Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Seto Mulyadi: Anak Bukan Milik Orang Dewasa

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI kasus kekerasan terhadap anak membuat Seto Mulyadi, 55 tahun, mesti menyambangi banyak tempat. Suatu saat pria yang akrab disapa Kak Seto ini mesti terbang ke Kanada untuk menjadi saksi ahli dalam pengadil-an warga Indonesia untuk kasus kekerasan anak.

Kali lain, Kak Seto menyusuri pojokpojok perkampungan di kawasan Sun-ter, Tanjung Priok. Di sana ia mengunjungi Siti Ihtiatus Soleha, 8 tahun, yang tinggal di rumah neneknya karena di rumah sendiri ia disiksa sang ayah. Sekadar mengurangi derita anak itu, Kak Seto selama satu jam mendongeng kisah "Pak Buaya".

Kegiatan-kegiatan itu hanyalah se-bagian kecil dari aktivitas Kak Seto sebagai Ketua Komisi Nasional Perlindung-an Anak yang dilakoninya sejak 1998. Pria ramah ini giat mengkampanyekan penggunaan UU Perlindungan Anak, bukan KUHP, dalam kasus-kasus yang melibatkan anak-anak.

Kasus kekerasan terhadap anak terus- meningkat beberapa tahun terakhir. "Tetapi itu sebenarnya hanya gunung es saja," kata penerima penghargaan Peace Messenger Award (1987) dari Sekretaris- Jenderal PBB Javier Perez de Cuellar. Selama ini, menurut dia, banyak sekali- hak anak yang sudah dilanggar oleh anggota rumah tangga dan negara. Tewasnya Dede Arjuandri, 4 tahun, di tangan ayahnya sendiri dan diajukannya Raju, 8 tahun, ke pengadilan orang dewasa karena berkelahi dengan teman hanya beberapa contoh.

Kamis pekan lalu, Kak Seto menerima Tulus Wijanarko, Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo. Penampilannya tak berubah: senyum terkembang de-ngan rambut lurus menutupi dahi. Meski umur bertambah, ia juga tetap dipanggil Kak Seto. "Bahkan mertua saya pun memanggil Kak Seto," katanya geli.

Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kekerasan terhadap anak ini seperti- gunung es: kelihatan hanya puncaknya. Baru setelah ada perhatian dari banyak kalangan, gejala ini mulai terungkap. Seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah bercerita pada saya, du-lu di Kepu-lauan Riau bukan hal yang aneh jika melihat keranjang buah-buah-an berisi bayi. Diapakan bayi-bayi itu? Mereka dijual untuk dijadikan pekerja seks atau buruh. Bahkan ada yang organ tubuhnya diambil. Dengan gencarnya sosialisasi UU Perlindungan Anak, permukaan gunung es itu mulai turun.

Di lapisan masyarakat mana keke-ras-an ini banyak terjadi?

Di semua lapisan: bawah, menengah-, maupun atas. Temuan Komnas Per-lindung-an Anak menunjukkan, 80 per-sen- kekerasan domestik dilakukan para ibu. Tidak berarti ibu lebih sadis, tetapi mungkin karena mereka lebih banyak di rumah, jadi lebih banyak menanggung stres.

Kenapa ini terjadi?

Ini disebabkan paradigma keliru orang dewasa tentang anak. Orang tua menganggap anak adalah hak milik. Di sekolah, guru menganggap anak di bawah kekuasaan mereka. Sementara petugas (polisi) di lapangan merasa wajar menggebuki anak yang ditangkap, karena anak dianggap warga negara kesekian. Itu semua awal kekerasan. Lalu dipicu faktor lain seperti kesulitan ekonomi.

Komnas Perlindungan anak mencanangkan tahun ini sebagai tahun stop kekerasan terhadap anak. Apa yang akan dilakukan?

Kampanye besar-besaran. Paradigma- yang keliru itu harus diubah. Anak bukan- hak orang tua. Menurut agama, anak kan titipan Tuhan. Ini sebetulnya- suatu gerakan, karena kekerasan itu tidak- bisa distop total. Tetapi upaya harus dilakukan. Saya selalu mengatakan bangsa ini akan runtuh kalau kekerasan terhadap anak dibiarkan. Apa jadinya- kalau pemimpin bangsa ini terdiri dari orang yang mengalami keke-rasan selama- kanak-kanak? Kemarin saya mengunjungi bapak yang melakukan kekerasan terhadap anaknya sampai tewas. Katanya, dia dulu juga dikerasin, ditempeleng oleh ibunya. Ini semua harus dihentikan. Kalau tidak, bangsa ini akan gemar kekerasan.

Anda ingin mengatakan masa kecil- yang penuh kekerasan akan mendorong- orang untuk juga melakukan keke-rasan?

Anak-anak belajar marah dari orang tuanya. Kalau kemudian dia melakukan kekerasan, itu pantulan dari orang tua yang juga melakukan hal serupa. Ada contoh lain. Saya pernah jadi saksi ahli anak Indonesia yang di-abuse oleh ibunya di Kanada. Bayangkan, anak sembilan tahun dikunci di luar rumah pada musim dingin. Waktu saya tanya pengacara ibunya, kenapa bisa demikian? Dia bilang, ini belum apa-apa. Ibu itu dulu diperlakukan lebih sadis oleh ibunya.

Selain faktor individual, adakah faktor sosial-budaya yang jadi penyebab kekerasan pada anak?

Ada banyak interpretasi keliru me-nge-nai ajaran. Di daerah Timur ada moto "di ujung rotan ada emas". Ini diartikan, kalau anakmu nakal, pukullah. Dalam Islam, kalau usia sekian belum mau salat, pukullah. Ini ditafsirkan keliru. Saya sudah konsultasi dengan ahli agama, ternyata pukullah di situ ber-arti bertindaklah lebih tegas. Sekali lagi, lingkaran kekerasan ini harus dihentikan. Seorang pemimpin yang masa kecil-nya mengalami kekerasan akan memimpin dengan kekerasan pula.

Ibu-ibu berlaku keras pada anak, karena anaknya sulit diatur....

Anak aktif itu sehat dan normal, karena dia berpikir dengan bergerak secara motorik. Dia harus mencoba segalanya-, menendang, berlari, berteriak, melempar. Kenapa harus pusing? Restoran McDonald malah lebih mengerti soal itu dengan menyediakan fasilitas bermain.

Selain kekerasan fisik, ada juga kategori kekerasan nonfisik?

Membentak, menghina, mengolok-olok, memberikan julukan pada anak seperti "pendek", "bodoh", "dasar nggak tahu diri". Bentuk lainnya adalah ancaman dan tekanan. Misalnya, kalau sampai nggak mau melakukan sesuatu, tak diaku sebagai anak. Atau menakut-nakuti dengan (ancaman) dosa.

Itu semua tercantum di UU Perlin-dungan Anak?

Dalam UU itu hanya disebutkan sebagai kekerasan psikologis, tapi dalam penjelasannya ada.

Berapa batasan usia anak menurut UU?

18 tahun ke bawah, termasuk yang di dalam kandungan. Ibu-ibu yang hamil harus mendapatkan suasana kondusif baik dari suami atau siapa saja.

Apakah UU Perlindungan Anak sudah- cukup kuat untuk menjamin hak anak dan melindungi mereka?

Memang, masih ada kelemahan. Tetapi, asalkan implementasinya bagus, ini bisa menjadi alat penetrasi yang ampuh. Lihatlah di Bali yang sering dianggap surga kaum pedofil. Mantan diplomat Australia yang melakukan praktek pedofilia di sana divonis 12 tahun. Setelah itu kasus pedofilia langsung menurun. Jadi, ada efek jera.

Tapi masih cukup banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak menggunakan UU Perlindungan Anak.

Selama ini dakwaan primernya memang masih menggunakan KUHP. Makanya kita selalu meminta kepada aparat, ini lex specialis.

Soal kasus Raju, apakah perlu dibawa sampai ke pengadilan?

Inilah kalau hukum dianggap sebagai mesin belaka. Polisi, jaksa, hakim, itu sekadar sekrup-sekrupnya. Mereka ber-anggapan, karena sudah sesuai dengan pasal ini, aturan ini, maka pengadilan jalan terus. Ini yang harus diubah.

Apakah ada pelanggaran dari aparat dalam hal ini?

Kami sudah ke sana bersama Komisi- Yudisial dan melihat banyak pelanggar-an. Seharusnya sidang itu tertutup. Raju juga tidak boleh ditahan bersama orang dewasa.

Apa yang sudah dilakukan Komnas?

Karena sidang pengadilan tidak bisa dihentikan, waktu itu kami mengusulkan agar pengadilan selanjutnya dilakukan secara benar. Maksudnya, kalau dia trauma dengan ibu hakim, gantilah de-ngan hakim yang lain. Ruang pengadil-annya kalau bisa di kelasnya saja. Lalu, diputuskan bebas. Itu pun tidak sekadar mem-bebaskan, tapi merehabilitasi kondisi mentalnya yang sudah telanjur hancur. Dua-tiga tahun tidak cukup untuk memulihkan trauma yang dahsyat itu.

Soal rehabilitasi mental, siapa yang harus bertanggung jawab?

Negara. Bisa Pemda, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, atau Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan yang menjadi induk dari Komnas. Ini bisa dilakukan siapa pun, tetapi harus- dari pemerintah. Kami sudah koordinasi untuk mencarikan Raju seorang psikolog anak. Tapi kalau sampai meng-alami kesulitan, saya siap berangkat.

Kasus kekerasan terhadap anak ternyata demikian massif. Apa kendala Komnas dalam mengadvokasi anak selama ini?

Tenaga dan dana. Soal tenaga, dari 11 orang yang dilantik jadi anggota Komnas, kini tinggal tiga yang aktif. Soal dana, Komnas mendapatkan biaya yang "cukup besar" dari Departemen Sosial Republik Indonesia, yaitu Rp 22 juta setahun, ha-ha-ha.

Dengan rata-rata 60 kasus yang dita-ngani per bulan, idealnya berapa sih dana yang dibutuhkan? Empat-lima kali dari sekarang?

Saya kira tidak harus begitu. Kami juga memakai relawan-relawan muda yang kadang tidak dibayar, dan ini cukup membanggakan. Idealisme kaum muda masih tinggi.

Jika diibaratkan kendaraan, dengan kecepatan berapa Komnas sekarang melaju?

Sangat relatif. Karena ini satu-satunya yang agak aktif, jadi lumayan terlihat. Tapi kecepatannya sebenarnya cuma sekitar 60 kilometer per jamlah. Idealnya sih 100 kilometer per jam.

Anak-anak tidak hanya menghadapi persoalan kekerasan, tetapi banyak juga yang sudah bekerja, misalnya sebagai artis cilik. Bagaimana perlindungan terhadap mereka?

Menurut UU Perlindungan anak, para- pekerja anak termasuk yang perlu- dilindungi. Seorang artis cilik pernah- mengeluh kepada saya, "Saya capek, Kak Seto, tapi Mama paksa terus." Waktu saya tanya ibunya, dia bilang mereka -sudah terikat kontrak, jadi tidak- bisa apa-apa. Kami lalu memanggil para produser sinetron dan orang tua artis cilik untuk diingatkan.

Bisakah kasus-kasus seperti ini diperkarakan? Atau harus ada yang me-lapor?

Tidak juga. Itu bukan delik aduan. Yang penting polisi tahu, pelaku kekerasan bisa diseret ke pengadilan.

Kalau pelakunya individu, hukumannya sudah jelas. Bagaimana kalau ne-gara?

Laporkan kepada komisi hak anak di PBB. Misalnya, kalau dianggap ada pembiaran oleh negara, seperti terjadi-nya busung lapar, anak putus sekolah, anak jalanan, dan sebagainya. Begitu juga kurikulum yang terlalu berat, yang membuat banyak anak fobia sekolah, atau malah tawuran karena stres.

Pos APBN untuk kepentingan anak ini berapa sih?

Katanya nggak sampai satu persen-. Itu untuk Kementerian Pemberdaya-an Perempuan. Di Afrika Selatan, dana untuk ini sampai 40 persen APBN. Makanya-, angka kekerasan terhadap anak di sana sangat rendah.

Menurut Anda sudah saatnya ada kementerian anak?

Itu sudah kami usulkan tahun lalu. Tetapi mungkin karena waktu itu kami katakan ini sudah mendesak, kelihatannya Bapak Presiden agak tersinggung. Tapi kalaupun tidak begitu, paling tidak kaitkanlah dengan kementerian lain. Misalnya, menjadi Menteri Pemberdaya-an Perempuan dan Anak, atau Menteri Negara Anak, Pemuda, dan Olahraga. Yang terjadi sekarang kan saling lempar. Anak jalanan? Oh, itu urusan Departemen Sosial. Anak putus sekolah? Urusan Menteri Pendidikan. Pekerja anak? Urusan Menteri Tenaga Kerja.

Celakanya, kalangan partai politik pun tampaknya juga tidak terlalu peduli terhadap isu ini.

Ya, mungkin dianggap kurang seksi. Lagi-lagi, ini soal paradigma yang salah dari orang dewasa, politisi, dan para pemimpin. Saya teringat impian sederhana Pak Kasur. Beliau mengatakan, "Coba semua orang dewasa bisa membuat semua anak iso melok gumuyu-bisa ikut tertawa."

Anda pernah mengatakan, hak partisipasi anak juga perlu diperhatikan. Bagaimana konkretnya?

Anak-anak itu berhak dimintai pen-dapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi. Sebagai contoh saat menentukan kurikulum pendidikan. Selama ini cuma guru-guru yang dilibatkan. Pada saat kita mau menyederhanakan jumlah mata pelajaran, banyak- guru yang protes. Katanya, nanti ada guru yang nggak dapat pekerjaan.

Hak dasar lainnya?

Ada empat hak dasar anak, di antaranya hak hidup layak. Harusnya, begitu lahir anak-anak mendapatkan ASI eksklusif. Faktanya, bayi-bayi itu sering tidak memperolehnya karena ibunya takut payudaranya kendur. Lalu ada hak untuk tumbuh dan berkembang: hak untuk istirahat, main, mengembangkan bakat, dan belajar. Belajar itu hak, bukan kewajiban.

Tetapi ada program wajib belajar.

Nah, itu, belajar kok diwajibkan. Belajar itu hak, karena merupakan naluri alamiah sejak dalam kandungan. Anak-anak belajar tengkurap, duduk, bicara, dan seterusnya. Motivasi belajar mereka tinggi. Namun, ketika belajar terkait dengan struktur lembaga formal, itu berubah jadi beban. Karena anak harus duduk manis di kelas, ini nggak boleh, itu nggak boleh.

Bagaimana dengan hak mendapatkan perlindungan?

Itu hak keempat. Anak itu individu yang rentan, masih ringkih, jadi butuh perlindungan. Celakanya, banyak orang tua melihat anak sebagai orang dewasa mini. Lihatlah, banyak sekali orang tua yang dengan bangga merokok dekat anaknya, guru merokok dekat murid. Padahal, asap rokok itu mengandung 4.000 lebih zat kimia yang berbahaya.

Perlindungan terhadap anak bisa termasuk melindungi anak dari mainan tak mendidik, seperti video games?

Itu termasuk pembiaran oleh orang tua. Banyak anak-anak kabur karena- tak ada komunikasi yang akrab di rumah. Mereka hanya disuguhi mesin-mesin permainan. Video game, hand phone, dan sejenisnya menghambat perkembangan psiko-sosial dan spiritual, karena tidak ada kontak antarmanusia. Teknologi tak selalu jelek. Tetapi, ibarat pisau, mau kita apakan pisau itu?

Bagaimana dengan di rumah Anda sendiri menyikapi soal ini?

Di rumah saya, sudah tiga bulan ini pesawat televisi rusak. Tapi anak-anak tidak tergantung televisi. Menurut mere-ka, dongeng saya lebih menarik daripada- televisi. Dongeng sebetulnya bisa digunakan mengarahkan perilaku anak. Anak saya juga masih main cong-klak atau kejar-kejaran. Saya enam tahun mengikuti workshop mengenai mainan tradisional di Tokyo. Saat ini Jepang sedang gencar mengkampanyekan permainan tradisional.

Dalam amatan anda, negara manakah yang sudah bagus memberikan perlin-dungan terhadap anak?

Filipina dan Vietnam. Malaysia juga cukup bagus. Bahkan mereka lebih dulu punya UU Perlindungan Anak. Contoh-nya, misalnya dokter melihat lebam-lebam di tubuh anak akibat child abuse, tapi dia tidak melapor polisi, dia di-denda 1.000 ringgit (Rp 2,5 juta). Ini menyangkut political will pemerintah.

Jadi, kampanye mengubah para-digma juga ditujukan pada para pemimpin bangsa. Jadikan isu anak setingkat de-ngan pilkada dan terorisme.

Bagaimana agar anak tahu hak me-reka?

Sederhana, dipraktekkan saja. Dalam kurikulum yang tengah digodok, salah satu yang cukup positif adalah mata pelajaran pengembangan diri. Pendidikan bukan menjejalkan sesuatu ke dalam otak anak yang kosong. Education dari kata educare, artinya justru mengeluar-kan. Memberdayakan potensi yang sa-ling berbeda.

Tapi tidak mudah menghadapi anak yang berbeda-beda: ada pintar, ada yang tidak. Ada yang nakal, ada yang baik....

Saya selalu berprinsip, menghadapi anak ibarat berada di taman sari keluarga: ada mawar, anggrek, melati, kena-nga, apa saja. Kalau ditanya mana yang indah, Pak Kasur mengatakan: "Mawar, melati, semuanya indah."

Seto Mulyadi

Lahir: Klaten, Jateng, 28 Agustus 1951

Agama: Islam

Pendidikan:

  • Sarjana psikologi Universitas Indonesia (1981)
  • magister bidang psikologi UI (1989)
  • doktor bidang psikologi UI (1993)

Karier:

  • Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (1998-sekarang)
  • anggota World Council for Gifted & Talented Children (1994-sekarang)
  • Director at-large International Council of Psychologists (1985).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus