Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima organisasi profesi menolak pengesahan RUU Kesehatan.
Dokter dan tenaga kesehatan bersiap menggelar unjuk rasa.
Pengesahan RUU Kesehatan dikhawatirkan mengancam kerja profesi tenaga kesehatan.
JAKARTA – Lima organisasi profesi bersiap mengajukan judicial review apabila pemerintah dan DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang. Langkah itu dilakukan karena penyusunan dan pembahasan RUU sapu jagat tersebut dinilai tidak sesuai dengan prosedur. “Apabila disahkan, ini menjadi cacat hukum, karena masih ada hal yang tidak memenuhi syarat tapi dipaksakan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi, kemarin, 20 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDI adalah satu dari lima organisasi profesi yang menentang pengesahan RUU Kesehatan. Sedangkan empat organisasi yang juga memiliki sikap serupa adalah Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Adib, penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan sama sekali tidak melibatkan organisasi profesi. Padahal lima organisasi profesi ini memiliki kepentingan atas regulasi kesehatan tersebut. Karena itu, ditinjau dari sisi substansi materi dan moral konstitusional, penyusunan draf RUU ini bisa dinyatakan cacat secara material. “Makanya saat di Panja (Panitia Kerja DPR) kemarin, kami tidak tahu bagaimana prosesnya,” kata dia. “Tidak ada transparansi sama sekali.”
Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah khawatir, jika RUU Kesehatan dipaksakan menjadi undang-undang, akan memberikan dampak buruk bagi para perawat di Tanah air. Profesi perawat selama ini berlindung pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Pengesahan RUU Kesehatan membuat UU Keperawatan tidak berlaku. Ujungnya, perawat tidak memiliki perlindungan dan kepastian hukum ketika menjalankan profesinya. “Sebab, dalam draf RUU Kesehatan, sama sekali tidak disinggung soal profesi keperawatan,” kata Harif. “RUU juga tidak mengakomodasi peraturan yang berimbang bagi perawat.”
Massa dari lima organisasi profesi kesehatan melakukan aksi penolakan RUU Kesehatan di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, 8 Mei 2023. TEMPO/Subekti
Kekhawatiran serupa disampaikan Ketua Umum PDGI Usman Sumantri. Menurut dia, RUU Kesehatan bersifat diskriminatif dan berpotensi mengkriminalkan tenaga medis. Ia mencontohkan Pasal 462 pada RUU Kesehatan yang mengatur tentang hukuman kepada tenaga kesehatan apabila melakukan kelalaian.
Masalahnya, kata Usman, tidak ada penjelasan terinci tentang bentuk tindakan yang disebut “kelalaian” itu. Sehingga bisa saja kata itu dimaknai macam-macam. Apalagi, dalam draf RUU, penulisan kata itu masih tertulis dengan tanda petik. “Artinya kan perlu penjelasan rinci,” katanya. Regulasi yang ambigu ini tentu menjadi ancaman bagi tenaga kesehatan.
Menurut Usman, jika organisasi profesi dilibatkan sejak awal, bunyi aturan yang ambigu tersebut tentu bisa dihindari. “Misalnya, pasal itu ditambah penjelasan: nakes dan tenaga medis yang menjalankan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan profesi tidak bisa dituntut,” ucap Usman.
Ihwal rencana PDGI mengajukan judicial review bersama empat organisasi profesi yang lain, kata Usman, itu memang menjadi opsi terakhir. Sedangkan rencana terdekat yang tengah disiapkan adalah menggelar aksi mogok kerja. “Untuk judicial review sebenarnya belum ada kesepakatan,” katanya.
Klaim Pemerintah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengemukakan bahwa RUU Kesehatan disusun untuk memperbaiki layanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk penyusunan draf, pemerintah telah melaksanakan 115 kali kegiatan partisipasi publik dalam bentuk diskusi dan seminar. Kegiatan ini melibatkan pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi. “Pemerintah juga sudah menerima 2.700 masukan, baik secara lisan maupun digital, melalui portal PartisipasiSehat,” katanya saat menyampaikan pandangan dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR, Senin lalu.
Menteri Budi mengibaratkan RUU Kesehatan ini seperti kompas yang memandu bangsa Indonesia menuju transformasi sistem kesehatan. “Tanpa kerja sama dari berbagai pihak, mustahil untuk kita bersama bisa mencapai tujuan akhir," kata Budi. Ia memaklumi jika masih terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi RUU Kesehatan ini. “Ya, memang undang-undang itu tidak mungkin memenuhi keinginan semuanya.”
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pendapat akhir pemerintah dalam rapat kerja Komisi IX DPR perihal pengesahan RUU Kesehatan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 19 Juni 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Adib Khumaidi secara tegas membantah pernyataan Menteri Kesehatan tentang pelibatan organisasi profesi dalam penyusunan RUU Kesehatan. “Kalau dilibatkan, minimal kami tahu bagaimana proses di Panja, masukan apa saja yang diterima atau ditolak,” katanya. “Kan ini kami tidak tahu, jadi apa yang disebut dilibatkan?”
Adib berharap pemerintah dan DPR mendengarkan tuntutan organisasi profesi dan masyarakat sipil agar pengesahan RUU Kesehatan tidak dilanjutkan. Dia mencontohkan Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun menggunakan metode omnibus dan belakangan justru menuai polemik. “Jangan sampai kita mengulang sejarah yang tidak bagus dalam membuat suatu produk hukum,” ujarnya.
Dua Fraksi Menolak
Dalam rapat kerja Komisi IX DPR pada Senin lalu, mayoritas fraksi menyetujui RUU Kesehatan berlanjut ke tahap pengesahan sebagai undang-undang melalui mekanisme rapat paripurna. Dari total sembilan fraksi, PDIP, PPP, PAN, dan Gerindra menyetujui secara penuh pengesahan RUU tersebut. Sedangkan Golkar, NasDem, dan PKB menyetujui dengan catatan, sementara Demokrat dan PKS menolak.
Netty Prasetiyani, anggota Fraksi PKS, menyatakan, dalam RUU Kesehatan tidak dimasukkan aturan tentang belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang (mandatory spending). Padahal mandatory spending merupakan bagian paling penting karena semua hal yang dituliskan dalam RUU Kesehatan sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk pelaksanaannya. Terlebih, Indonesia mengalami kendala dalam kemandirian farmasi dan alat kesehatan. “Masalah pemerataan distribusi tenaga medis dan kesehatan di Indonesia akan sulit terjamin jika mandatory spending-nya ditiadakan,” kata dia.
Penjelasan itu yang membuat Fraksi PKS menolak pengesahan RUU Kesehatan. Apalagi proses penyusunan RUU itu dinilai terlalu singkat. Padahal penyusunan RUU ini menggunakan metode omnibus yang mengkompilasi berbagai aturan dari sejumlah undang-undang. Dengan demikian, diperlukan waktu yang lebih panjang untuk mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan. “Sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak kepada masyarakat luas, bukan kepada para pemilik modal,” ujarnya.
Aliyah Mustika Ilham dari Fraksi Partai Demokrat sependapat dengan Netty. Penghapusan mandatory spending justru dapat mengganggu pelaksanaan berbagai program kesehatan. “Ini akan menimbulkan kekhawatiran, khususnya dari dunia kesehatan,” katanya. “Alokasi anggaran 5 persen dari total APBN itu seharusnya ditambah, bukan malah dihapus."
ANDI ADAM FATURAHMAN | IMAM HAMDI | TIKA AYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo