Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sajak di Kampung dan Kafe-kafe

Dalam jagat Internet, sastra tumbuh menjadi sesuatu yang tak angker. Belum menghasilkan karya yang cemerlang, tapi orang jadi tak sungkan menulis sajak, cerpen, atau esai—sebagian bahkan sudah diterbitkan menjadi buku. Inilah kisah seputar aktivis sastra cyber.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari pada tahun 2000. Di sebuah warung Internet di Depok, Gratiagusti Chananya Rompas duduk mencangkung di depan komputer. Tangannya memencet-mencet papan tombol, mengisi kolom-kolom pada tampil-an Yahoogroups. Anya, begitu ia biasa dipanggil, be-lum lama kenal Internet. Tetapi ia tahu, di ranah maya ini bisa terbentuk ruang diskusi. Ia memilih Bunga Matahari sebagai nama milis.

Selama beberapa waktu, milis itu hanya beranggotakan dua orang. Anya dan temannya, Danar Pramesti. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Indonesia penyuka puisi. Bunga Matahari semula mere-ka bangun sebagai ajang rendezvous pertukaran puisi antar-mereka. ”Sebelum di milis, kami tuker-tukeran puisi kalau ketemu di kampus,” kata Anya.

Kini, enam tahun kemudian, Danar sudah bekerja di bidang periklanan. Dan Anya baru saja kelar kuliah S2-nya di Universitas Stirling, Skotlandia. Ke-dua sahabat itu tak berubah, tetap menulis puisi. Tetapi- yang tak sama lagi adalah milis Bunga Matahari (Buma). Jumlah anggotanya kini sekitar 600 orang. Belum lama ini Buma meluncurkan kumpulan puisi pertama mereka, Antologi Bunga Matahari.

Jangan cari penyair bernama dalam buku itu. Tak ada Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau Acep Zamzam Nor. Para penulis Buma tak pernah dikenal di dunia sastra tanah air. Kebanyakan bahkan menggunakan nickname—Pepsi-_golda, Sihirhujan, Skeptical_jo, Yohihup, Stormix_jungle, Bercaspa, Redi@nfield, plus sederet nama ajaib lainnya. Datang dari manakah ”makhluk-makhluk” itu? Pada halaman identitas penulis, terungkap bahwa kebanyakan mereka adalah kalang-an profesional: perancang grafis, periklanan, perbankan, staf manajemen artis, konsultan arsitektur, otomotif, aktivis LSM, ada juga pemain band.

l l l

PUISI dan sastra tiba-tiba menjadi akrab. Di ranah- Internet, sastra menjadi membumi. ”Saya pertama kali belajar menulis puisi di Buma. Makin sering nulis, makin ingin terus belajar,” kata Festi Noverini, seorang peserta milis yang bekerja di kantor manajemen artis. Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku itu menyebut gejala ini sebagai keberhasilan sosialisasi sastra. ”Prestasi sosialisasi sastra tercapai- ketika kesan sastra (sebagai sesuatu) yang kurang gaul dihancurkan. Sastra menjadi sesuatu yang sehari-hari saja,” katanya.

Kata kuncinya adalah komunitas. Selain berinteraksi di milis, Buma juga memiliki Kebun Kata—acara bulanan pembacaan puisi yang digelar di kafe-kafe. Selain Buma, ada pula milis sastra lainnya seperti Penyair, Bumi-manusia, Puisi Kita, Gedong Puisi, Musyawarah Burung, Apresiasi Sastra, Cerpen Indonesia, Sastra Pembebasan, dan sebagainya.

Perjalanan milis Penyair cukup unik. Semula milis- ini ”dimiliki” dan dimoderatori Nanang Surya-di, seorang penyuka puisi dari Malang. Belakangan, milis ini dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS), lembaga yang didirikan sesama aktivis milis.

Soal peralihan ”kepemilikan” ini, ada ceritanya. Awalnya ada posting dari seorang anggota milis yang minta dukungan dana agar bisa berangkat ke Amerika Serikat. Ia baru saja menang dalam sebuah kompetisi penulisan puisi- di sana. Tapi duit cekak. Perserta milis lainnya trenyuh.

Maka, bertemu daratlah beberapa anggota yang sebelumnya tak saling kenal. ”Akhirnya kita sepakat membentuk suatu badan yang bisa mengayomi bakat-bakat muda seperti ini,” kata Medy Loekito, mantan Presiden YMS. Lembaga inilah yang kemudi-an me-ngelola milis Penyair, situs Cybersastra.net, dan menggelar berbagai kegiatan sastra. Dari sini komunitas terbentuk.

Mei 2001, komunitas ini meluncurkan antologi puisi pertama mereka, Graffiti Gratitude: Sebuah Antologi Puisi Cyber. Pada saat itu ikut pula diperkenalkan situs Cybersastra.net kepada khalayak. Sejumlah kalangan menyebut momentum ini sebagai semacam ”proklamasi” sastra cyber.

Tahun-tahun berikutnya, YMS kembali menerbitkan antologi dari beberapa genre sastra. Misalnya: Cyber-Graffiti (kumpulan esai), Graffiti- Imaji (antologi cerpen-pendek), Les Cyberlettres (puisi), dan Cyberpuitika (lihat, Hutan Kata dari Internet).

Seperti Buma, anggota komunitas milis Penyair da-tang dari pelbagai kalangan. ”Saya kira lebih dari 60 persen anggotanya dari kalangan profesional,” ka-ta Yono Wardito, Presiden YMS yang menggantikan- Me-dy Loekito. Yono adalah eksekutif di bidang teknologi informasi di Balikpapan. Hingga pertengahan Fe-bruari, anggota milis Penyair sekitar 2.600 orang.

Milis lainnya adalah Apresiasi Sastra (Apsas). Dijaga oleh sembilan moderator, secara rutin mereka menggelar pembahasan karya-karya anggotanya secara online. Tidak hanya itu, Apsas juga menggelar berbagai workshop yang berkaitan dengan dunia kata-kata.

l l l

TAK semua orang bisa menghargai komunitas sastra Internet ini—meski harus diakui kualitas pu-isi atau prosa mereka banyak yang biasa-biasa saja. Sutardji Calzoum Bachri mengkritik keras mutu sastra- cyber pada peluncuran Graffiti-Gratitude tahun 2001. Penulis Ahmadun Y. Herfanda di sebuah koran Ibu Kota mengibaratkan sastra cyber sebagai tong sampah. Resistansi masih berlanjut ketika Antologi Puisi Digital diluncurkan pada 2002. Beberapa penyair di Yogyakarta dan Bandung memandang skeptis. Tapi ini tak menciutkan nyali penggiat sastra cyber. ”Puisi adalah milik semua orang,” kata Anya. ”Ini milis asyik-asyik saja, kok. Yang penting teman-teman merasa pede menulis puisi.”

Menurut penulis Linda Christanty, pada dasarnya setiap orang ingin menulis puisi. ”Lalu setelah itu se-lalu ada keinginan untuk berbagi,” kata pengarang- kumpulan cerpen Kuda Terbang Mario Pinto ini. Linda bersama Eka Kurniawan adalah pendiri mi-lis Bumi Manusia (lihat, Sejumlah Oasis Sastra Vir-tu-al-)-.

Sejatinya, milis sastra dipergunakan untuk mewadahi hasrat penulis yang karyanya tak lolos terbit di media cetak. Selain itu, menurut Saut Situmorang, penulis Yogyakarta, sastra ini menjadi ”perlawanan” terhadap media cetak yang kerap menjadi ”pembaptis” para penulis. Mereka yang karyanya pernah muncul di koranlah yang berhak menyebut diri penyair atau penulis. Jika lahan koran hanya bisa memuat lima dari 1.000 puisi yang masuk, ”Tidak berarti 995 puisi lainnya itu sampah, kan?” kata Medy Loekito.

Tumbuhnya komunitas sastra ini disambut gembira Jamal D. Rahman, seorang pekerja harian di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Menurut dia, komunitas yang menyandarkan kegiatannya di dunia maya itu membuka kemungkin-an bagi sosialisasi sastra lebih jauh. Berbagai milis sastra dan situs sastra baginya adalah medan di mana orang-orang bisa saling berekspresi melalui sastra. ”Karya sastra yang dulu terasing menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat kita,” katanya.

l l l

BICARA sosialisasi sastra, sebuah cerita datang dari Desa Ciloang, Serang, Banten. Di lahan seluas 1.000 meter, di kompleks Hegar Alam, ada sebuah komunitas yang menjadikan kesusastraan aktivitas sehari-hari. Inilah Rumah Dunia, yang dirikan pasang-an suami-istri Heri Hendrayana Harris (Gola Gong) dan Tias Tatanka.

Rumah Dunia, yang didirikan pada 1990-an, mela-tih anak-anak desa menulis. ”Mere-ka dilatih menulis puisi dan jurnalistik,” ujar Gola Gong. Selain itu-, ada pula latihan teater dan seni rupa. Semua gratis.

Untuk menggerakkan aktivitas itu, Gong dibantu sahabat-sahabatnya, antara lain Toto St. Radik, Firman Venayaksa, Qizink La Aziva, Ade, Piter Tamba, Indra Kesumah, Ibnu Adam Avicena, dan Deden. Ha-silnya, lumayan. Dalam tiga tahun terakhir, beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen pernah diterbitkan Rumah Dunia. ”Mereka jadi lebih percaya diri,” kata Gola Gong.

Gagasan mendirikan Rumah Dunia berawal ketika Gola Gong kuliah di Universitas Padjadjaran, Ban-dung, 1982. Idenya terkesan muluk: mereka ingin terlibat dalam per-ubahan masyarakat. ”Saya bukan yang- paling berkemampuan secara finansial, tapi sa-ya terdorong untuk memulai.”

Maka, dengan modal perpustakaan milik ayahnya. Harris Sumantapura, seorang pensiunan guru, dimulailah langkah itu. Tekad itu disokong oleh Tias Tantaka. Rumah Dunia kini menjadi semacam padepok-an bagi mereka yang ingin menggeluti sastra dan kesenian. Mereka datang dari berbagai kalangan. Termasuk guru-guru setempat yang ingin meluaskan wawasan dalam bidang tulis-menulis, seni rupa, dan teater.

Rumah Dunia terus bergerak. Sebuah perhelatan yang diberi tajuk Ode Kampung, Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara, awal Februari lalu, menjadi arena mengasah kemampuan menulis dan bersastra-. Ada diskusi, ada pula pembacaan puisi dan pentas kesenian. Pelbagai penulis diundang, di antaranya Gus tf. Sakai (Payakumbuh), Isbedy Stiawan Z.S. (Lampung), Saut Situmorang (Yogya-karta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), dan Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta). Selain itu, datang pula 12 mahasiswa dari Universitas Sriwijaya.

Hujan sesekali mengguyur arena acara. Tetapi itu tak mampu membendung keakraban yang tumbuh di antara seniman dan masyarakat sekitar. Tidak ada jarak. Semua merasa ”Ode Kampung” adalah wujud keprihatinan bersama: jalan-an yang rusak, harga gabah yang ren-dah, lampu penerangan jalan yang byar-pret, dan budaya mem-baca yang sangat kurang. Dari Bu-nga Matahari hingga Rumah Dunia. Sastra menyusup dari kafe gemerlap hingga kampung-kampung.

Tulus Wijanarko, Olivia Kristina Sinaga, Syaiful Amin (Yogyakarta), Faidil Akbar (Serang)


Sejumlah Oasis Sastra Virtual

Sastra Pembebasan

Akhir tahun lalu, milis ini meluncurkan buku 40 Tahun Tragedi Kemanusiaan 1965-2005; Antologi Puisi-Cerpen-Esai-Curhat. Isinya kumpulan tulisan seputar G30S dan kejadian yang mengikutinya. Tak dimaksudkan sebagai telaah sejarah, artikel-artikel dalam buku ini bersifat permenungan lepas. [email protected]

Forum Lingkar Pena

Forum Lingkar Pena (FLP) boleh jadi merupakan organisasi penulis paling tertata dengan anggota sekitar 8.000 orang yang tersebar di berbagai kota. Cabang mereka ada di Hong Kong, Jepang, dan Mesir. Didirikan oleh dua penulis kakak-adik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, tahun ini FLP memasuki usia kesembilan. [email protected]

Truedee-List

Ketika novel Supernova yang ditulis Dewi ”Dee” Lestari meledak pada tahun 2001, milis ini muncul sebagai wadah komunikasi para pembaca Supernova. Belakangan, sejumlah anggota milis berkolaborasi menulis novel bersama yang diberi judul Puing, disunting oleh Bondan Winarno. Dee sendiri jarang terdeteksi kehadirannya di milis yang didedikasikan untuknya ini. [email protected]

Rumah Dunia

Selama tiga hari pada awal Februari, komunitas sastra yang dikomandani mantan penulis remaja era 80-an, Gola Gong, menggelar perhelatan Ode Kampung, yang dihadiri sejumlah penyair dan esais nasional, di markas mereka di Serang, Banten. Dalam kegiatannya, Rumah Dunia banyak melibatkan masyarakat setempat, terutama anak-anak, dengan tujuan agar mereka melek sastra. www.rumahdunia.net [email protected]

Cybersastra

Dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra, komunitas ini berada di barisan terdepan dalam mengegolkan apa yang disebut ”sastra cyber” pada awal era 2000. Sayang, setelah menerbitkan beberapa buku—antara lain antologi puisi Graffiti Gratitude dan kumpulan esai Cyber Graffiti—sampai awal pekan lalu isi situs ini tak lagi diperbarui. www.cybersastra.net [email protected]

Apresiasi Sastra

Digawangi oleh sembilan moderator yang bermukim di tujuh kota di empat negara—mungkin jumlah moderator terbanyak untuk sebuah milis sastra—milis ini secara ajek menyelenggarakan apresiasi dan online workshop, dari lika-liku pantun, jurnalisme sastrawi, sampai penulisan kritik film. [email protected]

Musyawarah Burung

Nama milis ini diambil dari karya fenomenal Fariduddin Attar. Anggota milis di antaranya adalah pengamat politik Eep S. Fatah dan Indra J. Piliang, serta pengamat komik Hikmat Darmawan. Sayang, meski milis masih berjalan, posting yang tercantum di milis ini sudah lebih banyak spam dibandingkan pada saat-saat awal. [email protected]

Bumimanusia

Saat dua penulis, Eka Kurniawan dan Linda Christanty, masih aktif mengelola milis ini, berbagai posting yang beredar sering menyegarkan dan witty. Belakangan, keduanya lebih aktif sebagai penulis sehingga kualitas mutu posting menurun jauh. [email protected]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus