PADA pandang pertama, Desa Luma di Kepulauan Samoa Amerika tak
sepantasnya menjadi biang kemasyhuran seorang antropolog kaliber
Margaret Mead. Terletak di antara kepungan laut dan
dinding-dinding bukit, perkampungannya terdiri dari rumah-rumah
berlantai satu. Cukup apik, karena dindingnya diplesteri semen,
atapnya dari seng bergelombang.
Turun ke tepi pantai, ada sejumlah gubuk buruk dan sebuah kedai
kecil. Lalu dua gereja besar, sebuah di antaranya putih kemilau
dengan lis berwarna pastel -- tegak berdiri laksana hantu. Di
depannya ada lapangan pasir, tempat anak-anak bermain rugbi dan
kriket.
Desa itu memiliki keindahan negeri tropis tampak hening dan
diam dalam siraman matahari, namun tak kuasa menyembunyikan
lingkungannya yang jorok. Panasnya yang menggigit khas negeri
terkebelakang dari dunia ketiga.
Terkebelakang, memang. Namun Luma bukan tempat yang terlupakan.
Terletak di Pulau Tau, bagian dari gugusan pulau-pulau Manua di
Kepulauan Samoa. Samoa sendiri terdiri dari Samoa Barat dan
Samoa Amerika.
Di sinilah calon antropolog Margaret Mead, 23 tahun saat itu,
melakukan penelitian lapangannya yang pertama 58 tahun
berselang. Ia datang dengan bot dari Pago Pago, ibu kota Samoa
Amerika, sekitar 70 mil di seberang Pasifik Selatan, dan menetap
sekitar setengah tahun di sana. Kendati segera berhasil menawan
hati penduduk setempat, perempuan itu sendiri mengeluh tentang
udaranya yang panas. lni menghalanginya bekerja dua tiga jam di
siang bolong.
Lalu, datang pula penghalang lain. Badal yang ganas menyerbu --
hanya menyisakan lima buah rumah berdiri utuh. Rencana
mewawancarai penduduk jadi berantakan. Meski demikian, ketika
Mead meninggalkan kawasan itu, April 1926, nada riang tecermin
dalam catatan hariannya. "Girangnya aku karena memperoleh
segepok bahan etnologis," tulisnya. Bahan-bahan itulah yang
kemudian memberinya nama harum dan martabat, yang sungguh tidak
pernah diraih antropolog lainnya -- seperti ditulis Richard
Bernstein dalam The New York Times Magazine.
* * * *
Beberapa waktu berselang Bernstein sendiri datang berkeliling di
Kepulauan Samoa. Di Tau ia menginap semalam, sebagai tamu Tufele
(kepala desa), Pola Imu. Imu ingat cerita dari mulut ke mulut
tentang persinggahan Margaret Mead yang tersohor itu. Dengan
bantuannya pula Bernstein berhasil memperoleh "persambungan"
dengan masa Margaret berada di sana.
Sayang, kepala desa yang dulu menerima dan membantu Mead sudah
meninggal. Tapi penggantinya, dan wakil gubernur Samoa Amerika,
Tufele F. L'ia, dengan suka cita membantu dan mengatur
peninjauan wartawan The Times itu di Tau.
Sekarang ini penduduk desa diatur dalam kelompok-kelompok besar
keluarga, masing-masing dipimpin seorang kepala desa yang
kekuasaan dan wibawanya cukup besar. Di Tau sendiri Bernstein
bertemu dengan Soa Ifetu, 83 tahun, satu-satunya yang masih
hidup di antara bekas subyek penelitian Mead. Nenek Ifetu, yang
tinggal bersama para anak, cucu, dan cicitnya di rumah kayu
berlantai satu yang luas, yang dindingnya dihiasi permadani
gantung, masih ingat benar akan Margaret. " Ia senang tinggal di
sini dan menikmati keindahan kepulauan ini," katanya, dengan
suara tinggi. Ia lalu menunjuk tato yang ada di kakinya -- yang
ada kaitannya dengan si peneliti. Ia dulu menemani perjalanan
sang antropolog dua hari dua malam, dan itu dinilainya cukup
berani. Karena itu peristiwanya perlu ditandai dengan sebuah
tato. Itu merupakan proses "perploncoan" yang terbilang sakral
bagi masyarakat Samoa, meskipun biasanya "dilakukan" kaum pria.
Kendati masih terikat erat dengan masa lampau, "dibandingkan
dengan masa Mead, Tau telah banyak berubah," tulis Bernstein.
Dr. Mead memilih pulau itu karena keterpencilannya. Seperti yang
dijelaskan melalui suratnya kepada Franz Boa, profesornya di
Universitas Columbia, Tau merupakan tempat "yang tidak tercemar
barang dan pengunjung Amerika." Di sana, katanya, ia dapat
menyimak "gambaran tipikal kebudayaan orisinal" Samoa -- hal
yang bukan gampang, kendati pada 1920-an. Tau, menurut dia,
"ideal untuk bidang garapan saya."
Kepulauan di Pasifik Selatan itu sudah dipengaruhi Kristen sejak
80 tahun sebelumnya. Namun masih belum tersentuh kebudayaan
Barat, konon. Menurut catatan Mead, satu-satunya bangunan
papalai (asing) di pulau berpenduduk sekitar 1.000 orang itu
adalah sebuah rumah obat yang menjadi markas si antropolog
sendiri. "Bahkan gereja dibangun menurut gaya Samoa," tulisnya.
Tau, kata Mead, kayaknya kawasan "paling primitif dan tak
tercemar" di seluruh Kepulauan Samoa.
Lain dulu lain sekarang. Demikian laporan Bernstein. Kini,
barang Amerika dan cara hidup Barat datang dan merasuki
kehidupan rakyat kepulauan itu -- di Tau maupun seluruh Samoa.
Aliran listrik sudah masuk desa dan rumah setiap orang di sana.
Banyak yang telah memiliki mobil, atau lazimnya truk pikap.
Orang pribumi secara tetap menerima "ransum" acara televisi
Amerika termasuk iklan, tentu. Rumah khas Samoa yang menganga di
dua sisi itu kini hanya menjadi tempat upacara adat, ketimbang
sebagai kediaman. Di Luma, setiap satu dari 26 keluarga memiliki
kulkas Amerika yang besar dan kompor gas.
Sebagian besar penduduk Tau, atau setidaknya yang berusia di
bawah 60 tahun, berbicara dalam bahasa Inggris. Setiap 2.000
penduduk yang tinggal di desa-desa, seorang di antaranya bekerja
di luar negeri sebagai serdadu AS atau mencari nafkah di
negara-negara bagian seperti Hawaii atau California. Mereka
mengirimkan sebagian penghasilan ke kampung. Setelah tinggal
beberapa lama di negara bagian tertentu, sebagian besar orang
desa itu menjadi warga negara AS penuh.
"Jadi, Kepulauan Manua yang lusuh, tenteram, dibasuh matahari,
dan seperti tenggelam di keluasan Pasifik Selatan, kini bukan
hanya telah tersentuh pengaruh Barat, tapi juga telah tenggelam
ke sana," komentar Bernstein.
"Ketika tiba di siang Sabtu yang bolong, aku disambut putra tuan
rumahku yang berusia 12 tahun, Salo," Bernstein berkisah. "Kami
duduk di depan meja, di ruang tamu Samoa yang besar dan
berbentuk oblong di dekat rumah Tufele. Lantainya ditaburi
kerikil, dan meja dipenuhi majalah dan buku komik. Ada sebotol
minuman keras tiruan dan sekaleng obat serangga semprot.
"Televisi dan video kaset terletak di lapik yang apik di
anjungan. Di luar, pohon-pohon kelapa tumbuh berjajar, sementara
pohon-pohon pisang seperti sosok bayangan yang remang-remang --
berlatarkan laut yang bergelora. Angin santer singgah.
Saat kami menunggu ayahnya pulang dari pesta kawin, Salo
menawariku menonton video. Malam ini kita menonton film
Rockylll, O.K. ?," katanya dalam bahasa Inggris yang jumpalitan,
namun lancar.
* * * *
Perubahan yang melanda Samoa menarik minat setidaknya karena dua
hal. Pertama, Kepulauan Samoa akhirakhir ini menjadi pokok
perdebatan antropologis berkenaan dengan karya Margaret Mead,
yang meninggal pada 1978 itu, dan Derek Freeman, guru besar
emiritus antropologi Universitas Nasional Australia di Canberra.
Soalnya, buku klasik Dr. Mead, Coming of Age in Samoa, terbit
1928, meninggalkan citra mendalam bagi masyarakat Barat tentang
Samoa sebagai tempat yang memiliki keprimitifan yang mulus.
Dr. Mead menggambarkan penduduk Manua, khususnya gadis-gadis
belasan tahunnya, sebagai bebas dari berbagai ketegangan dan
kekhawatiran -- hal yang justru merundungi para penduduk dengan
kemajuan teknik dan tata masyarakat yang lebih rumit. Ini karena
masyarakat Manua memiliki "supremasi lingkungan, pengutamaan
pemeliharaan kultural di atas biologi, sebagai faktor yang
menumbuhkan perkembangan manusia," kata si peneliti.
Lantas Dr. Freeman, yang juga meneliti Samoa dalam rangkaian
kunjungan dalam masa 43 tahun terakhir, menulis buku Margaret
Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropological
Myth. Menurut Freeman, Dr. Mead tidak hanya keliru dalam
memotret Samoa. Tapi juga -- nah lu ! -- karyanya tidak memiliki
nilai-nilai kebenaran.
Freeman berpendapat, masyarakat Samoa sebenarnya kaku dan
hirarkis. Di mata Dr. Mead, katanya, gadis-gadis remaja Manua
"mengambil kekasih secara gampangan, suka cita, tanpa rasa
salah, menunda perkawinan sehingga dapat melipatgandakan
permainan cinta selama mungkin." Sebaliknya, Freeman sendiri
melihat masyarakat remaja putri Samoa sangat puritan, sangat
murni. Mereka sangat peka terhadap keperawanan. Bukan anak-anak
gampangan. Apalagi menjadi anak negeri yang memiliki angka
paling tinggi di bidang perkosaan dan kebuasan jenis lain di
dunia.
Serangan Freeman itu lalu menimbulkan kontroversi di dunia
antropologi. Juga membangkitkan kembali minat penelitian
terhadap Samoa sebagai sejenis "laboratorium hidup" tingkah laku
dan kebiasaan manusia. Dan kontroversi itulah yang mendekam
dalam kepala Bernstein ketika mengunjungi Samoa Barat dan Samoa
Amerika.
Kecil dan terpencil, Samoa terletak sedikit di bawah garis
khatulistiwa, 1.800 mil di timur lautAuckland, Selandia Baru.
Seperti banyak kawasan lainnya di Pasifik Selatan, kepulauan itu
menyatu dalam kerinduan yang dalam kepada nirwana. Sejak
menggalaknya penjelajahan orang Eropa serta ekspansinya ke
Pasifik Selatan sekitar 200 tahun silam, pulau-pulau yang
bertebaran di sana menampilkan dirinya sebagai kelembutan yang
ideal, ketenteraman, dan kesuburan. Bagi orang Barat, tentunya.
Citra surga pun muncul dengan jelasnya dalam tulisan-tulisan
para pengunjung yang dipimpin Dr. Mead itu. Di antara mereka
adalah Henry Adams, penyair Inggris Rupert Brooke, dan Robert
Louis Stevenson. Si Robert menghabiskan empat tahun terakhir
masa hidupnya di puncak sebuah bukit -- dan dari sana bisa
dinikmatinya pemandangan Apia, ibu kota Samoa Barat. Adapun
Adams, yang menetap di sana hampir tiga bulan pada 1890 dan
1891, menyebut orang Samoa sebagai "makhluk paling bahagia,
paling santai, dan paling gampang tersenyum."
Henry Adams yakin bahwa gangguan orang Barat, misionaris
Kristen, ekonomi uang, pekebun kelapa komersial, sedang
melakukan proses penghancuran Samoa. "Generasi berikutnya,"
katanya, "akan tidak menerima sisa-sisa paling indah dari dunia
Samoa."
Sesungguhnya, citra surga pada sementara pengarang -- Herman
Melville, misalnya -- ditempa oleh gambaran yang bertentangan
dari lingkungan mereka sendiri. Tak heran seorang penulis yang
rindu dendam seperti Melville menggambarkan serakan pulau di
Laut Selatan itu sebagai tanah ketenteraman yang melimpah ruah.
Rupert Brooke bahkan mungkin pengunjung yang paling terpesona.
Katanya, terpatah-patah, "kawasan yang terlupakan -- yang hilang
lenyap ini -- benar-benar kepingan-kepingan surga. "
Samoa mungkin tidak setenteram dan semenyenangkan seperti yang
ditemui Brooke dan kawan-kawan. Sedang Adams dan Stevenson
sendiri tentunya cukup awas akan intrik politik dan perang suku
yang terjadi di kepulauan itu. "Namun sosok sastra berikut
kesaksian sejumlah orang Samoa, mensugestikan hal yang lebih
santer. Bahwa laboratorium antropologi yang bernama Samoa suatu
saat memang pernah lebih simpel," komentar Bernstein sendiri.
Bahkan sisi gelap yang dipotret Melville, katanya, memiliki
suasana alam yang primitif dan berunsur. Tapi kini, "perubahan
yang terjadi mencerminkan adanya pengacauan sistem ekonomi
modern, pendidikan modern, nilai-nilai dan harapanharapan
modern. Akibatnya: berakhirnya sejenis surga."
Lalu Samoa, khususnya Samoa Barat, kini menjadi kawasan yang
sangat gawat, men urut penulis yang sama. Dijangkiti kesulitan
rumit yang menimpa sebuah negeri terkebelakang. Benar, negeri
itu cukup tenteram dan primitif bagi ukuran Barat. Perempuan
desa menghabiskan waktunya menganyam tikar pandan, atau
mengeringkan kopra di bawah matahari. Toh rakyat Samoa bukan
hanya berjuang untuk kesejahteraan ekonomi dan politiknya. Tapi
juga bagi identitas dirinya, katanya.
Secara tak semena-mena dan menggundahkan, masyarakat kepulauan
yang rapuh itu telah luluh lantak di bawah kesewenangan pejabat
tradisional dan infiltrasi kebudayaan Barat. Semakin banyaknya
orang Samoa tinggal di luar negeri sendiri merupakan petunjuk
kuat bahwa apa pun daya tarik negeri tropis itu, penduduk
aslinya toh memilih lari.
Secara umum, tekanan sosial lebih buruk di Samoa Barat ketimbang
di bagian lain yang lebih kecil, Samoa Amerika. Samoa Barat
punya angka rata-rata bunuh diri yang paling tinggi di dunia --
seperti juga di bidang kejahatan, defisit perdagangan, kegawatan
politik, dan lenyapnya secara aneh kebanggaan akan nilai-nilai
sejarahnya.
Di bulan Maret tahun ini, Parlemen Samoa Barat, setelah debat
panjang yang sengit, menerima pengurangan anggaran belanja yang
cukup mencemaskan -- sambil menaikkan pajak terhadap 157 ribu
penduduknya. Anggaran tampaknya konsisten dengan syarat-syarat
yang digariskan Dewan Moneter Internasional, sehubungan dengan
pinjaman baru yang kini sedang dirundingkan bagi pemulihan
ekonomi dan keuangan negeri itu.
"Anda kini membicarakan rakyat dari abad ke-11 dan ke-17 yang
dikunjungi Margaret Mead, yang dalam masa dua dasawarsa
dilemparkan ke abad ke-20," kata Felix Wendt. Dekan Fakultas
Pertanian University of South Pacific ini adalah cucu seorang
Jerman yang datang ke Kepulauan Samoa pada akhir abad lalu,
menikah dengan wanita pribumi, dan menetap. "Orang Samoa 1925
dan 1945 sangat berbeda, karena kemajuan pendidikan," ujar Dr.
Wendt. "Dan perbedaan antara Samoa 1945 dan sekarang lebih besar
lagi."
Pohon-pohon beringin tua berjajaran sepanjang jalan yang
membelah Gunung Valima di pusat Pulau Upolu, Samoa Barat. Jalan
itu menurun ke arah Apia yang menyuguhkan pemandangan menawan
khas Pasifik Selatan. Di kejauhan, di tengah lautan yang luas
dan kemerjap, sosok gersang Pulau Savaii -- lebih besar dari
Upolu, namun hanya sebagian kecil dihuni penduduk -- tampak
kabur. Langsung di bawah, tampak melalui tirai kehijauan,
pelabuhan Apia. Di seberangnya, bukit-bukit karang yang memagari
selingkar pulau.
Keindahan alamiah dan lingkupan alam murni hanya sepenuhnya
terlihat di 12 pulau Kepulauan Samoa. Kawasan itu terpisah dalam
dua wilayah sejak awal abad ini. Wilayah yang lebih kecil,
terdiri dari tujuh pulau mini dan secara kasar berpenduduk 32
ribu, berada di bawah pemerintahan AS sejak 1900. Departemen
Dalam Negeri negara besar itu mensubsidi Samoa Amerika sekitar
US$ 20 juta setahun.
Samoa Barat, dulu bekas koloni Jerman dan berada di bawah
pengawasan PBB dengan pengelolaan Selandia Baru, merdeka pada
1962 merupakan satu-satunya wilayah Pasifik Selatan yang berdiri
sendiri.
Menurut orang-orang Samoa sendiri, tidak ada perbedaan kultural
antara kedua belahan Samoa itu. Keduanya didiami orang Polinesia
sejak 3.000 tahun berselang, yang menurunkan bahasa, adat
istiadat, dongeng, dan nilai-nilai budaya khas mereka. Karena
lebih besar dan merdeka, Samoa Barat mewakili, bagi kebanyakan
orang Samoa nasionalitas mereka di dewan-dewan dunia.
Di antara bangunan buatan manusia yang paling nyata di Upolu
adalah menara gereja yang putih gemerlapan. Bersama jalan-jalan
yang menyerempet-nyerempet pantai, ia menjadi ciri khas desa
mungil itu. Agama Kristen memang berpengaruh mutlak. Baik
penduduk Samoa Barat maupun Samoa Amerika memeluk Kristen sejak
150 tahun berselang beberapa saat setelah John Williams, utusan
Lembaga Pendakwah London dan penyebar Injil, tiba di Upolu pada
1830.
Pemandangan yang menakjubkan di kedua Samoa muncul di pagi hari
Minggu. Yaitu saat seluruh penduduk berkumpul di gereja.
Gadis-gadis sekolah dalam rok hitam dan blus putih, wanita
dengan busana berkembang-kembang berikut topi lebar, anak
laki-laki dengan kemeja dan dasi, sementara kaum bapak memakai
jas model Barat berikut lava-lava -- selempang model Samoa.
Di banyak desa, kehadiran pengunjung di gereja tak lain karena
menuruti perintah -- dikerahkan kepala kampung masing-masing.
"Wewenang ini bisa berbenturan dengan kebebasan beragama yang
dijamin undang-undang dasar modern," tulis Berstein. Sebuah
kasus terjadi belum lama. Seorang sopir bis, bernama Tariu
Tuivaiti dari Desa Falelatai di Upolu, menolak menghadiri
kebaktian gereja. Ini segera menimbulkan perkara. Kepala desa
menghukumnya, dengan melarang penduduk menggunakan bisnya.
Tuivaiti lalu mengupah seorang pengacara, yang membuka praktek
di Samoa Barat, untuk menggugat sang ketua RW. Pengadilan
menerima tuntutannya, dan mengharuskan kepala desa membayar
denda kepada Tuivaiti. Tapi perkara tidak dengan sendirinya
selesai. Rumah Tuivaiti dibakar penduduk -- konon sesuai dengan
adat setempat.
Pertikaian antara hukum Barat dan kekuasaan tradisional kepala
desa itu menyingkapkan betapa rumitnya peralihan alam
tradisional ke era "modern" negeri kecil itu. "Kami sedang
menjalani periode yang paling tragis," tutur Albert Wendt.
Saudara laki-laki Felix Wendt adalah pengarang sejumlah novel
tentang kehidupan orang Samoa, termasuk Sons for Return Home,
merangkap guru besar sastra pada University of South Pasific di
Fiji. "Negeri ini berada di keruntuhan politik dan ekonomi,"
tambahnya.
Albert Wendt menunjuk serangkaian masalah yang biasa dibicarakan
di Samoa Barat, yang semuanya mencerminkan usaha penyesuaian
yang sulit terhadap "tantangan dunia modern". Secara ekonomis,
misalnya, kepulauan kecil itu telah kehilangan banyak barang
untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Padahal dulu pernah
diberkahi dengan hasil kelapa, talas, mangga, sukun, dan ikan,
yang membikin orang Eropa terkagum-kagum dan ileran.
Dalam tahun-tahun penjajahan Jerman, menurunnya gairah kerja
orang Samoa di perkebunan-perkebunan yang dikelola asing
mendorong kekuasaan kolonial memasukkan buruh kasar Cina. Dan
mereka inilah yang kini menjadi tuan-tuan warung di Apia.
Saat ini Samoa Barat mengimpor barang-barang konsumsi, makanan
prosesan, mesin, dan bahan bakar minyak untuk pembangkit tenaga
listrik. Jumlahnya terus menaik, sekitar tujuh kali dibanding
nilai ekspornya -- terdiri dari kopra, buah sedap-sedapan,
talas, dan pisang. Kebiasaan kepulauan itu untuk mengimportak
ayal telah mengubah selera mereka sendiri -- dan menciptakan
ketergantungan pada luar negeri.
Coba. Kendati dikelilingi lautan (dan mana ada lautan tanpa ikan
segar?) kumpulan orang Samoa itu lebih doyan ikan kaleng. Dan
kalaupun mereka melaut, mereka ambil gampangnya -- meledakkan
dinamit. Ini pada gilirannya merusakkan lingkungan dan tata
ekologi kelautan setempat. Jumlah ikan semakin langka.
"Tongkol kalengan dan corned heef, seperti atap seng
bergelombang, telah menjadi bagian dari budaya dan rasa gengsi,"
kata Bernstein. Seiring dengan cara hidup baru ini, orang desa
yang dulu tinggal di tepi laut kini pindah ke tempat yang lebih
ramai -- di tepi jalan baru. Akibatnya kini penduduk menempati
Kawasan tepi jalan dan pasar-pasar, di sekitar Apia.
Defisit alat pembayaran luar negeri membuat negeri itu mengalami
kelangkaan bahan makanan. Awal tahun ini koran-koran
melaporkan, bahan-bahan sejenis cornedbeef, ikan tongkol,
beras, dan mentega menghilang di pasaran. Suplai tepung,
mentega dan sigaret tersedat-sendat. Sebagai akibat, begitu ada
kabar burung bahwa tongkang barang baru masuk, para pembeli
pontang-panting lari ke pasar -- untuk memborong.
Menurut Biro Statistik Samoa Barat, jumlah impor melipat tiga
antara 1976 dan 1981 -- dari US$23 juta ke US$70 juta. Ekspor
memang meningkat juga, tapi jumlahnya pada 1981 hanya sekitar
US$11 juta. Sementara itu indeks harga konsumen, 100 pada 1972,
melaju ke-392,6 pada akhir 1981. Hanya uang yang dikirim pulang
oleh mereka yang makin banyak tinggal di luar negeri merupakan
faktor utama masih mendingannya keadaan ekonomi penduduk asli.
Berkembang biaknya sekolah misi, yang berpadu dengan jaringan
sekolah pemerintah yang cukup baik, menjadikan Samoa salah satu
umat yang berpendidikan terbaik di antara negeri-negeri
berkembang menurut ukuran Barat. Di antara 157 ribu penduduk
Samoa Barat, tidak kurang dari 52 ribu merupakan kaum
berpendidikan sekolah. Ini berarti sepertiga dari seluruh jumlah
nyawa.
Mereka terdiri dari pelajar sekolah dasar, menengah, dan
lanjutan atas, menurut hitungan 1981. Tapi prestasi itu tidak
didukung oleh perkembangan ekonomi -- yang tidak mampu menampung
mereka pada pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan.
"Di antara kaum pengangguran, Anda bisa mendapatkan 30% di
antaranya terdiri dari lepasan sekolah," kata Pito Faalago.
Mengapa begitu? "Karena mereka dididik menjauhi sistem ekonomi
desa," tambah editor mingguan Samoa Times
itu. "Mereka dididik bukan untuk menanam talas atau kelapa di
desa. Karena itu, muncul tekanan dan ketegangan saat Samoa harus
melalui masa transisi dari ekonomi mencari nafkah ke suatu
keadaan yang terbilang modern."
Albert Wendt, sang novelis, berkata: "Orang-orang muda mencari
jalan untuk hengkang. Mereka berpendidikan tinggi, tapi
menganggur. Mereka tidak banyak melihat adanya hari depan di
kampung halaman." Ia lalu meneruskan: "Negeri ini akan sangat
gawat. Rakyat mulai marah. Anda tak bisa membeli apa pun di
toko. Yang paling tragis adalah tingginya angka kematian karena
bunuh diri. Negeri ini memanifestasikan dirinya dengan kebiasaan
tragis itu."
Melonjaknya tindak bunuh diri di Samoa Barat tampaknya memang
sudah sampai pada tingkat yang gawat. Itu juga diungkapkan oleh
sebuah penelitian tahun kemarin oleh kelompok peneliti gereja
dan pemerintah.
Pada 1970, menurut laporan itu, hanya delapan kasus bunuh diri
per 100 ribu penduduk. Pada 1981 naik 49, dan pada 1982 35
kasus. Di antara orang muda usia 12-24 tahun, angka rata-rata
bunuh dirinya tertinggi di dunia.
Sebagian besar bunuh diri itu, kata Dr. John Bowles, psikiater
Australia yang bekerja pada Rumah Sakit Nasional Apia, tampaknya
merupakan tindakan impulsif. Sering-sering di bawah pengaruh
alkohol -- yang segera diikuti perselisihan dengan orang yang
memiliki otoritas lebih tinggi.
Dan peningkatan yang tajam kasus bunuh diri itu seiring dengan
cukup tersedianya paraquat, cairan reramuan beracun, yang juga
bisa didapat di ladang-ladang marijuana di Meksico. Menurut Dr.
Bowles, penelitian lebih mendalam diperlukan, agar alasan klinis
yang benar dapat ditarik dari kasus bunuh diri. Paraqua,
bagaimanapun, kini menjadi alat paling lazim untuk bunuh diri.
"Di antara mereka yang melakukan tindak bunuh diri," kata Dr.
Bowles, amat sedikityang menunjukkan gejala-gejala awal" Alias
sekadar nekat dan sableng.
Toh Dr. Bowles dan orang-orangnya sempat mengemukakan faktor
depresi dan rasa ketidakpastian orang muda sebagai penyebabnya.
Tidak tersedianya kesempatan yang cukup bagi anak-anak muda
berpendidikan, pengaruh luar yang diterima selama bepergian di
luar negeri, ditambah bioskop dan televisi. Semua itu kemudian
berpadu dengan merosotnya otoritas tradisional dan meningkatnya
konflik antara angkatan muda dengan kaum tua. Dan, tentunya,
tidak tersedianya bekal rohaniah dalam diri sebagai penolak atau
penyaring serangan Barat" rohani-jasmani.
Emigrasi besar orang-orang muda Samoa ke Selandia Baru,
Australia, dan Hawaii, tidak hanya cerminan dari besarnya
pengaruh negeri-negeri besar yang makmur ketimbang Samoa kecil
yang terpencil. Tetapi juga dari anggapan keluarga sendiri,
bahwa yang tidak bisa ke luar negeri dan mengirim uang ke
kampung, kurang pantas dihargai.
"Penjelasan saya tentang kasus bunuh diri ini adalah:
kepribadian orang Samoa paling terkontrol dan paling rasional,"
kata La Tagaloa Pita. Camat dan anggota parlemen tiga kali
beruntun ini menambahkan, "tapi orang Samoa juga bisa tiba-tiba
ganas, rapuh -- dan dalam kerapuhan itu bisa mendadak bertindak
di luar kemauannya yang sebenarnya."
La Tagaloa Pita, bertubuh tegap dan pernah belajar di AS,
berkata pula bahwa bunuh diri sudah menjadi bagian dari budaya
masyarakat Samoa. Tapi ia mengakui bahwa paraquat sebenarnya
merupakan penyebab utama meningkatnya tindak bedebah itu. "Kasus
bunuh diri sering bersumber dari kegagalan sosial, tidak mampu
melakukan apa yang ia harap sanggup dilakukannya," katanya.
Itu menjadi daya dorong pada saat tertentu, bukan melalui suatu
persiapan sebelumnya. Jika Anda memiliki sepotong tali atau
hamparan ngarai yang curam, Anda memiliki waktu untuk
menimbang-nimbang kembali. Sedang reramuan memang lebih cocok
untuk suatu keputusan fatal yang mendadak. Tinggal mengangkut
gelas, dan modar.
Di tepi Apia, di seberang jalan dari kolam permandian yang
terkenal, ada sebuah bangunan bundar yang ber-AC. Dindingnya
dari kaca. Atapnya berbentuk kubah. Konon itulah contoh
arsitektur Samoa yang modern. Disebut Fono, gedung itu menjadi
tempat bertemunya para kepala desa -- sebuah parlemen
beranggotakan 47 orang. Di sinilah segala tata cara dan aspirasi
demokrasi modern mencoba menyatu dengan hukum otoriter berdosis
tinggi.
Fono dipilih bukan melalui pemungutan suara secara umum, tetapi
oleh 16 ribu kepala kampung atau suku yang disebut matai. Pita
sendiri, si camat tadi, memakai istilah mataisme untuk
menggambarkan sistem politik Samoa -- sesuatu yang menjadi rusak
oleh pemecahbelahan dalam parlemen, dan oleh berjangkitnya
penyogokan dalam usaha menggolkan calon.
Dalam bentuknya yang ideal, kata Le Tagaloa Pita, sistem matai
menjelmakan kekuatan jaringan tradisional keluarga Samoa yang
besar. "Di Samoa," menurut dia, "seseorang memiliki sesuatu.
Setiap kepala adalah pewaris suatu gelar, dan mewarisi suatu
gelar berarti mewarisi tanah. Setiap keluarga memiliki gelar,
karena itu seorang matai adalah pewaris yang terpilik di antara
para pewaris."
Kepala suku atau desa, umumnya laki-laki, dipilih di antara
anggota keluarga besar. Ia berwewenang sebagai tuan kepala yang
mengatur atau menimbang berbagai masalah desa -- termasuk
pendistribusian tanah dan rumah tinggal, kepada kaumnya.
Di Samoa Amerika, yang saling mewariskan nilai-nilai dan tradisi
dengan Samoa Barat, kekuasaan matai telah diserap oleh demokrasi
gaya Amerika dengan dua lembaga legislatif. Yaitu majelis rendah
yang dipilih melalui pemilihan umum, dan majelis tinggi yang
dipilih hanya oleh para kepala desa. Gubernur dan wakil gubernur
dipilih oleh seluruh penduduk berusia 18 tahun ke atas.
Namun demokrasi konstitusional sering dibuat linglung oleh
gerombolan kepala desa yang terbiasa otoriter itu. Di desa-desa,
di kedua Samoa itu, acap sang kepala desa yang menentukan
hitam-putihnya suatu persoalan.
Di Desa Tau, misalnya, kehidupan sebagian besar menggelinding di
bawah pengawasan kaum agama. Setiap hari pada tiap lonceng
subuh, sa, yang berarti suci, berbunyi, itulah saatnya melakukan
doa pagi. "Pada hari Minggu saya bertamu ke rumah Pola Imu,"
Bernstein bercerita untuk memberi contoh. "Warga Amerika yang
beberapa tahun tinggal di California, sebelum kembali menetap di
Samoa itu, berkata bahwa ia telah meminta izin pastor agar dapat
menemaniku berjalan-jalan di pulau." Jadi pastor pun masih suka
memegang izin jalan-jalan.
Tiga malam dalam seminggu, seluruh desa berkumpul untuk latihan
paduan suara. Jika tidak hadir, ada hukuman dari kepala desa.
Pada setiap pukul 10 saban malam, kembali lonceng berdentang
menandakan awal berlakunya jam malam. Para kepala desa lalu
mengadakan ronda sampai dinihari untuk meyakinkan diri bahwa tak
ada pelanggaran terjadi.
Namun tak ayal, di malam Bernstein bermalam di Tau, ia melihat
selusin kepala desa berkumpul di puskesmas untuk menonton film
Tora, Tora, Tora yang diputar di video milik dokter. Film Jepang
itu memang mengambil cerita Perang Dunia ke-2, yang konon
berlangsung di sekitar kawasan Pasifik Selatan.
Pola Imu berkata: "Lonceng pada pukul enam pagi menandakan waktu
mengucap syukur kepada-Nya, bahwa Tuhan telah memberkahi
keselamatan pada hari sebelumnya. Mengenai jam malam,
dimaksudkan agar para muda-mudi tidak gentayangan, hingga mereka
bisa bangun pagi-pagi benar."
Di Samoa Amerika ada gerakan, khususnya di kalangan para kepala
desa, untuk menggalakkan dipatuhinya secara keras faa -- Samoa
aturan Samoa. Konon tak sebatang hidung mendukungnya. faa Samoa,
menurut Pola Imu, merupakan perlambang dan tata upacara
kehidupan Samoa. "Misalnya, menolak upacara perkawinan a la
Amerika," tuturnya.
Menurut penduduk desa lainnya, ini menandakan kurangnya perbawa
pemerintah di Pago Pago, dan kurang relanya mereka terhadap
pemberlakuan hukum konstitusional. Tahun silam, misalnya,
pemerintah menolak imbauan penduduk Desa Tau agar mengganyang
penduduk yang ingin bergabung dengan gereja baru yang bernama
Majelis Tuhan. Mereka ingin agar Gereja Kristen Jemaat menjadi
satu-satunya lembaga keagamaan yang diizinkan di Tau. Tak ayal,
keputusan Pago Pago yang memberi kebebasan beragama itu
merupakan pukulan keras terhadap otoritas keagamaan yang selama
ini mereka nikmati.
Di Samoa Barat, sebaliknya para kepala desa memegang kendali
kekuasaan yang besar. Ini karena lembaga legislatif uni cameral
hanya dipilih oleh mereka. Tapi pada gilirannya, kata sejumlah
orang Samoa, karena kekuasaan para kepala desa itulah "Samoa
sarat tenggelam dalam penyuapan." Para kepala suku menerima
"hadiah" dari calon anggota parlemen -- untuk dukungan suara
yang diharapkan.
Jika Anda ingin dipilih, undanglah para kepala. Jamu mereka
dengan bir, sigaret, dan uang," kata seorang anggota parlemen --
sambil mereguk bir di sebuah warung minuman. "Jika Anda tak
punya uang, jangan berharap bisa terpilih. Tapi jika Anda
membelanjakan seluruh uang Anda, jangan harap bisa terpilih
kembali esok." Jadi pandai-pandailah memanfaatkan uang, gobang
demi gobang.
Le Tagaloa Pita mengeluh: "Sistem politik kami menjadi mirip
sogok-menyogok di lapangan sepak bola." Benar itu, penyogokan
dan debat soal anggaran belanjalah yang membawa perubahan cepat
dalam pemerintahan Samoa Barat tahun kemarin. Setelah satu
pemilihan tahun lalu, sekitar dua puluh petisi tentang anggaran
belanja masuk agenda, tiga di antaranya mendapat dukungan.
Kasus paling penting adalah terpilihnya perdana menteri baru,
Vaai Kolone, yang terpaksa angkat kaki dari kantornya setelah
Dewan menyatakan pemilihan tidak sah. Tapi Vaai Kolone, yang
dituduh terlibat penyogokan itu, anehnya belakangan bisa kembali
menjadi anggota parlemen melalui pemilihan ulangan.
"Itulah masalah yang sedang kita bicarakan bersama," kata
Faalogo dari Samoa Times, menunjuk soal korupsi di Samoa. "Dan
itu merupakan bagian yang berkaitan dengan perubahan dari sistem
kepala desa ke sistem pemerintahan nasional."
Sebuah pemecahan, seperti disebut Faalogo dan rekan-rekannya,
mungkin berupa suatu hak pilih secara umum -- kendati mungkin
ditentang para kepala desa. "Jika Anda memiliki 5.000 orang di
sebuah desa dan 400 kepala desa, lebih mudah membeli 400 kepala
desa itu ketimbang 5.000 penduduknya," katanya.
Ia menambahkan, ketegangan yang menggawat di Samoa, khususnya
antara muda dan kaum tua, akan muncul jika para kepala desa
mencoba meneruskan cara-cara lama. "Kukira kami sedang melalui
proses yang menyakitkan," kata Faalogo. "Lagi-lagi orang-orang
muda yang kembali dari Selandia Baru jemu dengan cara-cara
lama".
"Misalnya," katanya lagi, "di desa seorang pemuda harus duduk
merunduk-runduk ketika berbicara dengan orang tua, terutama
kepala desa. Itu tampaknya persoalan sepele, tapi cukup menjadi
ganjalan bagi kalangan yang pulang setelah menyerap
gagasan-gagasan modern di luar negeri. Itulah perkara yang bisa
jadi gara-gara bagi sementara orang sekarang ini."
* * * *
John Kneubuhl lahir di Samoa Amerika dan lulusan Yale
University. Ia pulang kampung untuk mengepalai program
penelitian Samoa di universitas setempat -- setelah menjalani
karier penulis skenario di Hollywood. Akhir-akhir ini si John
banyak berbicara tentang perubahan yang terjadi di kepulauan itu
setelah melalui beberapa generasi.
"Hanya sedikit dari kami yang betah tinggal," kata Kneubuhl,
lelaki ramping 63 tahun. "Kami adalah milik generasi Samoa yang
harus enyah di tengah masa transisi yang pesat dan ganas."
Katanya, sampai akhir Perang Dunia ke-2, Samoa, di bawah kawalan
Marinir AS, sebagian besar tetap terisolasi. Padahal sebagian
besar memeluk agama Kristen yang konon bercitra Barat yang
modern.
Membandingkan kenangan masa kecilnya dengan kehidupan orang
Samoa sekarang, Kneubuhl berujar: "Pertalian kami dengan
hal-halyang elementer dulu lebih akrab." Penggambaran Dr.
Margaret Mead tentang kehidupan seksual yang bebas dari suku
Manua, dinilainya memang sesuai dengan kenangan masa kecilnya.
"Kuingat nenekku pernah bercerita tentang makhluk yang setengah
anjing setengah babi. Pernah kudengar pembicaraan hangat tentang
hal yang harus terjadi untuk menciptakan binatang jenis itu,"
tutur Kneubuhl. "Mereka membicarakannya secara terbuka, sampai
hal sekecil-kecilnya dan tanpa rasa rikuh oleh hadirnya
anak-anak. Mereka bicara tentang hal-hal ajaib dunia dan
pertaliannya dengan diri mereka. Satu di antara yang ajaib itu
adalah hubungan seks."
'Kami anak-anak berdiri di tepi dunia dewasa, katanya lebih
jauh. 'Kami melihat kelahiran, kematian. Masih kuingat dengan
segarnya saat seorang dukun mengusir hantu. Kami dapat
mendengarkan keluarga membicarakan urusan perceraian. Tak ada
yang disembunyikan dari kami."
Orang-orang Samoa lainnya, berkenaan dengan debat yang timbul
karena kritik Derek Freeman terhadap Dr. Mead, membantah bahwa
keakraban orang Samoa terhadap unsur kehidupan lebih merupakan
mitos sejarah ketimbang realitas. Banyak di antara orang Samoa
juga menyerang kesimpulan Dr. Mead bahwa hubungan seksual di
antara mereka tanpa memilih dan menimbang-nimbang, tanpa suatu
kendali dari kode-kode seksual atau kaidah sosial. "Jika
mempercayainya," kata Aiono Fanaafi, pembantu rektor Universitas
Samoa, "Anda tentu meyakini kami sebagai binatang ataupun dewa."
"Margaret Mead adalah pewaris tunggal mitos romantis Laut
Selatan," ujar Albert Wendt, si pengarang. "Ia datang ke mari
dengan citra itu di kepalanya, dan ia tak pernah ingkar." "Hidup
di sini sukar," tambahnya. "Bahkan bagi yang datang untuk
ongkang-ongkang. Misalnya, mereka yang datang dari Amerika atau
Eropa untuk sekadar melihat matahari, pohon kelapa, buah sukun,
dan sebagainya, yang sekilas tampaknya bagi orang Barat --
seperti kehidupan di surga."
Dan akhirnya, perdebatan seperti itu menyodorkan sejumlah
permasalahan mendasar bagi pemikiran sosial dan kebijakan
sosial, seperti ditulis Bernstein. Setelah Margaret Mead,
melalui penelitian itu, berhasil "memasang merk" tentang diri
dan temuannya, perbincangan melibatkan kepentingan yang
berkaitan dengan alam dan pelestariannya serta perkembangan
psikologis satu kaum.
Suatu ketika, Rupert Brooke mengirim surat ke kampung halamannya
di Inggris. Saat itu ia baru saja menonton tarian yang
dipertunjukkan di kapal yang ditumpanginya, oleh laki-laki dan
wanita Samoa yang telanjang dada. "Sangat menggetarkan, hangat,
dan liar," tulisnya dengan girang. Rupa-rupanya ia terkesima
oleh pesona tubuh licin berminyak para penarinya. "Aku seperti
mendengarkan jeritan serak parau yang ganjil dari belantara
purba, yang menelusup ke dalam tubuhku, lalu bangun terjaga."
Pernyataan yang senada datang juga dari Henry Adams. Adegan itu,
katanya, "memberikan begitu banyak kesegaran kepada dunia
fantasi kita, bahwa tak ada pengalaman masa-masa datang mana pun
yang mampu membuat kita baru kembali. "
Tetapi, "tidak ada jeritan serak parau yang ganjil dari
belantara purba yang bangkit dalam diriku ketika berada di
Samoa," tulis Bernstein mengejek. "Dan aku tidak akan percaya.
Mungkin karena aku kurang romantis seperti Brooke, atau kurang
merunduk-runduk menyaksikan keprimitifan yang menjulang
perkasa."
"Kita semua ingin mengalami masa purba," lanjut Bernstein. "Tapi
banyak ketakjuban kita akan Pasifik Selatan berasal dari sebuah
harapan bahwa suatu makhluk entah berantah pernah hidup di dalam
harmoni. Dan merasakan kenyamanan unsur kehidupan, yang disebut
Adams sebagai "ketelanjangan umum" yang tampaknya begitu
alamiah.
Sayangnya, kata Bernstein, semua itu tidak ditemukan di Samoa.
"Barangkali tidak di suatu tempat pun Seluruh dunia sudah
menjadi 'modern'."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini