Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cornelis Johannes Bohm
Cornelis Johannes Bohm menenteng kantong kain bermotif kembang-kembang cerah dalam Borobudur Writers & Cultural Festival di Hall Awadhana, kawasan Manohara Resort, Magelang, Jawa Tengah. Sebuah buku setebal sekitar 300 halaman seukuran kertas folio dia keluarkan dari kantong itu. Sampulnya hitam kusam dan mengelupas. Kertasnya berwarna cokelat kusam. Pada lembar pertama tertulis sejumlah kata berbahasa Belanda yang memenuhi dari sisi atas hingga bawah lembaran dengan huruf berwarna hitam dan merah. D’Amboinsche Rariteitkamer, demikian judul buku itu—diterjemahkan menjadi Ruang Benda-benda Langka Pulau Ambon. Ada nama Georgius Everhardus Rumphius sebagai penulisnya. ”Buku ini usianya sudah 400 tahun,” kata Romo Bohm, 83 tahun, saat menunjukkan buku tersebut kepada Tempo, 24 November lalu.
Romo Bohm membawa buku itu untuk mengisi diskusi tentang Rumphius dalam rangkaian acara Borobudur Writer & Cultural Festival ketujuh. D’Amboinsche Rariteitkamer salah satu mahakarya Rumphius selain Herbarium Amboinense. D’Amboinsche Rariteitkamer membahas hasil penelitian aneka jenis kerang dan kepiting di perairan Ambon yang dirampungkan Rumphius pada 1699. Buku itu pertama kali diterbitkan pada 1705, sekitar tiga tahun setelah Rumphius wafat.
Romo Bohm menyebutkan dia banyak mempelajari tentang Rumphius dari buku-buku karya Wim Buijze, penulis Belanda yang mengulas seluk-beluk kehidupan ahli botani tersebut. Buku-buku Buijze berbahasa Belanda, dan Romo Bohm sendiri kelahiran Velsen, Belanda, yang tinggal di Indonesia sejak 1966. Kepada Pito Agustin Rudiana, koresponden Tempo, dosen Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik Ambon itu bercerita seputar mahakarya Rumphius dan kiprahnya selama di Maluku.
Bagaimana ceritanya Rumphius bisa menjadi peneliti di Ambon?
Pertengahan abad ke-17, Rumphius yang saat itu berusia 25 tahun datang ke Ambon. Dia sengaja khusus datang ke sana. Dia terpikat pada rempah-rempah, seperti cengkih dan pala. Waktu itu rempah-rempah dari Ambon sudah dikenal.
Rumphius datang ke Ambon sebagai tentara. Tapi dia benci membunuh orang. Dia minta jadi pedagang saja. Sebagai pedagang, dia punya banyak sisa waktu. Dia selidiki tetumbuhan. VOC angkat topi juga. Pelan-pelan Rumphius diberi waktu penuh untuk penelitian pada tumbuhan, fauna, kerang, siput, dan macam-macam.
Rumphius datang ke Ambon bukan soal uang, tapi perkembangan kebudayaan. Dia beragama Protestan garis keras. Itu karunia dari Tuhan, dia gambarkan sebaik-baiknya. Dia tetap tabah saat mengalami sejumlah musibah dalam hidupnya. Pertama, saat berusia 45 tahun, dia mengalami buta total karena glaukoma. Dia kemudian mengandalkan peraba, pendengaran, dan penciuman untuk melakukan penelitian. Saat itu dia dibantu sekretaris dan beberapa juru gambar dari VOC.
Kedua, saat perpustakaan berisi ratusan buku yang dibangun atas bantuan dari teman-temannya di Eropa terbakar habis, dia tetap tegar. Padahal, dalam kondisi dia buta, perpustakaan itu sangat berguna karena ada orang yang membacakan buku untuk dia.
Ketiga, musibah gempa bumi dahsyat yang menewaskan istri dan anaknya. Dia terus maju, enggak mau mundur sebagai peneliti. Luar biasa.
Lalu, sebagai pelawat yang datang ke sini, dia boleh dibilang berbeda. Biasanya pelawat berkunjung terus pergi lagi. Tapi, sejak kedatangannya pertama kali pada 1654 sampai wafatnya pada 1702, dia tidak pernah lagi keluar dari Ambon, kecuali ke pulau sekitar. Suatu kali dia pernah ke Banda.
Mengapa Rumphius memilih menetap di Ambon?
Saya kira dia punya kekuatan iman yang membantunya tetap bertahan di Ambon menjadi peneliti. Suatu kali dia pernah diajak pergi ke Batavia untuk sebuah urusan, tapi dia tidak tergoda.
Bagaimana karakter Rumphius?
Yang paling mencolok, dia begitu tabah. Dia punya karakter tabah dan konsisten. Pelan asal selamat. Dia memiliki perhatian besar terhadap lingkungan. Dia tak mau buang kotoran di laut. Selain menulis tentang tumbuh-tumbuhan, Rumphius sesungguhnya menulis catatan tentang margasatwa. Catatannya cukup tebal, tapi sayang tak dibuat salinan. Saat catatan itu dikirimkan ke Belanda, kapal yang membawanya tenggelam. Semua catatan Rumphius tentang dunia margasatwa Ambon hilang.
Buku-buku apa saja karya Rumphius yang sudah dicetak?
Dia punya buku Herbarium Amboinense sebanyak 12 jilid sebesar ini (sambil menunjukkan buku D’Amboinsche Rariteitkamer). Ke-12 buku Herbarium Amboinense itu baru dicetak di Belanda semenjak 1741 atau 39 tahun sesudah Rumphius wafat. Dalam praktiknya, ada 61 jilid buku karya Rumphius. Selain menulis dua buku itu, dia diminta VOC membuat buku sejarah Ambon (De Ambonse Historie) serta pemetaan seluruh wilayah Ambon dan sekitarnya. Sayang, setelah manuskrip buku itu selesai dibuat pada 1679, oleh atasannya manuskrip itu disembunyikan, kemudian dimasukkan ke lemari dan dikunci rapat-rapat di kantor VOC Ambon. VOC takut bila buku itu disebar akan banyak informasi yang menguntungkan pelaut pesaing Belanda, seperti pelaut Portugis, Spanyol, dan Inggris.
Sebetulnya Rumphius putus asa juga. Sebab, saat dia di Ambon, belum ada satu pun karyanya yang dibukukan. Saat itu dia diberi tahu VOC bahwa nanti karya-karya hasil penelitiannya akan dicetak dan dibuat menjadi buku. Tapi dia harus sabar menanti. Boleh dibilang itu sesuatu yang tragis. Selama dia masih hidup, boleh dibilang tidak ada satu pun karyanya yang dicetak. Buku-bukunya baru dicetak setelah Rumphius wafat.
Yang masih menjadi teka-teki bagi saya adalah bagaimana memindahkan gambar asli ke percetakan waktu itu. Saat itu mereka bekerja dengan huruf-huruf logam. Satu demi satu dipasang. Masih sangat primitif. Tapi bagaimana dengan gambar? Ada 322 tanaman dari 1.200 yang telah diteliti. Sisanya belum digambar. Apakah gambar yang lain tidak perlu atau yang 322 itu hanya contoh?
Mengapa Herbarium Amboinense disebut sebagai karya paling agung Rumphius?
Itu karya yang dibanggakan Rumphius. Dibuat jilid I, II, III, dan seterusnya. Buku itu berisi tentang tumbuhan yang ditemukan Rumphius sebagai orang Jerman yang berdinas sebagai tentara VOC. Dia kaget melihat ada dunia baru tentang tumbuhan yang tidak ada di Eropa. Dia dari dulu memang berminat ke Ambon untuk mempelajari tumbuh-tumbuhan, padahal dia bukan ahli tumbuhan, botanis, atau biolog. Tapi dia mendapat pendidikan umum yang lumayan sehingga, selain bisa berbahasa Jerman (tempat kelahiran) dan Belanda (asal ibunya), ia bisa berbahasa Latin, Prancis, Spanyol, Italia, dan Portugis. Tapi dia tidak bisa berbahasa Inggris. Sebab, pada zaman itu, bahasa Inggris belum begitu penting, ya.
Bagaimana hubungan Rumphius dengan masyarakat Ambon masa itu?
Pada zaman Rumphius, Ambon kota yang kurang aman. Ada benteng yang dibangun Portugis, lalu diambil alih Belanda. Namanya Benteng Victoria. Di atas benteng ada bukit. Kalau ada yang menduduki bukit itu, mereka punya meriam yang bisa menembaki musuh di bawah. Rumphius bilang jangan pindah dari bukit. Sebab, di bukit itu paling banyak pala dan cengkih, jauh lebih banyak daripada tempat lain. -Jangan sampai ada musuh yang bisa naik ke bukit.
Rumphius seorang ilmuwan murni. Kalau sewaktu-waktu ada bunga yang bisa dipakai untuk obat, dia akan bikin catatan. Tapi bukan tujuannya untuk mencari obat. Dia mau bikin inventarisasi semua flora yang ada di Ambon.
Dia diberi lahan oleh VOC, di Rumahtiga, khusus untuk kegiatan ekologis. Mana yang terbaik untuk tanaman. Mana yang paling cocok untuk tanaman tersebut. Rumahtiga itu nama kampung.
Sejauh mana masyarakat Ambon masa kini mengenal Rumphius?
Orang Ambon sekarang jarang ada yang tahu nama Rumphius. Padahal dulu Rumphius terkenal di Ambon. Dia ramah dan peduli terhadap orang lain. Dia banyak mendapat bantuan dari orang-orang di sini. Dia juga banyak memberikan informasi kepada warga tentang berbagai tumbuhan. Rumphius juga anggota Politieke Raad van Ambon (Majelis Politik Ambon).
Ada satu pengarang Belanda bernama Francois Valentijn. Dia pendeta. Dia sampai kini di Ambon dikenal. Ada Apotek Valentijn, Jalan Valentijn, tapi apotek atau jalan Rumphius tidak ada (yang mengabadikan namanya). Valentijn pendeta Protestan yang menjelajahi banyak negara dan menulis banyak buku. Salah satu buku Valentijn adalah Sejarah Ambon. Tapi saya kira dia mengambil dari manuskrip dan catatan Rumphius tentang sejarah Ambon yang disembunyikan VOC pada 1679. saya kira Valentijn mengambil banyak bahan dari manuskrip Rumphius tanpa menyebut nama Rumphius. Saya melihat Valentijn sepertinya melakukan plagiat.
Selain buku-bukunya, apa ”peninggalan” Rumphius di Ambon?
Ada tugu kenangan Rumphius. Tugu itu didirikan pada 1824, kira-kira di lokasi dia dimakamkan. Saat Jepang masuk (1944), Sekutu mengebom Ambon, tugu itu hilang. Syukurlah ada foto tugu itu. Pada 1996, Uskup Sol (almarhum) berinisiatif membangun kembali tugu itu. Tugu itu kini berdiri di pojok jalan dekat SMA Xaverius Ambon. Tak ada data tentang meninggalnya Rumphius. Ia wafat pada usia 75 tahun.
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo