Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKERJAAN mereka beragam, dari direktur kreatif perusahaan iklan sampai kepala bagian akunting perusahaan kertas. Tapi kecintaan pada sastra membuat mereka menjadikan tetikus (mouse) dan layar komputer perangkat berkarya di dunia aksara. Inilah profil beberapa ”samurai sastra” yang sering berkelebat di dunia maya.
GRATIAGUSTI CHANANYA ROMPAS Kebun Gothik
PENAMPILANNYA selalu ceria, cantik, dan bisa menyesatkan seperti tampilan ABG yang sering nongkrong di mal. Tapi Anya, 26 tahun, punya pengetahuan yang langka, bahkan untuk ukuran peminat sastra serius di Tanah Air: sastra Gothik. Tesisnya yang berjudul Gothic and the Quest for National Identity in Contemporary Indonesian Horror Films kini tersimpan di perpustakaan Universitas Stirling, Skotlandia, kampus tempatnya mendapat gelar pascasarjana S2. Sebelumnya, Anya sekolah di Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Sepulang dari Skotlandia akhir tahun silam, Anya kembali sibuk mengelola milis Bunga Matahari, sebuah komunitas penyair virtual yang didirikannya lima tahun silam dan baru merilis antologi pertama, Januari lalu. ”Saya masih belum ada pekerjaan tetap, nih. Maunya sih jadi dosen,” ujar penyuka Edgar Allan Poe dan Joko Pinurbo ini.
Sekitar 3-5 jam sehari dihabiskannya di depan Internet. Namun, ia tak pernah mengambil posisi sebagai kritikus sastra terhadap sajak-sajak di Bunga Matahari- yang sering lucu-lucu dan terkesan dibuat spontan itu. ”Paling kalau ada pemilihan diksi- yang sangat- keliru, baru saya komentari,” katanya. Jadwal tetapnya sekarang? Cari saja di Tornado Coffee, kawasan Wolter Monginsidi, Jakarta. Setiap Jumat malam, Anya bertemu dengan para penggiat milis Bunga Matahari lainnya untuk merancang berbagai program, seperti Kebun Kata, pentas penyair yang digelar setiap sebulan sekali dan sudah berlangsung hampir tiga tahun.
NOVIANA KUSUMAWARDHANI Sastra Sebungkus Rokok
KALAU ada moderator mailing list yang sampai lupa pada password surat elektroniknya sendiri, itulah Noviana Kusumawardhani, 40 tahun. ”Baru dua minggu ter-akhir ini saya bisa mengelola milis lagi, setelah seorang rekan yang paham IT membantu meng-crack password itu,” katanya tergelak. Kesibukan Novi sebagai creative director perusahaan iklan BBDO Komunika selama tiga tahun terakhir membuat ibu dua anak ini tak bisa segera merapikan milis (mailing list) yang pernah menjadi favorit para penggemar sastra pada awal era 2000-an itu.
Akubaca didirikan Novi bersama penulis cerpen A.S. Laksana. Persahabatan mereka dibuhul ketika sama-sama menjadi mahasiswa komunikasi Universitas Gadjah Mada, sekitar 20 tahun silam. ”Kami ingin image sastra itu nggak ’seram’, dan harga karya sastra bisa lebih murah dari sebungkus rokok supaya banyak dibaca masyarakat,” ujarnya.
Maka, Sulak—nama panggilan A.S. Laksana—dan Novi berbagi tugas. Sulak menangani Yayasan Akubaca. Sedangkan Novi, yang saat itu bekerja sebagai copy writer- di Leo Burnett, didapuk sebagai moderator milis. Inovasi Akubaca tak main-main, mereka menerbitkan buku saku dari karya-karya raksasa seperti Rashomon (Ryunosuke Akutagawa), Erendira (Gabriel Garcia Marquez), Hati yang Meracau (Edgar Allan Poe), atau Untuk Dia Yang Menunggu (O’ Henry). Buku-buku mungil itu dibanderol dengan harga Rp 5.000. Laris manis!
Musibah terjadi ketika komputer- Sulak yang berisi banyak program Akubaca terserang virus—tak terselamatkan. ”Kita terpukul sekali waktu itu. Semangat langsung melemah,” ujar Novi. Ditambah dengan insiden ”lupa password” itu, Akubaca berjalan bak kapal tanpa nakhoda. Segala jenis posting masuk, termasuk spam yang merajalela. ”Sekarang mulai dibenahi lagi. Tunggu saja bulan Maret, Akubaca akan membuat sebuah kejutan lagi,” kata-nya. Karena kiprahnya di dunia iklan yang glamor, dan kecintaannya pada sastra yang ”miskin glamor”, teman-temannya punya panggilan khusus untuk Novi: Kirun (Kiri Untung).
PANDU GANESA Bacaan Istri Hamil
PANDU pernah membuat syok penjual buku di Melawai. Pada suatu hari di tahun 1988, ia memborong 25 judul karya Karl May, terbitan Prajna Paramitha. Setiap judul dibelinya tiga eksemplar. ”Penjualnya tambah bengong ketika saya bilang itu untuk bacaan istri saya yang sedang hamil anak pertama,” ujar lelaki periang- ke-lahiran Kediri 52 tahun silam itu. Kini sang anak, yang selalu dibacakan petualangan Old Shatterhand dan Kara Ben Nemsi ketika dalam kandungan, sudah duduk di kelas 3 SMA. ”Favoritnya Winne-tou,” kata Pandu dengan bangga.
Awalnya, Pandu murni berkarier- sebagai pengusaha. Pada akhir era 80-an dan awal 90-an, ia membudidayakan belut air tawar (eel), bahan tabayaki, makanan khas Jepang. Untuk itu, ia harus sering bolak-balik ke Jerman karena peralatan dan teknologi budidaya banyak diimpor dari sana. ”Satu hari ketika di Dresden, saya ngabur dari rombongan mengunjungi- rumah Karl May di Radebeul di pinggiran Dresden,” ujarnya me-ngenang.
Setelah itu, ia sempat banting setir ke industri perkayuan sampai akhir 90-an, ketika harga kayu Indonesia yang rontok di pasaran dunia ikut membuat minat Pandu mengkerut.
Eh, di satu milis penggemar mu-sik klasik rock, Pandu malah berdiskusi asyik dengan sejumlah anggota yang juga penggemar Karl May. ”Sejak itu saya putuskan untuk membuat situs penggemar Karl May di Indonesia,” ujar kolektor 200 judul novel Karl May dalam berbagai bahasa ini. Komu-nitas itu ditabalkan dengan nama Indokarlmay, dengan tanggal ke-lahiran yang disepakati bersama: 23 Desember 2000.
Di bawah keuletan Pandu, Indo-karlmay juga mengancik ke dunia penerbitan dengan mengibarkan bendera Pustaka Primatama. Modalnya? Cuma Rp 27 juta, pinjaman dari lima pemodal. Sampai awal Februari 2005 sudah 15 judul diterbitkan. Sepuluh dari Karl May, sisanya dari berbagai judul, termasuk komik Rampokan Jawa (Peter van Dongen). ”Bulan depan akan terbit seri Karl May untuk anak-anak, judulnya Anak Pemburu Beruang,” kata Pandu, yang hampir selalu hadir dalam per-temuan berbagai milis sastra di Jakarta.
HERNADI TANZIL Produktif Meresensi
DARI kesejukan Kota Bandung-, muncul Hernadi Tanzil, 35 tahun-, kepala bagian akunting sebuah perusahaan kertas terkemuka di Kota Kembang. Resensinya, atas buku-buku sastra baru, muncul hampir setiap minggu di berba-gai milis sastra yang bersumber dari blog miliknya: bukuygkubaca.blogspot.com. Dalam sebulan ia menuntaskan 8-10 buku yang hampir selalu dibedahnya dengan nada suportif. Produktivitasnya dalam membedah karya-karya baru membuat banyak peselancar dunia maya geleng-geleng kepala tentang caranya membagi waktu.
Tanzil adalah satu dari sembilan moderator Apresiasi Sastra, milis yang pada 6 Januari lalu genap berusia setahun. ”Rencana-nya, April mendatang kami akan menerbitkan kumpulan cerpen dari 10 penulis perempuan milis Apresiasi Sastra,” kata penggemar karya-karya -Pramoedya Ananta Toer ini. Setelah itu, Apsas—nama sebutan milis itu—berencana -menerbitkan ter-jemahan novel Franz Kafka, Der Prozess, yang dikerjakan oleh Sigit Susanto, salah seorang moderator milis yang tinggal di Basel, Swiss. Di Bandung, Tanzil juga penggiat -komunitas Textour, sebuah kelompok peminat sastra di Kota Kembang.
Bagaimana caranya Tanzil- -meng-atur waktu, bekerja di -dunia angka sekaligus aksara? ”Saya bawa senang saja. Kadang-kadang kalau ada acara di akhir pekan, misalnya peluncuran buku di -sebuah mal, saya ajak istri dan anak ke sana,” katanya.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo