim panel dan para konsultan membuat laporan yang berisi tentang penilaian mereka atas karya yang ditampilkan pelamar. ”Tapi, terkadang, ada subyektivitas dalam menilai kualitas karya. Karena itu, kami memiliki banyak konsultan yang terlibat,” katanya.
Untuk menjamin proses seleksi berlangsung adil dan menghindari korupsi-kolusi-nepotisme, anggota tim panel NEA tidak boleh menduduki jabatannya itu lebih dari tiga tahun. Ketika pelamar gagal mendapatkan hibah dan melamar kembali pada tahun berikutnya, tim panel akan menunjuk konsultan yang berbeda untuk menilai aplikasi mereka. Sebagai direktur program, Rhoda pun harus selalu siap dengan kritik dari berbagai pihak yang mempertanyakan hasil seleksi tim panel. ”Jadi, percayalah, telinga saya makin besar, besar, dan besar setiap saat,” ujarnya, lalu tertawa.
Etnomusikolog Endo Suanda juga bercerita bahwa NEA kerap mengundang para ahli dari berbagai negara untuk menilai proposal kegiatan yang butuh pendanaan. Pada 1997, Endo menjadi reviewer beberapa proposal dari kelompok budaya di Amerika yang bekerja sama dengan kelompok budaya dari Indonesia. ”Mereka bertanya tentang kelompok budaya dari Indonesia itu,” tuturnya. Menurut Endo, model semacam ini bisa diterapkan untuk menyeleksi kegiatan budaya yang berhak mendapatkan hibah dari dana abadi kebudayaan.
Untuk memilih kegiatan budaya yang layak mendapatkan pendanaan, mantan Direktur Yayasan Kelola, Amna Kusumo, mengatakan ada dua model yang bisa diterapkan. Ihwal produksi kesenian, untuk seniman yang sudah jadi, tim seleksi mesti melihat rekam jejak dan prestasi mereka. ”Ada assessment terhadap karya terdahulu.” Sementara itu, untuk seniman muda yang baru mengawali karier, Indonesia bisa mencontoh model yang diterapkan di Australia. Negeri Kanguru memiliki hibah kesenian yang didasarkan pada kelompok umur tertentu.
Pertunjukan teater dari Republic of Performing Art di acara Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang digelar di Plaza Insan Berprestasi, Kemendikbud, Jakarta, 8 Desember 2018. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Sementara di Amerika ada National Endowment for the Arts dan di Australia terdapat Australia Council of the Arts, negara tetangga Singapura memiliki National Arts Council (NAC). Menurut pendiri Bumi Purnati Center for the Arts, Restu Imansari Kusumaningrum, NAC memiliki konsep lain untuk menyalurkan dananya, yakni lewat festival-festival yang dibikinnya. Seorang direktur program festival ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam pemilihan karya yang layak tampil dalam festival itu. ”Barulah NAC memberikan dananya yang berasal dari pemerintah,” ujar Restu. Beberapa kali karya Bumi Purnati terpilih untuk menerima hibah dari NAC, yakni pada 2003, 2014, 2015, dan 2019.
Menurut Chatib Basri, pelaksanaan hibah-hibah itu bukannya tanpa kritik. Australia Council of the Arts, yang berfokus memberikan dana untuk seniman kontemporer Australia, misalnya, kata dia, pernah dikritik. ”Kritik itu menyebutkan, meski Australia Council of the Arts banyak menggelontorkan dana hibah, mengapa seniman Australia yang dikenal dunia hanya sedikit?” ucapnya.
Hilmar Farid mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dana perwalian kebudayaan dapat digunakan untuk berbagai kegiatan budaya, bukan hanya seni. Dalam undang-undang tersebut, obyek pemajuan kebudayaan selain seni adalah tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, bahasa, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. ”Bahkan dana ini bisa digunakan untuk riset warisan-warisan seperti pengetahuan tradisional di bidang kesehatan,” katanya. Nantinya, untuk menentukan kegiatan budaya apa saja yang bisa didanai dengan dana abadi, Hilmar berjanji melibatkan para ahli. ”Jadi birokrasi hanya memberikan platform. Selanjutnya para ahli yang merumuskan,” tuturnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI, AHMAD FAIZ, SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo