Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pembentukan dewan kawasan aglomerasi dilatarbelakangi kajian pemindahan ibu kota negara.
Dewan kawasan aglomerasi akan dipimpin oleh wakil presiden.
Pengamat tata kota mengusulkan agar kota dan kabupaten di Jabodetabek menjadi bagian dari Jakarta.
JAKARTA – Kontroversi pada Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) tak hanya pada wacana penunjukan Gubernur Jakarta oleh presiden. RUU yang baru disetujui sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat ini juga memuat rencana pembentukan kawasan aglomerasi yang mencakup Jakarta dan kabupaten/kota di sekitarnya. Kelak juga bakal dibentuk dewan kawasan aglomerasi yang dipimpin oleh wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan rencana pembentukan dewan kawasan aglomerasi dilatarbelakangi kajian pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Selama ini, sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta dibekap banyak persoalan, seperti banjir, kemacetan, polusi udara, dan kependudukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, menurut politikus Partai Golkar tersebut, pengembangan Daerah Khusus Jakarta perlu terintegrasi dengan daerah di sekitarnya melalui pembentukan kawasan aglomerasi. "RUU ini harus membuat Jakarta lebih baik dari sebelumnya," kata Doli pada Kamis, 7 Desember lalu. "Kalau mau menyelesaikan macet, polusi, banjir, tidak bisa Jakarta sendiri."
Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 5 Desember lalu, menyetujui RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi rancangan undang-undang inisiatif Dewan. RUU ini akan segera dibahas bersama pemerintah dan ditargetkan rampung paling lambat pada pertengahan Februari tahun depan, selepas Pemilihan Umum 2024. Dua hari terakhir, RUU ini menjadi perbincangan publik lantaran memuat Pasal 10 yang akan memberikan wewenang kepada presiden untuk menunjuk Gubernur Jakarta.
Kondisi tanggul pantai di kawasan Muara Baru, Jakarta, 2 Oktober 2023. TEMPO/Subekti.
Adapun rencana pembentukan kawasan aglomerasi diatur dalam Pasal 51 sampai Pasal 60. Pada bagian ketentuan umum RUU tersebut dijelaskan bahwa kawasan aglomerasi merupakan kawasan perkotaan dalam konteks perencanaan wilayah yang menyatukan pengelolaan beberapa kota dan kabupaten dengan kota induk, sekalipun berbeda dari sisi administrasi. Kawasan ini disiapkan sebagai satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional berskala global.
Rencananya, seperti tertuang dalam Pasal 51, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. Sinkronisasi pembangunan di kawasan aglomerasi ini akan mencakup dokumen tata ruang serta dokumen perencanaan pembangunan di kabupaten/kota tersebut. Kelak, dokumen rencana tata ruang itu akan disatukan dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
RUU Daerah Khusus Jakarta juga mengatur pembuatan Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi. Muatannya berisi program dan kegiatan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Program itu mencakup pengelolaan transportasi, sampah, limbah, lingkungan hidup, banjir, air minum, energi, kesehatan, infrastruktur wilayah, penataan ruang, dan kependudukan.
Untuk mengkoordinasikan semua urusan tersebut, RUU merancang pembentukan dewan kawasan aglomerasi. Lembaga baru ini, seperti dimuat dalam Pasal 55 ayat 3 RUU DKJ, akan dipimpin oleh wakil presiden. RUU ini tak mengatur lebih detail soal dewan kawasan aglomerasi, kecuali soal tugasnya sebagai koordinator, pengawas, dan evaluator pelaksanaan program di kawasan aglomerasi. Ketentuan lebih lanjut soal dewan kawasan aglomerasi ini akan diatur dalam peraturan presiden.
Kawasan perkantoran di Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, 21 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Serupa dengan Versi Pemerintah
Rencana pembentukan kawasan aglomerasi dalam draf RUU buatan DPR tersebut sebenarnya tak jauh berbeda dengan draf versi pemerintah. Naskah RUU yang disusun pemerintah itu disetor ke Senayan pada awal September lalu.
Bedanya, seperti tertuang dalam dokumen RUU Daerah Khusus Jakarta versi pemerintah tertanggal 6 September 2023, kawasan aglomerasi itu bernama kawasan regional Jabodetabek. Kabupaten Cianjur tak disebutkan di dalamnya. Sedangan koordinator penyusunan dokumen rencana tata ruang dan pembangunan adalah dewan kawasan Jabodetabek. Sama dengan draf versi DPR, dewan kawasan ini juga akan dipimpin oleh wakil presiden selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Seorang pejabat pemerintah yang mengikuti penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta mengungkapkan rencana pembentukan kawasan ini bukan ide baru. Pemerintah sejak awal ingin menjadikan Jakarta dan daerah penyangganya sebagai kesatuan pengembangan. "Nanti diikat dengan program pembangunan yang terintegrasi," katanya.
Dia mencontohkan, selama ini masalah transportasi tak kunjung teratasi karena adanya sekat kewenangan antar-pemerintah daerah. Begitu pula dengan penanggulangan banjir. "Misalnya, Bogor nanti harus tunduk, seperti diminta menanam tanaman atau menjaga hutan untuk mencegah banjir lewat kewenangan aglomerasi," kata sumber Tempo tersebut. "Tapi daerah otonom tetap eksis."
Menurut dia, wapres diperlukan untuk memimpin dewan kawasan karena selama ini sekat kewenangan tak hanya antar-pemerintah daerah, tapi juga dengan kementerian dan lembaga. Dia mencontohkan, pemerintah DKI Jakarta selama ini punya kemampuan anggaran untuk membenahi sejumlah situ yang menjadi wadah penampungan air dan pencegah banjir. Namun, karena kewenangan tersebut berada di pemerintah pusat, rencana pemerintah DKI Jakarta tak bisa berjalan karena tak mendapatkan izin.
"Jadi, begitu banjir, yang disalahkan DKI. Padahal sumber masalah mungkin adalah kewenangan di pusat," kata pejabat tersebut. "Dengan konsep aglomerasi, kementerian dan lembaga harus tunduk pada desain pengembangan kawasan."
Pekerja mengoperasikan alat berat untuk mengeruk sedimentasi pada Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta, 14 November 2023. Pengerukan yang dilakukan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta tersebut bertujuan menjaga kapasitas waduk sebagai pengendali banjir. TEMPO/Tony Hartawan
Dinilai Salah Konsep
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengkritik rencana DPR dan pemerintah memberikan tugas baru kepada wakil presiden untuk memimpin dewan kawasan aglomerasi Jakarta. “Lebih baik wakil presiden, yang disebutkan sebagai ketua dewan aglomerasi, mengurus masalah nasional yang masih banyak,” ujarnya.
Nirwono menilai keberadaan dewan kawasan aglomerasi ataupun nama lainnya tidak diperlukan. Pembentukan badan baru semacam ini, kata dia, tidak akan efektif dan efisien mengatasi persoalan di Jakarta dan daerah sekitarnya. "Malah akan menambah ribet birokrasi dan koordinasi pengembangan kawasan tersebut," kata Nirwono.
Dia mengatakan konsep kawasan aglomerasi yang ditawarkan dalam RUU Daerah Khusus Jakarta cukup dipimpin langsung oleh seorang gubernur. Agar punya kewenangan lintas wilayah, kedudukan Gubernur Daerah Khusus Jakarta bisa disetarakan dengan menteri. “Jadi Gubernur Daerah Khusus Jakarta yang mengkoordinasikannya, bukan dewan kawasan yang dipimpin wakil presiden,” kata Nirwono.
Namun, menurut Nirwono, skema yang paling optimal dalam mengembangkan kawasan khusus Jakarta bukan seperti itu. Pemerintah, kata dia, semestinya membuat terobosan dengan memasukkan kota dan kabupaten, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, sebagai bagian dari Daerah Khusus Jakarta. Dia mengingatkan, selama ini yang menjadi masalah dalam pengembangan kawasan tersebut adalah sulitnya koordinasi di antara otoritas pemerintahan di setiap daerah karena adanya perbedaan kepentingan politik. “Padahal, secara teknis, warga di Jabodetabek itu sehari-hari menjadi satu,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berharap DPR dan pemerintah melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam menyusun RUU Daerah Khusus Jakarta. Jika tidak, dia khawatir kebijakan yang dibuat kelak justru menimbulkan penolakan sehingga berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik. “Setiap perubahan pasti membutuhkan adaptasi warga. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam RUU DKJ ini mutlak dipenuhi,” kata Titi. “Supaya benar-benar bisa aplikatif dan bukan justru sebaliknya, menuai kontroversi dan antipati.”
IMAM HAMDI | AGOENG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo