Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDERET janji meluncur mulus dari mulut Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dari kantor kepresidenan tradisional yang berdekorasi serba emas di Istana Elysee, yang dikenal sebagai Salon Doré, pria 40 tahun ini berupaya menenangkan ribuan demonstran Rompi Kuning di jalanan Paris dan kota-kota lain.
Macron duduk di belakang meja antik besar dengan bingkai bersepuh emas. Meja legendaris itu telah digunakan oleh semua presiden sejak Charles de Gaulle pada 1944. Di tepi meja itu berdiri patung ayam jago emas—simbol Prancis—di antara lampu emas dan tiga buku antik.
Dalam pengumuman yang disiarkan stasiun televisi nasional, Macron menyatakan bahwa ia telah mendesak pemerintah dan parlemen mengambil langkah untuk memperbaiki kehidupan rakyat mulai tahun depan. ”Seorang pekerja dengan upah minimum akan mendapat kenaikan upah sebesar 100 euro (sekitar Rp 1,6 juta) per bulan tanpa biaya tambahan yang dibebankan kepada perusahaan,” kata Macron. Upah minimum nasional tahun ini Rp 24,6 juta per bulan. Setelah dipotong pajak menjadi Rp 19,5 juta.
Dia juga menjanjikan penghapusan pajak atas upah lembur, meminta perusahaan yang mencetak laba memberikan bonus akhir tahun kepada karyawan, dan membatalkan rencana kenaikan pajak untuk gaji pensiunan yang mendapat kurang dari Rp 32,9 juta per bulan. ”Pensiunan adalah bagian berharga dari bangsa ini,” ucapnya, Senin pekan lalu.
Dalam pidato berdurasi 13 menit, Macron mengakui bahwa ia ikut bertanggung jawab atas krisis yang melanda negeri itu. Menurut dia, aksi protes kebanyakan orang berpenghasilan rendah di kota-kota kecil dan perdesaan di Negeri Ayam Jantan merupakan imbas persoalan masa lalu. ”Kesusahan mereka tidak muncul kemarin. Ini masalah 40 tahun lalu yang kini mencuat ke permukaan,” katanya.
Demonstran di Paris dan kota-kota lain menyimak Macron. Namun kebanyakan dari mereka tidak terlihat antusias. Di Le Boulou, kota kecil di selatan Prancis yang berbatasan dengan Catalunya, Spanyol, misalnya, 150 demonstran Rompi Kuning mendengarkannya dengan raut muka datar. ”Kami melihat dia tidak tulus. Semuanya ’pemanis di bibir’ saja,” ujar Jean-Marc, seorang mekanik mobil. Rekannya, Thierry, berpendapat senada. ”Itu hanya pencitraan,” ucap Thierry, yang kembali memblokade lalu lintas setelah mendengarkan pidato Macron.
Di kota timur laut Commercy, penolakan terhadap Macron lebih kentara. Para demonstran mengejek bekas bankir investasi itu saat ia dalam pidatonya mengaku bersalah pernah menyakiti sebagian masyarakat lewat kata-katanya. Macron, September lalu, menuai kritik setelah ia berkomentar nyinyir terhadap Jonathan Jahan, penganggur yang mengeluh kesulitan mendapatkan pekerjaan. Videonya sempat viral dan publik menilai Macron tak sensitif.
Para demonstran menilai janji-janji Macron hanya pepesan kosong. Menurut mereka, presiden yang menjabat sejak Mei tahun lalu ini menawarkan terlalu sedikit, itu pun terlambat. Macron memang baru menanggapi tuntutan gerakan Rompi Kuning tiga pekan setelah mereka melancarkan aksi protes nasional. Ribuan demonstran di Paris telah berulang kali bentrok dengan polisi. Mereka meluapkan ketidakpuasan terhadap pemerintah dengan membakar kendaraan dan merusak pertokoan.
Gerakan protes ini dijuluki Rompi Kuning karena para demonstran mengenakan rompi keselamatan berwarna kuning terang ketika menggelar unjuk rasa sejak 17 November lalu. Aksi mereka dipicu rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak mulai 2019. Macron menilai kebijakan ini diperlukan untuk mengerem perubahan iklim dan melindungi lingkungan akibat bahan bakar fosil.
Harga bensin di Prancis saat ini US$ 6,47 (sekitar Rp 93 ribu) per galon atau Rp 24 ribu per liter, dua kali lipat dari harga di Amerika Serikat. Rencana pemerintah akan mendongkrak harga bensin satu sen lebih tinggi. Solar bahkan bisa mengalami kenaikan harga hampir 30 sen per galon. Padahal harga solar telah melambung sebesar 16 persen sepanjang tahun ini. ”Saya sadar bahwa bahan bakar fosil terus menipis,” ujar Vincent Picard, pembuat kue yang ikut berdemonstrasi. Namun, dengan stasiun kereta terdekat sejauh 35 menit, dia harus pergi berkendaraan setiap hari. ”Kami harus melanjutkan hidup.”
Gerakan protes nasional Rompi Kuning awalnya bergulir dari petisi Priscilla Ludosky. Perempuan 33 tahun ini mengelola sebuah toko kosmetik kecil di Savigny-le-Temple, desa di pinggiran Paris. Pada 29 Mei lalu, Ludosky melansir sebuah petisi online di laman Facebook. Ditujukan kepada pemerintah Prancis, petisi itu memuat kegelisahan Ludosky tentang beban hidup yang makin berat bagi warga berpenghasilan rendah serta pemilik toko kecil karena tingginya harga bensin dan solar.
Ludosky, yang pernah menjadi bankir, tak menyangka petisinya mendapat sambutan antusias dari warganet. Dalam hitungan bulan, lebih dari 1 juta orang meneken petisinya. Menyatu dengan protes sejenis dari pengguna Internet lain, petisi Ludosky menjelma menjadi gerakan Rompi Kuning. Dari protes di dunia maya, gerakan itu pindah ke jalan-jalan.
Unjuk rasa yang membesar membuat Presiden Macron menunda kenaikan harga bahan bakar. Namun aksi protes rupanya tak berhenti. Para demonstran mempersoalkan upah yang stagnan dan biaya hidup yang tinggi. Belakangan, mereka mendesak pengunduran diri Macron. ”Macron ada untuk orang kaya, bukan untuk semua orang Prancis,” kata Jean-Pierre Meunuer, pensiunan yang ikut berunjuk rasa di Paris.
Macron mewarisi perlawanan jalanan dari era kepemimpinan sebelumnya. Seperti para pendahulunya, François Hollande, Nicolas Sarkozy, dan Jacques Chirac, Macron harus ”tunduk” pada aksi jalanan. Sang Presiden, yang mendapat julukan Yupiter karena pernah membandingkan dirinya dengan raja para dewa Romawi itu, pernah menyatakan bahwa Prancis tak membutuhkan ”presiden biasa”. Namun, dengan amarah rakyat yang terus meletup, Yupiter kali ini terpaksa ”turun ke bumi”.
Langkah Macron menapaki kursi presiden terbilang mulus dan cepat. Ia mundur dari jabatan menteri ekonomi dalam pemerintah sayap kiri Hollande untuk membentuk gerakan politiknya sendiri, En -Marche!, yang berhaluan sentris-liberal. Muncul sebagai figur segar di tengah merebaknya sentimen rasisme, anti-imigran, dan anti-Uni Eropa, Macron sukses menyingkirkan Marine Le Pen, politikus kawakan yang memimpin partai sayap kanan Front National, dalam putaran kedua pemilihan presiden.
Kepada rakyat Prancis, Macron menjanjikan perubahan besar. Pria asal Kota Amiens ini juga berkoar bakal menggusur kemapanan politik di negara berpenduduk 67 juta jiwa tersebut. Pada tahun pertama, dia cukup sukses melakukannya. Macron meloloskan undang-undang untuk mereformasi pasar tenaga kerja. Ia juga meredam aksi protes, termasuk pemogokan pekerja kereta api pada awal tahun ini.
Namun Macron membuat sederet blunder. Ia menghapus pajak kekayaan untuk mendorong orang-orang kaya menyimpan uang mereka di Prancis dan berinvestasi dalam industri. Aturan ini berlaku bagi mereka yang punya aset lebih dari Rp 21,4 miliar. Masalahnya, kelonggaran fiskal tak dirasakan kelas pekerja. Dengan dalih memerangi defisit anggaran, pemerintah memangkas subsidi untuk pekerja paruh waktu dan memotong bantuan perumahan bagi warga miskin, bahkan gaji pensiunan dibebani pajak tinggi.
Upayanya mendorong kebijakan pro-lingkungan bahkan sempat menuai hambatan dari kabinet. Menteri Lingkungan Nicolas Hulot mendadak mengundurkan diri, September lalu, karena menganggap Macron kurang serius pada kebijakan lingkungan, seperti memotong ketergantungan Prancis pada tenaga nuklir. Hulot menuding agenda pro-bisnis Macron telah menghalangi langkahnya menyelamatkan lingkungan.
Akibat kebijakannya yang pro-bisnis, -Macron dicap sebagai ”presiden kaum tajir”. Popularitasnya terus melorot pada saat para demonstran Rompi Kuning menyerukan pengunduran dirinya. ”Macron démission! (Macron mundur!)” menjadi salah satu slogan paling populer di kalangan pengunjuk rasa. ”Dia menolak mengakui bahwa model (ekonomi) yang dia banggakan justru dipertanyakan,” ujar Marine Le Pen.
MAHARDIKA SATRIA HADI (FRANCE 24, POLITICO, THE GUARDIAN, TIME)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo