Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siapa Berani Menyentuh Baramuli?

Dokumen resmi pemerintah mengungkap kredit macet kelompok usaha Poleko di Bank Dagang Negara. Proses pengalihan perusahaan kepada Kim Johanes mencurigakan.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kawasan lalu lintas moneter di Lapanganbanteng dan Thamrin, sebuah informasi penting beredar secara terbatas. Isi dokumen yang bocor pekan lalu itu bisa bikin mata terbelalak. Kelompok bisnis Poleko, milik keluarga Ketua Dewan Pertimbangan Agung Ahmad Arnold Baramuli, ternyata punya kredit macet sebesar Rp 126 miliar di Bank Dagang Negara (BDN). Bagi tokoh sekaliber Baramuli, yang getol membongkar kasus kredit mampet—dialah yang pertama kali berteriak lantang kala menemukan skandal Rp 1,3 triliun Eddy Tansil-Bapindo pada 1994—temuan ini jelas terasa menohok. Sang tokoh yang kini berada di balik tim sukses Presiden Habibie itu, bak kata pepatah, ibarat menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri: ia perangi kredit macet, tapi kasus itu pula yang kini ia alami. "Utangnya sedang kami teliti dan Baramuli akan kami panggil," kata seorang sumber TEMPO di Departemen Keuangan. Kredit macet itu tersangkut di enam anak perusahaan Poleko. Yang paling besar menyedot adalah PT Polepak Hotel, pemilik Hotel Novotel Toraja, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini punya utang Rp 3 miliar dan US$ 13,3 juta. Totalnya sekitar Rp 98,7 miliar. Utang selebihnya dibagi rata di lima anak perusahaan yang lain. (Lihat Bara di Tungku Usaha Baramuli.) Utang Polepak Hotel itu kini ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bersama utang anak perusahaannya yang lain, PT Poleko Yubarson Trading Coy. Ini karena nilainya di atas Rp 5 miliar. Sedangkan yang di bawah angka itu tetap ditangani BDN, yang kini menjadi Bank Mandiri. Baramuli tampak kaget disodori informasi ini. Tapi penggemar tenis lapangan ini buru-buru mengoreksi. "Lima tahun lalu, ketika saya menjadi pemegang saham, semua itu sudah beres dan dibayar habis," katanya seraya mengingat-ingat. Ia juga menolak disebutkan bahwa ia pernah punya utang dalam dolar. Pendek kata, kata Baramuli kepada TEMPO, "Utang macet saya yang terkecil di Indonesia." Ia bahkan merasa tak punya beban, karena sejumlah anak perusahaan Poleko sudah dijual pada akhir 1997. Salah seorang pembelinya adalah pengusaha tekstil Kim Johanes Mulia, yang pernah terjerat kasus sertifikat ekspor fiktif. Anehnya, pernyataan Baramuli ini dibantah oleh adiknya sendiri, Eddy Baramuli. Kepada Tomi Lebang dari TEMPO, Eddy mengungkapkan, PT Polyub Swadaya Utama (usaha penggergajian kayu) dan PT Polwood Forest Industry (industri perkayuan di Pulau Obi, Maluku) masih dimiliki Poleko. Dokumen resmi yang ada di BDN juga mengungkapkan keanehan dalam soal kepemilikan saham itu. Ketika bank pelat merah tersebut menyerahkan kredit Poleko Group yang macet ke BPPN, April lalu, posisi pemegang saham ketiga perusahaan itu masih belum berubah. Keluarga Baramuli masih bercokol menjadi pemegang sahamnya. Rada ganjil bahwa sebagian unit bisnis keluarga Baramuli itu beralih ke tangan Kim Johanes, yang mengaku hanya membeli "sebiji" hotel yang dikuasai Poleko. Menurut sumber TEMPO, keputusan itu aneh karena yang dibeli adalah perusahaan yang punya utang besar, sementara Kim sendiri masih punya tunggakan utang di BPPN senilai Rp 242 miliar. "Tapi Kim tak bisa berbuat apa-apa karena terpaksa harus membeli perusahaan itu," kata seorang kerabat dekat Kim. Tentu saja, ada segudang alasan di balik macetnya kredit. Krisis ekonomi yang menghantam Republik pada pertengahan 1997 jadi tameng utama. "Karena keadaan ekonomi kan rusak," kata Baramuli. Tapi dokumen resmi BDN tanggal 26 November 1998 itu menyebutkan, utang dua anak perusahaan Poleko Group, yakni PT Poleko Trading Coy dan PT Yubarson Trading Coy, sudah macet total sejak Desember 1996. Kedua perusahaan itu sudah tidak membayar bunga lagi, apalagi utang pokoknya sebesar Rp 5,262 miliar. Malah, bunganya melebihi utang pokok. Artinya, kredit itu sudah macet jauh-jauh hari sebelum krisis datang. Ada lagi kejanggalan lain. Banyak utang itu yang sudah cair sejak 1980, seperti kredit kepada Poleko Trading Coy dan Yubarson Trading Coy, yang kemudian dilebur menjadi Poleko Yubarson Trading Coy. Namun, ternyata hampir semuanya macet. Menurut dewan direksi BDN ketika itu, pemegang saham dan direksi Poleko Group dinilai kurang kredibel. Kinerja perusahaan juga buruk. Kebandelan mereka memang tak tanggung-tanggung. Bayangkan saja, utang yang cair pada 1980, sampai dengan 1996, masih juga belum lunas. Negosiasi? Sudah dilakukan. Pihak BDN bahkan sudah mencoba merestrukturisasi utang-utang Poleko Group sejak Februari 1997. Ada utang yang tingkat bunganya diturunkan sampai tiga persen, padahal suku bunga komersial saat itu di atas 20 persen. Ada pula yang bunganya hanya dibayar separuh. BDN hanya menolak permintaan Poleko agar menghapuskan seluruh tunggakan bunga. Bisa dibilang, ketika itu, tak banyak perusahaan yang bisa mendapatkan kemudahan seperti yang diperoleh Poleko. Meskipun sudah diberi kelonggaran, toh hasilnya masih mengecewakan. Dari sembilan perusahaan Poleko yang berutang ke BDN, akhirnya cuma satu yang sudah melunasi utangnya, yakni PT Osmo Semen Indonesia. Dua perusahaan lain, yaitu PT Unicotin dan PT Poleko Cocoa Industries Indonesia, masih cukup lancar membayar cicilan utangnya. Yang lain? Poleko geleng kepala, masih emoh membayar tunggakan bunga meskipun syaratnya diperlunak. Padahal, pada 13 Januari 1997, Baramuli di depan direktur utama BDN ketika itu, Subagyo Karsono, konon sudah berjanji akan mematuhi rencana restrukturisasi yang dibuat BDN. Janji tinggal janji. Setelah macet berkepanjangan, tak ada pilihan lain bagi BDN kecuali memasukkan kredit itu menjadi kategori lima alias macet total. Dua perusahaan asing—Irie Lumber (Jepang) dan Century Wood Product—merasakan nasib yang sama dengan BDN. PT Polyub, anak Poleko, pada 1984 berutang kepada Irie Lumber senilai US$ 1,353 juta untuk membangun pengilangan kayu di Pulau Obi, Maluku. Empat tahun kemudian giliran PT Polwood Forest Industry yang meminjam US$ 1,95 juta kepada Century Wood Product untuk mengembangkan industri kayu, juga di Maluku. Selain itu, Polwood meneken perjanjian investasi dengan Century Wood senilai US$ 1,95 juta. Belakangan roda usaha seret. Kedua perusahaan itu—Polyub dan Polwood—susah membayar utang mereka. Utang Polyub sudah macet sejak 1993, sedangkan pinjaman Polwood tak pernah dibayar sampai masa pelunasan utangnya berakhir pada Desember 1998. Pembagian keuntungan yang seharusnya dilakukan dengan Century Wood juga nihil. Poleko membantah uang itu disebut sebagai pinjaman, melainkan investasi bersama. Kedua perusahaan itu tak mampu menahan berang, lalu mereka menggugat Poleko dan Baramuli. Perkara itu kini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kredit macet yang diserahkan BDN April lalu itu kini sudah ditangani BPPN. Hanya, mungkinkah lembaga pemerintah itu "berani" menyentuh Baramuli yang kini terbilang orang dekat Presiden Habibie? Para pejabat di Departemen Keuangan dan BPPN sejauh ini masih sebatas menelisik posisi laporan keuangan kerajaan bisnis yang dibesarkan Baramuli sejak 1973 itu. Mereka curiga pada proses pengalihan bisnis ini. "Harusnya, kalau perusahaan bermasalah, tak bisa dialihkan (kepada Kim Johanes). Kesalahan Poleko jelas, dialah yang membuat kredit macet itu," kata sumber di Departemen Keuangan. Reputasi Baramuli dipertaruhkan di sini, juga wibawa pemerintah. Wahyu Muryadi, M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Dewi Rina Cahyani, dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus