Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komitmen pemerintah ingin menyejahterakan guru diragukan.
Pasal tentang tunjangan dihapus.
Guru swasta dibayar sesuai dengan standar upah buruh.
JAKARTA – Polemik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) berlanjut. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menegaskan bahwa RUU itu disusun oleh pemerintah untuk menjamin peningkatan kualitas dan kesejahteraan para pendidik. Namun pemerhati pendidikan dan organisasi profesi guru ragu akan klaim tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pangkal polemiknya ada pada Pasal 105 dalam draf terbaru RUU Sisdiknas yang dipublikasikan Kementerian Pendidikan pada pekan lalu. Berisi sejumlah hak pendidik, pasal tersebut dianggap mengebiri ketentuan soal tunjangan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengatakan hal yang selama ini membantu kesejahteraan guru adalah tunjangan. Sebab, tunjangan diberikan kepada seluruh guru, baik yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) maupun non-ASN. "Guru swasta sangat membutuhkannya karena gaji guru non-ASN itu rendah. Makanya, mereka perlu dibantu negara dengan tunjangan," kata Satriwan. "Tapi sekarang malah dihapus. Pengaturannya diserahkan ke Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ini kan paradoks."
Pemerintah telah mengusulkan kepada Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat agar RUU Sisdiknas masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan 2022. Usulan itu disampaikan dalam rapat kerja pada Rabu, 24 Agustus lalu. Jika disetujui masuk Prolegnas Prioritas 2022, RUU tersebut akan mulai dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Jumat pekan lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi secara resmi membuka draf terbaru RUU Sisdiknas untuk mendapatkan masukan dari publik. RUU ini bakal menjadi omnibus law di sektor pendidikan karena mencabut sekaligus mengintegrasikan tiga undang-undang di sektor pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Draf RUU tersebut dinilai oleh banyak kalangan tak akan memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
Dalam draf RUU Sisdiknas, urusan pendidik dan tenaga kependidikan diatur dalam Pasal 104-126. Di dalamnya dibahas tentang guru, dosen, instruktur, pendidik keagamaan, dan tenaga kependidikan. Khusus soal hak guru, Pasal 105 huruf a menyatakan pendidik berhak memperoleh penghasilan atau pengupahan dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal itu berbeda dengan isi Undang-Undang Guru dan Dosen. Pasal 14 huruf a undang-undang tersebut menyatakan guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan jaminan kesejahteraan sosial. Sedangkan pasal selanjutnya menerangkan bahwa penghasilan tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Adapun yang dimaksudkan Satriwan adalah soal pengaturan penghasilan guru yang diserahkan ke Undang-Undang Ketenagakerjaan, merujuk pada bagian penjelasan Pasal 105 huruf a dalam draf RUU Sisdiknas. Penjelasan pasal tersebut menyatakan hak penghasilan atau pengupahan pendidik ASN diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara beserta peraturan turunannya. Adapun hak penghasilan dan pengupahan bagi pendidik non-ASN diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Satriwan mempersoalkan norma baru tersebut. "Dalam sejarah, tidak pernah ada gaji guru di bawah yurisdiksi UU Ketenagakerjaan," ujarnya.
Perwakilan guru melakukan aksi di depan Gedung Sate, Bandung, 1 Agustus 2022. TEMPO/Prima mulia
Koordinator Nasional Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), Doni Koesoema Albertus, juga menyoroti pasal yang memisahkan pengaturan guru ASN dan non-ASN. "(Pengaturan) guru ASN mengacu pada Undang-Undang ASN karena status mereka memang pegawai negeri," kata dia. "Guru non-ASN diatur dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, disamakan dengan buruk pabrik?"
Menurut Doni, pemerintah semestinya tidak mencampurkan pengaturan gaji guru dengan UU Ketenagakerjaan. "Sekarang bagaimana pemerintah bisa mengklaim bahwa RUU Sisdiknas bisa menyejahterakan guru? Klausul tunjangan saja dihapus karena akan diarahkan menggunakan UU Ketenagakerjaan," ujarnya. "Memangnya dalam UU Ketenagakerjaan ada (ketentuan) tunjangan guru, tunjangan sertifikasi?"
Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) meminta pemerintah kembali memasukkan klausul tunjangan profesi dalam batang tubuh Bab XI ihwal pendidik dan tenaga kependidikan. Ketua Himpaudi, Netty Herawati, mengatakan klausul tunjangan profesi yang diatur dalam Pasal 145 draf RUU Sisdiknas ambigu karena mengikuti syarat yang diatur ketentuan perundang-undangan. Sedangkan acuan pengupahan guru nantinya mengikuti UU ASN dan UU Ketenagakerjaan. "Usul kami adalah klausul soal tunjangan dimasukkan ke Pasal 105, sehingga nanti tinggal dikawal turunannya berupa peraturan pemerintah agar memuat adanya tunjangan profesi," kata Netty.
Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Ki Saur Panjaitan, menyatakan tunjangan profesi untuk guru tidak boleh dihilangkan. Pemerintah, kata dia, semestinya mempertegas komitmen untuk memberikan tunjangan profesi guru dengan memasukkannya secara eksplisit ke batang tubuh RUU Sisdiknas. "Kami setuju undang-undang direvisi. Tapi kalau ada yang kurang, kami harap bisa ditambahkan. Soal tunjangan, memang menjadi concern yang harus dimasukkan," kata Ki Saur, kemarin.
Selain itu, BMPS meminta pemerintah menghapus kata "dapat" pada Pasal 106 ayat 2 draf RUU Sisdiknas. Pasal tersebut berbunyi, "Pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan masyarakat dapat memfasilitasi pengembangan kompetensi pendidik secara berkelanjutan."
Menurut Saur, kata "dapat" membuat pengertian pemerintah ataupun masyarakat boleh memfasilitasi atau tak memfasilitasi pengembangan kompetensi. Dalam pengembangan pendidikan, kata dia, semua pihak semestinya terlibat, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan masyarakat. "Jadi. kata 'dapat' itu harus dihapus. Apalagi kami sudah pernah menggugat klausul itu dan kami dimenangkan di Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Seorang guru sedang mengajar para siswa di Jakarta, 3 Januari 2022. Dok. TEMPO/Magang/Ridho Fadilla
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan sama sekali tak berniat mengurangi kesejahteraan guru. Sebaliknya, dia berkukuh RUU Sisdiknas disusun agar semua guru mendapat haknya untuk sejahtera. "Kami justru ingin memproteksi dan meningkatkan kesejahteraan guru, yang menurut kami tidak bisa diwujudkan dengan tata kelola yang sekarang ini," kata Anindito.
Tata kelola sekarang yang ia maksudkan adalah kewajiban bagi guru untuk mengikuti sertifikasi jika ingin mendapatkan hak-haknya. Sedangkan dalam proses sertifikasi tersebut, kata Anindito, sebanyak 1,6 juta guru harus antre. "Karena itu, RUU Sisdiknas juga akan memperbaiki proses sertifikasi dan pendidikan profesi guru," ujarnya.
Menurut dia, RUU Sisdiknas memang tak mengatur hal teknis. Kelak, pengaturannya lebih mendetail tentang hak pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk guru, dituangkan dalam peraturan pemerintah.
Anindito mengakui bahwa tunjangan profesi guru dan tunjangan lainnya akan digantikan dengan mekanisme pengupahan lain. Standar pengupahan untuk guru ASN akan merujuk pada UU ASN. Sedangkan bagi guru non-ASN, yang mengacu pada UU Ketenagakerjaan, pemerintah akan meningkatkan besaran bantuan operasional sekolah yang diutamakan untuk kesejahteraan guru.
Dengan perubahan skema pengupahan tersebut, kata dia, pemerintah tidak harus mengacu pada sertifikasi guru untuk memberikan tunjangan. Semua guru yang telah mengajar akan mendapat penghasilan sesuai dengan undang-undang berdasarkan status mereka. "Regulasi ini justru akan meningkatkan pendapatan guru," ucapnya.
Anindito berharap publik tak keliru menafsirkan niat pemerintah tersebut. Dia memastikan pemerintah tetap terbuka terhadap masukan masyarakat untuk memperbaiki norma-norma dalam draf RUU Sisdiknas. Pemerintah masih bisa mengubah pasal dalam proses pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan pemangku kepentingan lainnya. "Masih bisa dimasukkan usulan masyarakat," kata dia.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat pengaturan pengupahan guru, yang mengacu pada undang-undang lain dan melimpahkan ke peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana, memperlihatkan bahwa penyusun RUU Sisdiknas tidak memahami bentuk undang-undang. "Seharusnya rigid saja diatur dalam satu undang-undang. Kalau seperti ini, logika harmonisasinya tidak duduk. Jika memang berkaitan dengan aturan lainnya, ya, atur saja di situ. Tidak perlu merujuk," ucapnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo