Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gelombang anti imigran

Islam mulai bangkit di negara-negara eropa. jutaan kaum imigran dari asia berjuang menegakkan ajaran islam namun benturan nilai antara pendatang dengan penduduk asli tak terelakkan. bukan soal agama, tapi ras.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEDAKAN protes terhadap buku Salman Rushdie membuat masyarakat Eropa terpaksa sungguh-sungguh melongok muslim. Bayangkan, di Bradford demonstrasi anti Salman Rushdie berhasil menghimpun kekuatan 80 ribu muslim. Tak heran jika ada anggapan, bahwa para muslimn itu "terlalu fundamentalis, terlalu dogmatis untuk sebuah masyarakat yang pluralist." Suatu kali, di sebuah sudut Yorkshire, sejumlah wanita muslim diundang ke kolam renang. Mereka, datang tanpa menanggalkan prinsip mereka dalam berpakaian. Dengan tetap berbusana penuh, muslimat itu mencebur kolam. Tak apa-apa memang, toh yang hadir seluruhnya wanita. Apalagi tak sampai memperlihatkan apa yang dalam Islam disebut aurat -- yang bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Tapi ada seorang yang memotret mereka. Agaknya ia tak ingin "kehilangan peristiwa menarik" itu. Namun, celaka. Beberapa hari kemudian potret itu beredar di pabrik yang -- hampir seluruh pekerjanya adalah muslim taat -- yang tak pernah meninggalkan salatnya walau cuma dilaksanakan di antara mesin-mesin pabrik. Apalagi yang dipotret itu adalah istri-istri mereka. Esoknya para suami yang bersangkutan melabrak si juru potret. Ini memang kisah sepele. Namun, peristiwa serupa ini agaknya masih akan terus -- bahkan mungkin lebih banyak lagi -- meramaikan Eropa. Pada bulan Puasa lalu, majalah Time menulis: "begitu Ramadan bermula pekan lalu, Islam di Eropa memperlihatkan perkembangannya yang klasik lebih bersemangat dan lebih berpengaruh dari yang sudah-sudah sekaligus lebih menakutkan dan membencikan." Mungkin benar. Saat ini jumlah muslim di Eropa Barat mencapai -- jangan kaget -- tujuh juta jiwa. Jumlah itu terkonsentrasi pada empat negara: Prancis (3 juta), Jerman Barat (1,7 juta), Inggris (1,5 sampai 2 juta), dan Italia (400 ribu jiwa). Pada sejumlah kota, populasi mereka mencapai angka 12% dari total jumlah warga. Pada mulanya, kehadiran imigran muslim itu di sekitar tahun 1950-an cuma dipandang sebagai pendatang sementara. Namun, begitu kubah dan menara masjid bermunculan menyelingi pucuk-pucuk menara gereja, pertanda mereka menetap, konflik pun mulailah. Pemerintah Roma akhirnya sulit untuk tidak menyediakan tanah bagi muslim untuk membangun masjid. Maka, di pinggiran utara "Mekah-nya Katolik" itu, kini dibangun masjid paling megah se-Eropa. Sebuah masjid senilai 30 juta dolar AS, atau senilai dengan Rp 50 milyar. Prancis kini memiliki 1.000 masjid dan musala. Padahal, pada tahun 1970-an cuma ada selusinan tempat sembahyang di sana. Di Marseilles saja kini terdapat 17 masjid. Di sebuah kota kecil, jamaah sampai tak tertampung di masjid dan meluber di jalan untuk bersujud menghadap Mekah. Maka, benturan nilai tak terelakkan lagi antara para pendatang dan penduduk asli. Apalagi dengan naik daunnya kelompok sayap kanan. Mereka terang-terangan memuja nasionalisme dan menyudutkan para imigran yang kini menjadi masyarakat minoritas itu. Di Prancis keberhasilan itu, ditandai dengan mencuatnya Front Napnal yang ditokohi Jean-Marie Le Pen. Di Berlin Barat, Partai Republik pun berjaya. "Agama ini tak menyatu dengan budaya Barat," kata aktivis sayap kanan Prancis, Henri de Lesquen. Ada dua walikota tak mau mengizinkan pembangunan masjid di kotanya. Lalu, di Berlin Barat, surat kaleng sempat melayang ke rumah tokoh masyarakat Turki setempat, menyusul kemenangan Partai Republik. Isinya: muslim tak bakal punya peran buat "bermain" pada sebuah "masyarakat Jerman". Lalu aksi kekerasan terhadap para imigran pun meningkat. Misalnya yang dilakukan oleh kelompok Shrin-Heads yang dapat sewenang-wenang memukuli orang asing tanpa sebab khusus. Bagi para imigran -- yang sudah sejak tahun 1950-an hidup di sana -- maraknya semangat anti imigran memang menggetirkan. Apalagi kehadiran mereka -- yang sebagian besar muslim -- mulanya sangat diharapkan. Yakni untuk memutar gerak roda-roda industri. Suatu pekerjaan yang agaknya hanya bisa dilakukan oleh para pendatang. Misalnya oleh kalangan petani tak berpendidikan dari provinsi termiskin di Turki, yang oleh Time dikatakan "tak siap untuk tinggal di Barat". Para imigran itu mengalir ke daerah kumuh Roma atau Paris dengan membawa nilai-nilai asalnya -- dari Turki atau Afrika Utara. Sementara itu, daratan Inggris dijejali dengan para muslim dari Pakistan, india, dan Bangladesh. Dengan segala keterbatasannya, para muslim itu tak tinggal diam untuk mempertahankan keyakinannya. Di Inggris mereka mengepulkan sebuah konflik. Yakni bidang pendidikan -- bidang yang dianggap penting dalam menancapkan keyikinan pada anak-anak. Masyarakat muslim menuntut agar pemerintah membiayai sekolah-sekolah khusus muslim di sekitar permukiman yang didominasi keluarga muslim. Tapi pemerintah, yang menetapkan Anglikan sebagai agama resmi mereka, menolak tuntutan itu. Padahal, mereka membiayai ribuan sekolah, serupa dari lingkungan Katolik dan Yahudi. "Pemerintah," kata Azam Baig -- kepala sekolah milik kelompok Ismailiyah, "melihat Islam sebagai ancaaman." Sambil terus memajukan usulannya, masyarakat muslim itu mendirikan sekolah -- khusus yang didanai sendiri. Misalnya sekolah milik Ismailiyah itu, atau SMA Putri Zakaria yang didirikan sejak tujuh tahun lalu di West Yorkshire. Sekolah seperti itu tak sekaligus menampung murid laki dan perempuan. Habiba Mota, seperti dilaporkan The Sunday Times Magazine, mengisahkan pengalamannya bersekolah -- yang menunjukkan betapa penting soal itu bagi masyarakat muslim di Eropa. Habiba yang kini berusia 14 tahun adalah siswi SMA Zakaria. Tahun silam ia masih menjadi murid sekolah negeri. Namun, ia merasa tersiksa. Setiap kali habis olahraga, ia harus mandi di ruang terbuka dan beramai-ramai. Ia juga meragukan kehalalan daging yang dihidangkan dalam acara makan di sekolah. Habiba merasa tertekan oleh keadaan itu. Nilai sekolahnya pun memburuk. Guru meminta agar Habiba menanggalkan jilbabnya, tapi Habiba memilih pindah sekolah. Dan, katanya, setelah itu prestasinya menbaik. Tak berarti gadis-gadis itu tak menyukai sekolah bercampur dengan laki-laki. Dari angket yang disebarkan .Manchester University diperoleh angka bahwa cuma 26% para gadis muslim yang suka sekolah terpisah dari laki-laki. Selebihnya lebih setuju kalau tak ada pemisahan. Hampir semua siswi SMA Zakaria mengaku suka bergaul dengan teman-teman nonmuslim yang beberapa di antaranya "sangat malu karena tak tahu apa-apa soal agama". Mereka membaca karya Shakespeare, Seamus Heane, serta berbagai kisah yang termuat dalam majalah A Life in the Day Of. Mereka juga bermain bola keranjang di lapangan kecil depan sekolah yang menghadap wajah kota. Sedang cita-cita mereka adalah menjadi akuntan, sekretaris, perawat, guru sampai dengan menjadi ahli mekanik motor. Tentu saja anak-anak selalu lebih bersikap toleran ketimbang para orangtuanya. Namun, secara umum, mereka belum -- mungkin tak akan pernah -- cukup dapat memperkecil akibat benturan nilai antara masyarakatnya dan mayoritas. Hingga kini, mereka masih heran mengapa orang-orang kulit putih masih meributkan pemotongan ternak. Para penyayang binatang Eropa masih menganggap sadistis apa yang diyakini oleh para muslim sebagai "cara yang paling tidak menyiksa ternak dan sekaligus memberikan daging sehat". Di Jerman Barat soal pendidikan sebenarnya menjadi masalah pula. Namun, pemerintah daerah punya cara lebih halus untuk mengendalikan kaum muslimin ini. Di wilayah North Rhine -- Westphalia, misalnya. Kini sekitar 500 ribu orang Turki bermukim di sana. Pada sekolah tingkat dasar, sepertiga muridnya adalah anak-anak Turki. Pada anak-anak itu, kini pemerintah menyediakan pengajar agama Islam. Ini adalah cara yang dirancang untuk mencegah tuntutan adanya sekolah Islam. "Kami tak mungkin melarang mereka. Kami hanya bisa membangun pengimbangnya," kata seorang juru bicara Departemen Kebudayaan di Dusseldorf. Di Italia, gerak umat Islam pun kurang longgar. Di bagian utara negeri itu, sejumlah pengusaha tak mengizinkan pekerjanya yang muslim minta waktu dua jam buat menunaikan salat Jumat. Kenyataan ini memasygulkan umat Islam. Jika mereka bisa toleran pada budaya meluangkan waktu berjam-jam untuk menikmati teh, mengapa tak mengizinkan memberi sedikit waktu pada orang lain buat bersembahyang pada Allah. Islam bukan hanya terus berkembang di Eropa Barat. Tapi kini juga sedang berada pada "musim semi"-nya di Uni Soviet, selan dengan gagasan perestroika yang diserukan Gorbachev. Di menara-menara masjid di Tashkent, azan pun bergema lagi dikumandangkan tanpa takut-takut -- memberi tahu saat bersembahyang. Suasana ini tentu menggembirakan masyarakat muslim nomor lima di dunia tersebut. Dengan jumlah mencapai 55 juta jiwa, muslim di Soviet hanya kalah jumlah dengan muslim di Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan India. Kebebasan beragama bagi muslim di Uni Soviet juga bagi Kristen Orthodoks dan Yahudi -- terlihat dalam berbagai segi. Pengajaran Quran kini dilakukan secara terbuka. Di Republik Uzbekistan, ribuan umat Islam berpawai dengan ceria mengarak Quran mushaf Usman ke sebuah masjid. Kitab suci itu adalah Quran pertama yang dibukukan, dan berasal sejak abad ketujuh. Beberapa tahun saja sepeninggal Nabi Muhammad. Di Azerbaijan, sejumlah muslim pun pergi ke jalan-jalan mengaungkan poster Ayatullah Khomeini. Sewaktu komunis mengambil alih Soviet pada tahun 1917, sebenarnya kehidupan muslim di sana pun semerbak baik. Lenin sendiri mengumumkan bahwa "agama dan adat-istiadatmu, kebangsaan, dan institusi budayamu dinyatakan bebas dan tak diganggu." Sayang yang berjanji begitu cuma Lenin. Ketika Stalin berkuasa, yang disediakan bagi para muslim itu adalah "neraka". Sekitar 26 ribu masjid dan 24 ribu madrasah diberangus. Sebagian besar guru dan tokoh Islam dibunuh atau dijebloskan ke penjara. Stalin bahkan tidak ragu untuk mengirim "seluruh" -- sekali lagi "seluruh" -- masyarakat Islam tanpa terkecuali ke Siberia, jika sebagian anggota masyarakat itu memperlihatkan sikap tak loyal pada Moskow. "Itu tahun-tahun sulit bagi umat beragama," kata Achin-Oka Akhmedov, yang melewati masa sulit itu sebagai pekerja ladang di pedalaman Tashkent. Toh keyakinan itu tak menjadi pudar. Kegiatan pada sejumlah masjid masih bertahan kendati diam-diam. Terutama di tangan para anggota tarekat sufi yang serba rahasia dan ligat. Benar tak ada terjemahan Quran di sana. Dalam bahasa mana pun. Tetapi masih banyak keluarga muslim yang secara sembunyi selalu mendengarkan siaran radio dari Iran, Pakistan, atau Arab Saudi. Sekitar 25 hingga 30 orang lalu menyelundup pergi ke Mekah untuk beribadah haji. Sementara itu, rezim komunis terus berpropaganda menyerang datangnya bulan Ramadan, dan mengatakan bahwa puasa membahayakan kesehatan dan efisiensi kerja. Dalam gencetan seperti itu, umat Islam toh masih bertahan. Sampai kemudian datang"musim" baru yang memungkinkan mereka bebas menjalankan keyakinannya. Kini masjid indah di Kota Samarkand ramai kembali. bersamaan dengan 1.400 masjid lainnya di seluruh Uni Soviet. Itu sudah merupakan angin yang baik bagi mereka kendati angka itu diperkirakan baru mencapai lima persen dari jumlah sebelum revolusi. Kebebasan kini dinikmati kalangan muslim di Uni Soviet, seperti yang dikenyam saudara-saudaranya di Eropa Barat. Tapi agaknya kaum muslimin di negara komunis itu tak menghadapi masalah serumit yang dihadapi para imigran di Barat. Di Eropa Barat, benturan nilai -- juga prasangka -- antara muslimin dan lingkungannya, agaknya, masih belum akan berakhir. Dan masih harus dipecahkan bersama. Baik oleh para warga baru Eropa itu maupun oleh oleh kalangan kulit putih. Di Italia misalnya. Pandangan Islam yang memperkenankan perkawinan campuran antara laki-laki muslim dan wanita yang tak seagama -- Katolik, Kristen, atau Yahudi -- telah menimbulkan dilema. Konperensi Uskup Katolik Roma se-Italia pun disibukkan untuk membahas masalah itu. Kemarahan umat Islam terhadap Salman Rushdie juga makin menjadikan kalangan kulit putih berjaga-jaga. Ini hanya menebalkan prasangka mereka bahwa umat Islam memang fanatik dan gampang menumpahkan darah. Satu peristiwa yang terjadi di lembah Rhein, Remagen, dua tahun lalu dapat dianggap cukup menjadi bukti pandangan itu. Ketika itu seorang gadis keturunan Turki berusia 18 tahun tewas dibantai oleh orangtuanya sendiri setelah sang gadis kabur bersama seorang Jerman, pacarnya. Di persidangan, sang ayah berkata dingin bahwa apa yang dilakukannya sekadar " ksekusi atas kehendak Allah". Yang mempergondok Barat adalah seruan berdasar "atas kehendak Allah" pula, yang datang dari Qom. Itulah seruan Ayatullah Khomeini yang mengecam Barat. Padahal, sebenarnya Islam tak sungguh-sungguh anti Barat, tapi cuma anti pada dominasi politik Barat. "Sewaktu Anda lihat saudara kita di Iran menyucikan pencemaran oleh kebudayaan Barat dan mencampakkan dominasi politik Barat,"kata Dr. Kalim Siddiqui -- direkur Muslim Institute for Research and Planning -- "lalu pasti Anda ingin agar seluruh masyarakat Muslim yang menderita penyakit yang sama serta-merta dibersihkan." Tapi memang ada juga "atas kehendak Allah" yang disukai kalangan Barat. Yakni seruan "antikomunis" dari para muslim. Terutama seruan mengecam tindakan Uni Soviet yang menduduki Afghanistan. Dalam soal ini, pandangan umat Islam sesuai dengan kepentingan Barat. Kenyataannya, masyarakat Islam adalah kawan pihak Barat yang paling gigih dalam memerangi aliran komunis. Namun, adanya perasaan "kawan" itu cuma dalam satu kepentingan. Selebihnya, rasa curiga masih terus berkecamuk di hati banyak orang Eropa. Islam selalu dianggap ajaran yang mudah menumpahkan darah. Di banyak tempat, masyarakat Islam masih memberlakukan hukum rajam -- melempar terhukum dengan batu hingga ajal. Sebenarnya ajaran Kristen/Katolik pun mengenal ketentuan macam itu. Mustaqim Bleher -- seorang Jerman yang berambut pirang, berkulit pucat, bermata biru, dan beraksen Heidelberg -- yang kini menjadi aktivis muslim di Inggris, setuju terhadap penghukuman mati Salman Rushdie. "Namun," kata bekas wartawan itu, "bukan berarti aku kemudian membeli pistol, lantas menyamperinya." Tetap ada tata cara yang harus dipenuhi kalangan Islam kalaupun ada kesepakatan bahwa Salman Rushdie memang harus dihukum mati. Jangan lupa, kesepakatan seperti itu hingga sekarang pun tak pernah ada. Sekiranya orang kulit putih -- seperti Mustaqim Bleher, juga penyanyi Inggris Cat Stevens -- lebih banyak lagi memeluk Islam, mungkinkah konflik sosial yang entah kapan berakhir itu akan dapat mendingin? Dr. Hesham el Essawy, dokter gigi London kelahiran Mesir, mengatakan: saat para imigran muslim baru datang di Eropa "pintu gerbang terbuka lebar". Namun, "hati Eropa tidak". Karena itu, kelompok liar anak-anak kulit putih gampang sekali melakukan kekerasan terhadap keluarga imigran muslim. Sementara itu, pihak sebaliknya lebih suka berdemonstarsi menuntut haknya, ketimbang melakukan tindak kriminal serupa. Jadi, agaknya masalahnya bukan semata soal agama, kendati Islam sering dituding "tak dapat bergandengan tangan dengan budaya Barat". Faktor penting lainnya adalah soal ras.Zaim Uchrowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum