"Dosa" Salmaan Rushdie belum dilupakan oleh para imigran muslim di Inggris. Mereka turn ke jalan lagi di London untuk menyerukan agar pengarang Ayat-Ayat Setan itu dibunuh. Apakah buku itu memang melukai hati orang muslim, atau ini merupakan tanda-tanda kebangkitan Islam di Eropa, Inggris Khususnya? RIBUAN orang, tanpa senyum, memadati jalanan. Para lelaki nampak berpeci dan berjenggot. Sedang wanitanya menyembulkan wajah dari balik kerudung dan pakaian panjang yang didominasi warna hitam legam. Ada juga bocah membawa pamflet sembari mengepalkan tangan. Mereka memacu satu sikap: "bunuh Rushdie!" London tiba-tiba menjadi perkampungan muslim. Pekan lalu, unjuk rasa anti-Salman Rushdie meledak lagi setelah beberapa waktu sepi. Saat banyak orang menilai bahwa kemarahan kaum muslim telah reda, Salman Rushdie, orang yang diserukan untuk dibunuh, rupanya tetap dalam bahaya. Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses) karya Rusdhie telah menjadi buku yang paling berdarah pada abad ini. Ironisnya, sementara belasan-nyawa kaum muslim telah melayang gara-gara buku itu, Salman Rushdie masih sehat walafiat dan menikmati ketenaran akibat novel itu. Paling cuma kebebasannya untuk berjalan-jalan di tempat umum yang hilang. Demonstrasi unjuk rasa benci meletup di mana-mana. Kerusuhan malah meledak di Karachi, juga diBombay -- daerah asal etnis Salman Rushdie. Lalu imam Brussels pun ditembak mati orang, setelah membuat pernyataan yang dianggap terlalu moderat. Maka, masyarakat perbukuan pun menjuluki pengaruh karya Rushdie itu sebagai "roda raksasa". Benar-benar sebuah roda raksasa yang melindas dan mencederai banyak orang. Sebuah roda yang mengantarkan Rushdie menjadi kaya raya -- menurut The New York Book Review buku itu menduduki takhta terlaris di AS dalam delapan pekan. Sejumlah pertanyaan melintasi benak para pembaca The Satanic Verses. Sungguhkah buku itu tidak menghina Islam seperti yang didalihkan pengarangnya? Atau -- akibatnya begitu hebat, rasanya sulit terjadi hanya karena kesalahpahaman -- fiksi itu memang menghina? htaukah karena umat Islam, khususnya di Inggris, tempat buku itu terbit, yang kelewat perasa? Tak ada jawaban pasti. Cal McCrystal, yang menulis pada The Sunday Times Magazine, malah mengajukan sudut pandang lain: "Rushdie cuma permulaan?" -- judul tulisannya. McCrystal melihat masalah utamanya bukan soal apakah Salman Rushdie menghina Islam atau tidak. Bukan pula tentang gampang tidaknya umat Islam tersinggung. Peristiwa menghajar Salman Rushdie itu ia anggap sebagai gejala awal bangkitnya Islam di Inggris. Juga di daratan Eropa. Kini di daratan Inggris kaum muslim tak bisa lagi dianggap sepele. Bukan saja karena mereka telah galak mendesak pemerintah untuk melarang buku laknat itu, tapi karena jumlahnya diperkirakan sudah 2 juta. Angka itu cukup untuk menjadikan kaum muslim kini sebagai kelompok imigran yang paling mendominasi Inggris. Separuh imigran itu berasal dari tiga negara: India, Pakistan, dan Bangladesh. Hanya sekitar 50 ribu yang berasal dari Iran -- negeri yang sering disebut sebagai simbol militansi Islam. Semua muslim itu telah menjadi kelompok pendatang yang berbeda agama dengan masyarakat sekitar. Sama halnya orang-orang Katolik dari Irlandia yang membanjiri Inggris pada abad lalu. Para keluarga muslim berdesakan di daerah metropolitan London, West Midlands, dan Yorkshire. Di daerah pinggiran yang dikenal dengan nama Brick Lane, bau Islam pun terasa sangat menyengat. Mudah dipahami bagaimana kerumunan "orang-orang asing" itu semakin banyak menarik mata "penduduk asli". Ramainya suasana masjid, seperti di Howard Street, Bradford, dipakai sebagai bukti bahwa Islam memang bangkit di Eropa. Di sanalah para muslimin, yang acap dituding fundamentalis, bersembahyang. Melihat keadaan itu, masyarakat setempat mendadak menyadari: para imigran muslim itu ternyata jauh lebih rajin pergi ke masjid ketimbang mereka, yang masih mengaku pemeluk Kristen Anglikan, mendatangi gerejanya. Wajah-wajah berbau Asia meramaikan masjid setiap hari. Sebagian besar orang tua, terutama para pensiunan buruh pabrik tekstil, mereka tersaruk-saruk menyusuri pelataran, berwudu di lantai bawah, lalu mendaki anak tangga, sebelum kemudian khusyuk di tikar persembahyangannya di masjid seharga 500 ribu poundsterling itu -- sekitar 1,5 milyar. Suatu pemandangan yang sekarang pun, di kalangan masyarakat Barat, masih dianggap janggal. Yang menggentarkan orang Inggris itu, para tetangganya yang muslim tak cuma salat. Mereka juga berupaya keras untuk menjalani kehidupan seislam mungkin. Sejumlah tuntutan sudah dilontarkan. Antara lain, seperti dikatakan seorang maulana -- guru ngaji dari masjid Bradford -- "adalah undang-undang yang melindungi agama kami." Untuk pernyataannya itu, sang maulana merasa perlu menegaskan bahwa tuntutannya tidak ditujukan pada publik, tapi pada pemerintah. "Sebab, pemerintah punya kekuasaan, publik tidak," ujarnya, dengan tatapan mata menusuk pewawancaranya, seolah mengukur tingkat simpati atau keskeptisan lawan bicaranya. Tuntutan yang lain adalah seruan agar sistem pendidikan berubah. Banyak orangtua yang tak sreg pada sekolah-sekolah negeri, lantaran siswanya campuran laki-laki dan perempuan, apalagi dari konsep nilai yang beragam. Mereka percaya, lingkungan seperti itu -- dari nilai-nilai yang bertentangan dengan apa yang diajarkan di rumah -- tak memberi perlindungan bagi anak-anaknya. Mereka menyebutnya sebagai persinggungan dengan "pengalaman yang merusak". Ghulam Sarwar, Direktur Muslim Education Trust, mengemukakan bahwa "nilai-nilai asing" (liberal, serba boleh. dan materialistis) berkait erat dengan keretakan keluarga, pergaulan bebas laki-laki perempuan, hilangnya standar moral, alkoholisme, dan pertumbuhan publikasi cabul. "Nilai-nilai ini dapat disingkirkan hanya dengan memisahkan muslimin-muslimat dari nonmuslim." Dengan kata lain, mereka berkehendak mendirikan sekolah macam "sekolah gereja'. Undang-undang pendidikan tahun 1944 sebenarnya memungkinkan itu. Sepanjang memenuhi standar dan biayanya bukan tak beralasan, "murid-murid dapat dididik menurut kehendak para orangtua." Berdasar, pasal inilah masyarakat dan pemerintah daerah menyuntikkan dana pengelolaan, yang mencapai angka 85 persen total biaya, bagi 2.000 SD dan 140 SMP milik Gereja Anglikan. Dari lingkungan Katolik sebanyak 2.000 SD dan 430 SMP. Serta 15 SD dan lima SMP dari kalangan Yahudi. Sedang dari kalangan Islam, hingga sekarang, tak satu pun memperoleh sekolah macam ini. Yang ada hanyalah sekolah privat yang didanai oleh para orangtua dan yayasan-yayasan Islam seperti Muslim Educational Service. Juga sekolah negeri yang seluruh muridnya muslim. Bukan karena sekolah itu khusus untuk muslim. Namun, karena masyarakat sekitar sekolah itu hampir keseluruhannya muslim. Baik di London, Bradford, Manchester, maupun Birmingham. Ini tetap dianggap bukan penyelesaian baik. Mustaqim Bleher, seorang asal Jerman yang kini mengelola Muslim Educational Service di St James's Square, menggeber alasannya. Pada sekolah negeri, bagaimanapun kurikulumnya, tak dapat dibilang obyektif. Mata pelajaran geografi, misalnya. "Terlalu Eropa sentris," kata Bleher. "Bukankah mayoritas muslim berada pada bagian lain atlas itu? Bagi mereka Mekahlah, bukan Brussels, yang menjadi pusat dunia." Pada studi sosial pun acap kali terjadi konflik nilai. Kebebasan sekuler tentunya bertolak belakang dengan pembatasan Islam. Misalnya dalam hal homoseksualitas, feminisme. Soal sejarah bagi siswa-siswa muslim juga rancu. "Jagoan Perang Salib pun diangkat dari kaca mata Kristen," kata Bleher. "Bagi seorang muslim, 'Richard si Hati Singa' bukan pahlawan besar. Sains juga membikin pusing kepala. Sains sekuler di sekolah negeri mengajarkan penolakan terhadap nilai-nilai ketuhanan." Seorang ibu rumah tangga berkisah. "Aku tak pernah lupa pada masa sekolahku di Huddersfield," katanya. "Aku dipaksa melangkah dari satu sekolah ke sekolah lain pada gelanggang senam, memperlihatkan kakiku. Merasa telanjang, aku terpaksa bermain hoki, karena amat ketakutan kalau-kalau sejumlah keluargaku melihatku." Bagi orang-orang Eropa, rasa kikuk macam itu tentu saja mengherankan. Banyak orang Inggris masih saja terganggu oleh kehadiran para wanita yang mengenakan celana longgar, baju panjang, dan menutupi kepalanya dengan kerudung. Mereka juga masih terheran-heran pada para muslim tukang jagal yang ngotot menyembelih ternak sendiri, untuk mendapatkan daging yang benar-benar "halal". Maka, sejumlah orang yang berlindung di balik kelompok penyayang binatang mengecam cara penyembelihan itu dan menganggapnya suatu perbuatan yang sadistis. Sulit bagi mereka untuk memahami sikap para tetangganya yang muslim dalam hal penyembelihan ternak. Sementara itu, kaum muslim percaya, hanya dengan menggunakan pisau paling tajam (haram memakai pisau tumpul), memotong nadi tepat di batang tenggorokan, lalu darah mengucur deras, binatang itu tak menderita. Dagingnya pun akan lebih sehat. Slogan "anti-Barat" yang bergema dari Iran, seruan "bunuh" untuk Salman Rushdie, menjadikan banyak orang Inggris mengernyitkan kening melihat para imigran muslim. Mungkin karena ketidaktahuan. Mungkin juga lantaran rasa antipati yang sudah tertanam turun-temurun. Apalagi ungkapan bahwa Islam adalah "Quran di satu tangan, dan pedang di tangan yang lain" masih belum ditarik peredarannya di Eropa. Perbedaan kultural -- apalagi keyakinan dasar -- memang menyuburkan adanya konflik sosial. Maka, setelah demonstrasi yang menyerukan agar buku Salman Rushdie dilarang, sejumlah surat pembaca mengalir ke koran-koran Inggris: "Hukum" di negeri ini haruslah tidak disodok untuk menyenangkan orang-orang muslim yang fanatik itu" "Adakah kepatuhan mereka pada Yang Muliaratu kita Elizabeth, atau pada Ayatullah Khomeini?" "Jika mereka tak menyukai semua itu di sini, mengapa mereka tidak pergi saja?" Pergi? Urusannya besar. Para imigran dari India dan Pakistan sejak tahun 1950-an dan 1960-an telah menggerakkan roda banyak industri di negeri itu sebagai pekerja kasar karena orang kulit putih enggan melakukannya. Apalagi sejak tahun 1970-an imigran muslim dari Afrika pun ikut berperan. Mohammad Ajeeb, bekas Wali Kota Bradford dan aktivis Partai Buruh setempat, tahu jalan apa yang harus ditempuh. Hanya dengan masuk partailah umat Islam punya kekuatan untuk memperjuangkan haknya. Misalnya untuk mendesak agar daging yang diperuntukkan bagi konsumsi murid sekolah negeri benar-benar "daging halal". Juga untuk memerangi boikot yang dilakukan masyarakat kulit putih terhadap sekolah negeri yang sebagian besar muridnya anak-anak muslim -- seperti terjadi di Dewsbury tahun lalu. "Kenyataannya," kata Ajeeb, "prasangka dan diskriminasi masih terus berlangsung di sini." Partai-partai besar masih banyak menolak calon dari kalangan muslim. Banyak orang mengadu pada Ajeeb: "Ini muslim-muslim yang berdarah. Kami tak pernah mendapat kesulitan dengan orang Polandia dan orang-orang Irlandia." Yang lebih kasar, para muslim itu pun dimaki. "Kamu anjing kurap hitam! Kenapa kamu tidak balik saja ke tempat asalmu?" Lalu jendela-jendela di permukiman muslim dihancurkan oleh anak-anak kulit putih. Kritik terhadap orang Islam acap terdengar. Islam, begitu tudingan mereka, tak menghargai hak asasi. Tak menjunjung kekebasan brekspresi. Tentang ini Ajeeb membantah. Dalam soal hak asasi, "bisakah bangsa Inggris berkata: lihatlah Afrika Selatan." Lalu "kebebasan berekspresi mengebom Hiroshima, menebar polusi di sungai-sungai, dan menyebarkan AIDS?" Bleher juga menampik sebutan fundamentalis yang ditudingkan pada kelompoknya: masyarakat muslim Inggris. "Kalau menjalankan salat lima waktu saja disebut fundamentalis, ya, aku pun fundamentalis," ujarnya.Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini