Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah organisasi non-pemerintahan mengkritisi RUU EBET.
RUU EBET dinilai malah akan menghambat perkembangan energi terbarukan.
Pembahasan RUU EBET disebut belum mencapai banyak kemajuan.
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dituding banyak ditumpangi kepentingan industri energi fosil maupun energi non-terbarukan, seperti batu bara dan nuklir. Musababnya, rancangan aturan tersebut menganggap sumber energi baru, seperti batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, gas metan batu bara, serta nuklir, punya posisi setara dengan berbagai sumber energi terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"RUU EBET jadi enggak jelas karena disusupi kepentingan batu bara dan pembangkit listrik tenaga nuklir," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, kepada Tempo, kemarin. Buktinya, kata dia, banyak ketentuan yang seharusnya bisa mempercepat perkembangan energi terbarukan, seperti skema power wheeling (berbagi jaringan listrik), malah tidak masuk dalam draf aturan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa adanya skema atau insentif yang membedakan energi terbarukan dengan energi baru—yang belum tentu energi terbarukan—maka transisi energi akan lebih lambat terjadi. Sebab, energi terbarukan akan lambat berkembang. Di sisi lain, aturan itu justru mengakui sumber energi tidak terbarukan, seperti produk turunan batu bara, sebagai energi baru.
Fabby menduga aturan tersebut akan menjadi landasan untuk memperpanjang umur penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Rencana pengakhiran penggunaan batu bara pun dikhawatirkan bisa tertunda, bahkan batal. "Kalau terus pakai batu bara, jelas pengusaha tambang batu bara yang untung," kata dia.
Menyitir Pasal 9 dalam draf RUU EBET yang diperoleh Tempo, sumber energi baru yang ditentukan terdiri atas nuklir, hidrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, dan sumber energi baru lainnya. Ketentuan mengenai energi baru ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Sementara itu, sumber energi terbarukan, menurut pasal 30 aturan tersebut, antara lain panas bumi, angin, biomassa pelet kayu, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian dan perkebunan, limbah atau kotoran hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, serta energi terbarukan lainnya.
Pekerja melakukan pemasangan panel surya di salah satu pabrik di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Tempo/Tony Hartawan
Karpet Merah bagi Perusahaan Tambang
Juru kampanye energi terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengatakan jenis energi baru yang tercantum dalam RUU EBET bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Sumber energi baru, seperti produk penghiliran batu bara, tidak hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tapi juga membebani keuangan negara.
Berdasarkan pengkajian Institute for Energy Economics and Financial Analysis pada November 2020, misalnya, disebutkan proyek gasifikasi batu bara pertama di Indonesia milik PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, bakal merugi hingga US$ 377 juta per tahun. Potensi kerugian negara lainnya juga muncul lewat hilangnya pendapatan dari royalti batu bara senilai Rp 33,8 triliun per tahun hanya dari proyek gasifikasi Bukit Asam.
Potensi hilangnya royalti itu terjadi karena pemerintah, lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja), memberikan insentif royalti nol persen bagi pemegang izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus yang melakukan penghiliran batu bara.
Hilangnya potensi pendapatan dari royalti batu bara bakal kian jumbo karena setidaknya, menurut Kementerian Energi, per tahun lalu, ada 11 perusahaan batu bara yang menyatakan komitmen menggarap penghiliran batu bara menjadi berbagai produk hingga 2030. Salah satunya adalah PT Bumi Resources Tbk.
Raksasa tambang batu bara milik Grup Bakrie dan Salim tersebut, melalui anak usahanya, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, tengah menggarap dua proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol. Dua proyek itu ditargetkan beroperasi pada 2025 dan mampu memproduksi hampir 5 juta ton metanol per tahun.
Menurut Beyrra, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan. Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan, kata dia, menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. “Pemerintah dan DPR seharusnya berfokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” kata Beyrra.
Pemilihan Nuklir Disoroti
Sumber energi baru lainnya yang juga disoroti adalah nuklir. Sumber energi ini diatur secara khusus dalam lima pasal dalam RUU EBET. Padahal, menurut catatan koalisi masyarakat, jika dibanding sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, pembangunan serta penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal.
Argumen tersebut merujuk pada World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019. Adapun WNISR 2022 mencatat, biaya pembangunan pembangkit energi matahari turun hingga 90 persen dan angin turun 72 persen, sedangkan nuklir justru naik 36 persen.
Selain itu, koalisi yang terdiri atas Greenpeace Indonesia, Trend Asia, IESR, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyoroti adanya ketentuan yang mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Persoalannya, RUU tersebut tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan.
Hidrogen disebut dapat berasal dari sumber energi fosil maupun sumber energi terbarukan. Riset yang ada saat ini menunjukkan baru 1 persen hidrogen hijau yang dikembangkan di seluruh dunia—selebihnya masih dari energi fosil. Deputi Direktur ICEL, Grita Anindarini, mengatakan perlu pengaturan yang jelas mengenai jenis hidrogen seperti apa yang akan dikembangkan. “Sayangnya, RUU EBET gagal membahas hal ini.”
Kritik atas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan juga disampaikan bekas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi, Kardaya Warnika. Ia mengatakan ketentuan mengenai energi baru tersebut ibarat penumpang gelap dalam cita-cita transisi energi. "Jadi, ini ada energi fosil ditumpangkan dan diberi merek lain, lalu diberi insentif," ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra ini.
Kardaya mengatakan upaya penyelundupan ketentuan energi baru dalam aturan yang mengatur energi terbarukan sudah lama direncanakan. "Waktu zaman saya memang ada juga yang mau nyelundupin itu, tapi saya bilang enggaklah," tuturnya. Alih-alih membuat keenergian di Indonesia makin baik dan mendukung semangat perbaikan lingkungan, kata dia, ketentuan energi baru justru dikhawatirkan akan mempercepat pengurasan kekayaan alam Indonesia.
Dari sisi hukum pun, Kardaya mengingatkan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang mengundangkan ketentuan energi baru bersama energi terbarukan. Musababnya, dua jenis energi itu memiliki risiko dan pengelolaan berbeda. Kebanyakan negara hanya memberi ketentuan khusus bagi energi terbarukan untuk mendorong pembangkit listrik yang rendah emisi.
Di sisi lain, ia pun menduga klausul energi baru itu pada akhirnya akan menyebabkan ketidakpastian hukum lantaran definisinya tidak jelas. "Baru menurut kita, bisa jadi tidak baru menurut orang lain," ujar Kardaya. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu, energi yang saat ini dianggap baru pun akan menjadi tidak baru lagi. Dengan demikian, apabila aturan ini disahkan, dalam beberapa tahun lagi pemerintah dan DPR harus merevisi lagi aturan tersebut.
Menteri ESDM Arifin Tasrif (kanan) dan jajarannya saat akan mengikuti rapat kerja membahas mekanisme kerja pembahasan RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 24 Januari 2023. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Pemerintah Masih Ingin Mengoptimalkan Batu Bara
Indonesia saat ini memasang target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Berdasarkan data Kementerian ESDM, bauran EBT di sektor pembangkit listrik baru mencapai 14,11 persen pada 2022. Pada tahun lalu, bauran energi primer Indonesia masih didominasi batu bara sebanyak 67,21 persen. Adapun sumber energi lainnya adalah 15,96 persen gas dan 2,7 persen dari bahan bakar minyak.
Anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto, mengatakan masuknya energi baru dalam RUU EBET disebabkan para pemangku kepentingan masih ingin mengoptimalkan sumber daya alam yang masih melimpah. "Syarat utamanya tetap emisi karbon rendah," ujar legislator dari Partai Keadilan Sejahtera itu. Adapun, dia menjelaskan, adanya pengembangan energi nuklir dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan beban listrik dasar untuk mengimbangi sumber energi lain.
Meski demikian, ia mengatakan RUU EBET itu masih dibahas di tingkat panitia kerja Komisi Energi. Targetnya, pembahasan itu bisa selesai pada masa sidang keempat DPR tahun 2022-2023. Sampai saat ini, ujar Mulyanto, pembahasan aturan itu masih belum banyak kemajuan. "Pemerintah akan memperbaiki dan menjelaskan mengenai energi baru," ujar dia.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi, Dadan Kusdiana, menuturkan bahwa pemerintah akan memastikan rancangan aturan itu akan mendorong tercapainya target-target transisi energi ke depan. "Dalam RUU sekarang, usulan dari pemerintah adalah definisi energi baru yang rendah karbon," ujar dia.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo