Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hutan Kata dari Internet

Enam tahun terakhir, milis komunitas sastra bermunculan. Ada yang main-main, ada yang serius.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA huruf berloncatan, membentuk kata, menyusun kalimat. Sayup, di kejauhan terdengar alunan gitar akustik. Lalu foto hitam-putih karya Erik Prasetya muncul memenuhi layar: gambar bocah jalanan yang mengintip sebuah mobil mewah. Lalu, huruf demi huruf bergerak, berkumpul di atas gambar. Puisi liris Berpikir Bui karya A. Richa Amalia muncul ke permukaan.

Inilah Cyberpuitika; Antologi Puisi Digital (2002) karya Yayasan Multimedia Sastra. Berbeda dengan antologi puisi biasa, Cyberpuitika disajikan dalam cakram -padat (CD). -Di-kemas dalam Microsoft -Pow-er Point, pro-gram presentasi populer, ”Teks puisi tidak berdiri send-i-ri, melaink-an -diperkaya oleh elemen audiovisual,” kata Nanang Suryadi, penggagas Cyber-puitika. ”Inilah perbedaan mencolok dengan puisi konvensional.”

Tidak hanya kemasannya yang unik, proses pembuatannya pun menarik. Sumber inspirasi puisi ini ada-lah karya foto, lukisan, dan musik yang telah ditetapkan panitia—Yayasan Multimedia Sastra. Beberapa di antaranya adalah lukisan Popo Iskandar, Jeihan Sukmantoro, Herry Dim, atau foto Erik Prasetya dan Rasdian Vadin. Dari dunia musik, ada komposisi Sapto Rahardjo, Iwan Hasan, Dotty Nugroho, dan Krakatau Band. ”Tiap penyair diberi kebebasan untuk berimajinasi berdasarkan bahan -inspi-rasi tersebut,” kata Nanang, 34 tahun.

Sekurangnya terdapat 12 penyair yang menyumbangkan sejumlah puisinya. Para penyair memang diizinkan menulis lebih dari satu sajak. Beberapa penulis yang muncul dalam antologi itu di antaranya- adalah Anwar, Ali Syamsudin, Arif Budi R., Asep Sambodja, Ben Abel, Ane Situi H., Anggoro, Cunong Nunuk Suraja, dan Ary Katak B.

Yang menarik, seluruh pengerjaan antologi puisi- ini dilakukan tanpa tatap muka. ”Semua dilakukan secara cyber, sejak dari pengumuman, tanya-ja-wab, konsultasi teknis, hingga pembuatan CD,” ka-ta Nanang. Banyak peserta antologi puisi CD ini yang belum pernah bertemu muka satu sama lainnya. Jembatan komunikasi mereka, ya, hanya surat elek-tronik.

Cyberpuitika bukanlah satu-sa-tunya karya Yayasan Mul-ti-media Sastra. Berdiri pa-da tahun 2000, komu-nitas ini telah melahirkan lima buku lainnya. Ber-turut-turut mereka me-nerbitkan Graffiti Gratitude (kumpulan puisi, 2001), Cy-bergraffiti (kumpulan esai, 2001), Graffiti Imaji (kumpu-lan cerita pen-dek, 2002), Cyber Graf-fiti: Polemik Sastra Cy-berpunk (2004) dan Les Cyberlettres (kumpulan puisi, 2005).

Yayasan Multimedia Sastra bukan satu-satunya komunitas sastra dunia maya yang rajin menerbitkan buku. Tahun lalu Lembaga Sastra Pembebasan, misalnya, juga menerbitkan 40 Tahun Tragedi Kemanusiaan 1965-2005; Antologi Puisi-Cerpen-Esai-Curhat.

Lembaga Sastra Pembebasan adalah pengelola milis Sastra Pembebasan yang berdiri pada penghujung 2003. Milis ini lumayan laris. Belum genap tiga bulan usianya, 221 orang mendaftar dan lebih dari 4.300 posting masuk. ”Milis ini bertujuan membuka pintu sebebas-bebasnya untuk menelaah karya sastra,” kata Daniel Mahendra, salah satu pendirinya.

Ide lahirnya buku 335 halaman ini untuk menggali kembali peristiwa G30S dari orang-orang yang meng-alami langsung peristiwa berdarah itu. Tahun lalu, tragedi itu berusia empat dasawarsa. Persiapan buku itu relatif pendek. ”Hanya tiga bulan,” kata Daniel. Menariknya, sebagian besar penulis yang terlibat dalam buku ini adalah orang-orang yang tidak punya pengalaman menulis.

Pencetus ide adalah Heri Latief, penulis yang tinggal- di Belanda, yang terkesan dengan cerita salah seorang keluarga korban G30S. Lewat sebuah diskusi di milis Sastra Pembebasan, keingin-annya tersebut mendapat sambutan ha-ngat. Lewat peranti milis pula para saksi peristiwa yang selamat dilacak. ”Hingga buku selesai, saya dan Herie Latief ha-nya berdiskusi melalui milis,” kata Daniel, yang juga pendiri Pra-moedya Institute.

Selain 40 Tahun Tragedi Kemanusia-an, pada 2004, Sastra Pembebasan juga me-nerbitkan Antologi Puisi-Cerpen dan Esai dengan editor Heri Latief dan Sarabunis Mubarok—keduanya penanggung jawab milis Sastra Pembebasan. ”Hampir seluruh dana buat mencetak buku berasal dari saweran anggota milis,” kata Daniel.

Patungan menerbitkan buku juga dilakukan peserta milis Membaca Pra-moedya. Lahir pada 2004 lalu, milis yang rajin menggelar diskusi tentang sastrawan Pramoedya Ananta Toer ini menerbitkan buku Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra. Ketika itu usia milis baru lima bulan.

Anggota milis lain yang juga kerap saweran untuk menerbitkan buku adalah Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI). Berdiri pada 2000, PKMI telah menerbitkan delapan buku. Milis ini juga telah memiliki perusahaan penerbitan sendiri bernama Pustaka Primatama. ”Tahun ini kami akan membuat komik Karl May bergaya manga, komik Jepang,” kata Pandu Ganesa, pendiri PKMI.

Buku teranyar yang lahir dari sebuah komunitas sastra cyber adalah Antologi Bunga Matahari, yang diluncurkan Ja-nuari lalu. Bunga Matahari alias Buma adalah komunitas puisi online yang dibentuk pada 2000. Selama enam tahun, milis ini telah memiliki 650 anggota dari berbagai latar belakang profesi.

Pada 2004, sejumlah pentolan milis, sa-lah satunya Gratiagusti Chananya Rompas, menggagas antologi yang disarikan dari ribuan puisi yang dihasilkan para anggota. Sebuah panitia kecil dibentuk dan 155 puisi karya 93 anggota milis dipilih untuk masuk antologi ini.

Dalam kata pengantar Antologi Bu-nga Matahari, Seno Gumira Ajidarma me-nga-takan ada banyak puisi serius dalam antologi ini, dalam arti penulisnya bersungguh-sungguh mem-bangun konstruksi puitik. ”Namun, juga ba-nyak yang sekadar bermain-main saja,” tulis Seno. Tapi, lan-jutnya lagi, justru kecende-rungan yang ”antise-rius” ini yang menarik. ”Soalnya, dalam bentuk yang meng-halalkan ”kebebasan” itulah ada komunitas yang saling berkomunikasi atas nama kecintaan kepa-da puisi.”

Tak dimungkiri, Internet telah jadi lahan subur buat para penggiat sastra. ”Komunitas sastra cyber- merupakan media pembelajaran dan ”taman ber-main” yang nyaman bagi para penulis untuk men-dapat apresiasi dan respons publik,” kata penyair Jo-ko Pinurbo.

Cahyo Junaedy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus