Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA pekan ini menjadi waktu sibuk bagi aktivis demokrasi Hong Kong yang tergabung dalam Gerakan Payung, termasuk Sekretaris Jenderal Partai Demosisto Joshua Wong. Pria 22 tahun itu aktif menggalang dukungan bagi sembilan koleganya yang sedang diadili di pengadilan Hong Kong. “Ini saat yang berat bagi aktivis demokrasi, tapi kami melakukan yang terbaik untuk menunjukkan dukungan,” kata Joshua kepada Tempo, akhir November lalu.
Sembilan aktivis Gerakan Payung diadili sejak pertengahan November lalu. Gerakan demonstrasi pada 2014 itu diikuti ribuan orang dengan menduduki sejumlah lokasi penting dan membuat pusat kota lumpuh selama 79 hari, kurs dolar Hong Kong jatuh, dan saham merosot. Aksi massa tersebut menuntut Hong Kong mendapat kebebasan lebih besar dari Cina setelah negara ini diserahkan London kepada Beijing pada 1997.
Dari sembilan aktivis itu, tiga orang adalah tokoh demokrasi senior yang menjadi penggerak Gerakan Payung. Mereka adalah profesor sosiologi Chan Kin-man dan dua tokoh Gerakan Pusat Pendudukan 2013, Chu Yiu-ming serta profesor hukum Benny Tai. Jaksa menjerat sembilan aktivis tersebut dengan pasal mengganggu ketertiban umum yang ancaman hukumannya sampai 7 tahun penjara. Sebelumnya, aktivis Gerakan Payung yang sudah diadili dan menjalani hukuman adalah Joshua Wong, Nathan Law, dan Alex Chow.
Aktivis Gerakan Payung di luar gedung pengadilan Hong Kong, Cina, 19 November 2018. REUTERS/Bobby Yip
Joshua menilai langkah terbaru pemerintah Hong Kong ini sebagai upaya politik untuk membungkam oposisi. Sementara para aktivis Gerakan Payung diadili, setidaknya empat anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai oposisi dicopot dari jabatannya karena sejumlah alasan. Ia yakin tekanan dari pemerintah Beijing tersebut tak akan menghentikan gerakan ini. “Kami akan tetap mempertahankan semangat gerakan,” ujar Joshua.
Pengadilan dan tindakan keras terhadap para pembangkang ini bermula dari demonstrasi empat tahun lalu, peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Payung (Umbrella Movement). Pemicunya adalah langkah para aktivis demokrasi yang menuntut janji kebebasan dan demokrasi untuk Hong Kong.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris yang diserahkan kepada Cina pada 1997. Sesuai dengan kesepakatan, Hong Kong dikembalikan kepada Cina di bawah formula “satu negara, dua sistem”. Dengan formula itu, Hong Kong dijamin akan mendapat berbagai kebebasan yang tidak dinikmati orang Cina daratan, termasuk pemungutan suara langsung untuk setengah dari anggota parlemen.
Demonstrasi yang awalnya kecil itu menjadi gerakan yang meluas setelah polisi berusaha membubarkannya dengan menembakkan gas air mata dan semprotan merica. Para pengunjuk rasa membawa payung untuk menghadang semprotan lada polisi, selain untuk melawan panasnya sengatan matahari. Simbol payung itulah yang membuat gerakan protes tersebut dikenal sebagai Gerakan Payung.
Demonstrasi itu, menurut pemerintah Hong Kong, menyebabkan 41 orang, termasuk polisi, terluka. Sebanyak 78 orang ditangkap karena menggelar demonstrasi ilegal dan menerobos gedung pemerintah. Aksi itu diikuti sejumlah tekanan terhadap para aktivis demokrasi, dari pendepakan dari parlemen hingga pengadilan.
Pada 14 Juli 2017, pengadilan mendiskualifikasi Nathan Law, yang menang dalam pemilihan legislatif, karena ia menambahkan kata-kata sendiri pada sumpahnya dan menggunakan nada suara yang “menyatakan keraguan atau tidak menghormati status Cina sebagai penguasa sah Daerah Administratif Khusus Hong Kong”.
Aktivis Gerakan Payung yang mengalami nasib sama adalah Leung Kwok-hung. Dia kehilangan kursi di parlemen karena saat pemberian sumpah mengayunkan payung kuning dengan membawa pesan pro-demokrasi dan memperpendek sumpahnya. Lau Siu-lai juga kehilangan kursi legislatif karena membaca sumpah dengan lambat. Adapun Edward Yiu didepak dari kursi parlemen karena menambahkan kata-kata sendiri pada sumpahnya sebagai wakil rakyat.
Oposisi meraih 30 dari 70 kursi parlemen pada September 2017. Hal ini memberi oposisi kekuatan untuk memveto sebagian besar undang-undang negara. Namun didepaknya Nathan dan tiga koleganya cukup melemahkan kekuatan oposisi.
Nathan tak hanya kehilangan kursi parlemen. Pemerintah juga mengambil tindakan hukum terhadap dia dan dua mahasiswa penggerak Gerakan Payung, yaitu Joshua Wong dan Alex Chow. Alex dan Nathan didakwa mengumpulkan massa secara ilegal. Joshua didakwa menghasut warga agar berkumpul secara tidak sah di Civic Square selama masa protes lebih dari dua bulan itu. Ketiganya divonis bersalah pada 17 Agustus 2017 dan diganjar hukuman penjara selama 6-8 bulan.
Seusai persidangan terhadap ketiganya, pemerintah memproses aktivis Gerakan Payung lain pada 19 November lalu. Bedanya, tokoh seniornya yang diadili. Chan Kin-man mengungkapkan, ia bertahun-tahun bernegosiasi demi perubahan demokratis ke sistem pemilihan Hong Kong. “Alasan kami melakukan protes itu adalah Cina tidak menghormati janji kepada Hong Kong untuk membiarkannya memiliki demokrasi. Kami hanya sebuah contoh yang menunjukkan bagaimana kebangkitan Cina yang tidak demokratis bisa mengancam seluruh dunia,” tuturnya.
Seusai persidangan terhadap ketiganya, pemerintah memproses aktivis Gerakan Payung lain pada 19 November lalu. Bedanya, tokoh seniornya yang diadili. Chan Kin-man mengungkapkan, ia bertahun-tahun bernegosiasi demi perubahan demokratis ke sistem pemilihan Hong Kong. “Alasan kami melakukan protes itu adalah Cina tidak menghormati janji kepada Hong Kong untuk membiarkannya memiliki demokrasi. Kami hanya sebuah contoh yang menunjukkan bagaimana kebangkitan Cina yang tidak demokratis bisa mengancam seluruh dunia,” tuturnya.
Adapun Benny Tai mengatakan dakwaan ini akan memiliki efek jeri dan menekan kebebasan berbicara. Ia memperingatkan, bahkan membela kebebasan sipil lewat diskusi ada konsekuensinya. “Jika Anda mendiskusikannya, pemerintah akan menganggap itu sebagai konspirasi. Mereka juga bisa dituduh ‘menghasut orang lain agar menghasut’,” katanya. “Mereka ingin menghalangi pembicaraan publik tentang ketidakpatuhan sipil dan, karena itu, mereka akan menghabisi upaya-upaya tersebut.”
Perkembangan terbaru ini menjadi pukulan besar bagi demokrasi Hong Kong. “Tak pernah ada dalam sejarah Hong Kong begitu banyak politikus dan aktivis oposisi menghadapi proses pengadilan,” ujar Kong Tsung-gan, penulis buku Umbrella: A Political Tale from Hong Kong. Ia mencatat setidaknya 39 kasus hukum terhadap 26 pemimpin dan aktivis pro-demokrasi sejak protes Gerakan Payung.
Kepala eksekutif baru Hong Kong, Carrie Lam, yang berjanji membangun hubungan yang lebih baik dengan oposisi, menyatakan tidak akan campur tangan dalam kasus hukum ini. “Saya pikir kepala eksekutif, atau pejabat pemerintah mana pun, tidak boleh mengorbankan aturan hukum hanya karena kami ingin menunjukkan sikap ramah (kepada oposisi),” ucapnya kepada Reuters.
Pengadilan dan pendepakan aktivis dari kursi parlemen ini merisaukan Joshua Wong. Apa yang menimpa aktivis demokrasi dan oposisi saat ini, kata dia, mengisyaratkan bahwa perjuangan Gerakan Payung akan menjadi perang jangka panjang dan makan waktu lama. Ia juga menulis opini di Washington Post, 30 November lalu, yang antara lain menyebut Cina sebagai ancaman bagi demokrasi Hong Kong. “Saya berharap komunitas internasional memberikan solidaritas untuk Hong Kong menghadapi sikap Cina. Saya berharap apa yang terjadi di Hong Kong menjadi perhatian komunitas internasional,” tuturnya.
ABDUL MANAN (REUTERS, THE GUARDIAN, WASHINGTON POST, SOUTH CHINA MORNING POST)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo