Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Samoa, pulau-pulau yang hilang

Perubahan-perubahan yang terjadi di kepulauan samoa, dan kehidupan penduduknya. (sel)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA pandang pertama, Desa Luma di Kepulauan Samoa Amerika tak sepantasnya menjadi biang kemasyhuran seorang antropolog kaliber Margaret Mead. Terletak di antara kepungan laut dan dinding-dinding bukit, perkampungannya terdiri dari rumah-rumah berlantai satu. Cukup apik, karena dindingnya diplesteri semen, atapnya dari seng bergelombang. Turun ke tepi pantai, ada sejumlah gubuk buruk dan sebuah kedai kecil. Lalu dua gereja besar, sebuah di antaranya putih kemilau dengan lis berwarna pastel -- tegak berdiri laksana hantu. Di depannya ada lapangan pasir, tempat anak-anak bermain rugbi dan kriket. Desa itu memiliki keindahan negeri tropis tampak hening dan diam dalam siraman matahari, namun tak kuasa menyembunyikan lingkungannya yang jorok. Panasnya yang menggigit khas negeri terkebelakang dari dunia ketiga. Terkebelakang, memang. Namun Luma bukan tempat yang terlupakan. Terletak di Pulau Tau, bagian dari gugusan pulau-pulau Manua di Kepulauan Samoa. Samoa sendiri terdiri dari Samoa Barat dan Samoa Amerika. Di sinilah calon antropolog Margaret Mead, 23 tahun saat itu, melakukan penelitian lapangannya yang pertama 58 tahun berselang. Ia datang dengan bot dari Pago Pago, ibu kota Samoa Amerika, sekitar 70 mil di seberang Pasifik Selatan, dan menetap sekitar setengah tahun di sana. Kendati segera berhasil menawan hati penduduk setempat, perempuan itu sendiri mengeluh tentang udaranya yang panas. lni menghalanginya bekerja dua tiga jam di siang bolong. Lalu, datang pula penghalang lain. Badal yang ganas menyerbu -- hanya menyisakan lima buah rumah berdiri utuh. Rencana mewawancarai penduduk jadi berantakan. Meski demikian, ketika Mead meninggalkan kawasan itu, April 1926, nada riang tecermin dalam catatan hariannya. "Girangnya aku karena memperoleh segepok bahan etnologis," tulisnya. Bahan-bahan itulah yang kemudian memberinya nama harum dan martabat, yang sungguh tidak pernah diraih antropolog lainnya -- seperti ditulis Richard Bernstein dalam The New York Times Magazine. * * * * Beberapa waktu berselang Bernstein sendiri datang berkeliling di Kepulauan Samoa. Di Tau ia menginap semalam, sebagai tamu Tufele (kepala desa), Pola Imu. Imu ingat cerita dari mulut ke mulut tentang persinggahan Margaret Mead yang tersohor itu. Dengan bantuannya pula Bernstein berhasil memperoleh "persambungan" dengan masa Margaret berada di sana. Sayang, kepala desa yang dulu menerima dan membantu Mead sudah meninggal. Tapi penggantinya, dan wakil gubernur Samoa Amerika, Tufele F. L'ia, dengan suka cita membantu dan mengatur peninjauan wartawan The Times itu di Tau. Sekarang ini penduduk desa diatur dalam kelompok-kelompok besar keluarga, masing-masing dipimpin seorang kepala desa yang kekuasaan dan wibawanya cukup besar. Di Tau sendiri Bernstein bertemu dengan Soa Ifetu, 83 tahun, satu-satunya yang masih hidup di antara bekas subyek penelitian Mead. Nenek Ifetu, yang tinggal bersama para anak, cucu, dan cicitnya di rumah kayu berlantai satu yang luas, yang dindingnya dihiasi permadani gantung, masih ingat benar akan Margaret. " Ia senang tinggal di sini dan menikmati keindahan kepulauan ini," katanya, dengan suara tinggi. Ia lalu menunjuk tato yang ada di kakinya -- yang ada kaitannya dengan si peneliti. Ia dulu menemani perjalanan sang antropolog dua hari dua malam, dan itu dinilainya cukup berani. Karena itu peristiwanya perlu ditandai dengan sebuah tato. Itu merupakan proses "perploncoan" yang terbilang sakral bagi masyarakat Samoa, meskipun biasanya "dilakukan" kaum pria. Kendati masih terikat erat dengan masa lampau, "dibandingkan dengan masa Mead, Tau telah banyak berubah," tulis Bernstein. Dr. Mead memilih pulau itu karena keterpencilannya. Seperti yang dijelaskan melalui suratnya kepada Franz Boa, profesornya di Universitas Columbia, Tau merupakan tempat "yang tidak tercemar barang dan pengunjung Amerika." Di sana, katanya, ia dapat menyimak "gambaran tipikal kebudayaan orisinal" Samoa -- hal yang bukan gampang, kendati pada 1920-an. Tau, menurut dia, "ideal untuk bidang garapan saya." Kepulauan di Pasifik Selatan itu sudah dipengaruhi Kristen sejak 80 tahun sebelumnya. Namun masih belum tersentuh kebudayaan Barat, konon. Menurut catatan Mead, satu-satunya bangunan papalai (asing) di pulau berpenduduk sekitar 1.000 orang itu adalah sebuah rumah obat yang menjadi markas si antropolog sendiri. "Bahkan gereja dibangun menurut gaya Samoa," tulisnya. Tau, kata Mead, kayaknya kawasan "paling primitif dan tak tercemar" di seluruh Kepulauan Samoa. Lain dulu lain sekarang. Demikian laporan Bernstein. Kini, barang Amerika dan cara hidup Barat datang dan merasuki kehidupan rakyat kepulauan itu -- di Tau maupun seluruh Samoa. Aliran listrik sudah masuk desa dan rumah setiap orang di sana. Banyak yang telah memiliki mobil, atau lazimnya truk pikap. Orang pribumi secara tetap menerima "ransum" acara televisi Amerika termasuk iklan, tentu. Rumah khas Samoa yang menganga di dua sisi itu kini hanya menjadi tempat upacara adat, ketimbang sebagai kediaman. Di Luma, setiap satu dari 26 keluarga memiliki kulkas Amerika yang besar dan kompor gas. Sebagian besar penduduk Tau, atau setidaknya yang berusia di bawah 60 tahun, berbicara dalam bahasa Inggris. Setiap 2.000 penduduk yang tinggal di desa-desa, seorang di antaranya bekerja di luar negeri sebagai serdadu AS atau mencari nafkah di negara-negara bagian seperti Hawaii atau California. Mereka mengirimkan sebagian penghasilan ke kampung. Setelah tinggal beberapa lama di negara bagian tertentu, sebagian besar orang desa itu menjadi warga negara AS penuh. "Jadi, Kepulauan Manua yang lusuh, tenteram, dibasuh matahari, dan seperti tenggelam di keluasan Pasifik Selatan, kini bukan hanya telah tersentuh pengaruh Barat, tapi juga telah tenggelam ke sana," komentar Bernstein. "Ketika tiba di siang Sabtu yang bolong, aku disambut putra tuan rumahku yang berusia 12 tahun, Salo," Bernstein berkisah. "Kami duduk di depan meja, di ruang tamu Samoa yang besar dan berbentuk oblong di dekat rumah Tufele. Lantainya ditaburi kerikil, dan meja dipenuhi majalah dan buku komik. Ada sebotol minuman keras tiruan dan sekaleng obat serangga semprot. "Televisi dan video kaset terletak di lapik yang apik di anjungan. Di luar, pohon-pohon kelapa tumbuh berjajar, sementara pohon-pohon pisang seperti sosok bayangan yang remang-remang -- berlatarkan laut yang bergelora. Angin santer singgah. Saat kami menunggu ayahnya pulang dari pesta kawin, Salo menawariku menonton video. Malam ini kita menonton film Rockylll, O.K. ?," katanya dalam bahasa Inggris yang jumpalitan, namun lancar. * * * * Perubahan yang melanda Samoa menarik minat setidaknya karena dua hal. Pertama, Kepulauan Samoa akhirakhir ini menjadi pokok perdebatan antropologis berkenaan dengan karya Margaret Mead, yang meninggal pada 1978 itu, dan Derek Freeman, guru besar emiritus antropologi Universitas Nasional Australia di Canberra. Soalnya, buku klasik Dr. Mead, Coming of Age in Samoa, terbit 1928, meninggalkan citra mendalam bagi masyarakat Barat tentang Samoa sebagai tempat yang memiliki keprimitifan yang mulus. Dr. Mead menggambarkan penduduk Manua, khususnya gadis-gadis belasan tahunnya, sebagai bebas dari berbagai ketegangan dan kekhawatiran -- hal yang justru merundungi para penduduk dengan kemajuan teknik dan tata masyarakat yang lebih rumit. Ini karena masyarakat Manua memiliki "supremasi lingkungan, pengutamaan pemeliharaan kultural di atas biologi, sebagai faktor yang menumbuhkan perkembangan manusia," kata si peneliti. Lantas Dr. Freeman, yang juga meneliti Samoa dalam rangkaian kunjungan dalam masa 43 tahun terakhir, menulis buku Margaret Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropological Myth. Menurut Freeman, Dr. Mead tidak hanya keliru dalam memotret Samoa. Tapi juga -- nah lu ! -- karyanya tidak memiliki nilai-nilai kebenaran. Freeman berpendapat, masyarakat Samoa sebenarnya kaku dan hirarkis. Di mata Dr. Mead, katanya, gadis-gadis remaja Manua "mengambil kekasih secara gampangan, suka cita, tanpa rasa salah, menunda perkawinan sehingga dapat melipatgandakan permainan cinta selama mungkin." Sebaliknya, Freeman sendiri melihat masyarakat remaja putri Samoa sangat puritan, sangat murni. Mereka sangat peka terhadap keperawanan. Bukan anak-anak gampangan. Apalagi menjadi anak negeri yang memiliki angka paling tinggi di bidang perkosaan dan kebuasan jenis lain di dunia. Serangan Freeman itu lalu menimbulkan kontroversi di dunia antropologi. Juga membangkitkan kembali minat penelitian terhadap Samoa sebagai sejenis "laboratorium hidup" tingkah laku dan kebiasaan manusia. Dan kontroversi itulah yang mendekam dalam kepala Bernstein ketika mengunjungi Samoa Barat dan Samoa Amerika. Kecil dan terpencil, Samoa terletak sedikit di bawah garis khatulistiwa, 1.800 mil di timur lautAuckland, Selandia Baru. Seperti banyak kawasan lainnya di Pasifik Selatan, kepulauan itu menyatu dalam kerinduan yang dalam kepada nirwana. Sejak menggalaknya penjelajahan orang Eropa serta ekspansinya ke Pasifik Selatan sekitar 200 tahun silam, pulau-pulau yang bertebaran di sana menampilkan dirinya sebagai kelembutan yang ideal, ketenteraman, dan kesuburan. Bagi orang Barat, tentunya. Citra surga pun muncul dengan jelasnya dalam tulisan-tulisan para pengunjung yang dipimpin Dr. Mead itu. Di antara mereka adalah Henry Adams, penyair Inggris Rupert Brooke, dan Robert Louis Stevenson. Si Robert menghabiskan empat tahun terakhir masa hidupnya di puncak sebuah bukit -- dan dari sana bisa dinikmatinya pemandangan Apia, ibu kota Samoa Barat. Adapun Adams, yang menetap di sana hampir tiga bulan pada 1890 dan 1891, menyebut orang Samoa sebagai "makhluk paling bahagia, paling santai, dan paling gampang tersenyum." Henry Adams yakin bahwa gangguan orang Barat, misionaris Kristen, ekonomi uang, pekebun kelapa komersial, sedang melakukan proses penghancuran Samoa. "Generasi berikutnya," katanya, "akan tidak menerima sisa-sisa paling indah dari dunia Samoa." Sesungguhnya, citra surga pada sementara pengarang -- Herman Melville, misalnya -- ditempa oleh gambaran yang bertentangan dari lingkungan mereka sendiri. Tak heran seorang penulis yang rindu dendam seperti Melville menggambarkan serakan pulau di Laut Selatan itu sebagai tanah ketenteraman yang melimpah ruah. Rupert Brooke bahkan mungkin pengunjung yang paling terpesona. Katanya, terpatah-patah, "kawasan yang terlupakan -- yang hilang lenyap ini -- benar-benar kepingan-kepingan surga. " Samoa mungkin tidak setenteram dan semenyenangkan seperti yang ditemui Brooke dan kawan-kawan. Sedang Adams dan Stevenson sendiri tentunya cukup awas akan intrik politik dan perang suku yang terjadi di kepulauan itu. "Namun sosok sastra berikut kesaksian sejumlah orang Samoa, mensugestikan hal yang lebih santer. Bahwa laboratorium antropologi yang bernama Samoa suatu saat memang pernah lebih simpel," komentar Bernstein sendiri. Bahkan sisi gelap yang dipotret Melville, katanya, memiliki suasana alam yang primitif dan berunsur. Tapi kini, "perubahan yang terjadi mencerminkan adanya pengacauan sistem ekonomi modern, pendidikan modern, nilai-nilai dan harapanharapan modern. Akibatnya: berakhirnya sejenis surga." Lalu Samoa, khususnya Samoa Barat, kini menjadi kawasan yang sangat gawat, men urut penulis yang sama. Dijangkiti kesulitan rumit yang menimpa sebuah negeri terkebelakang. Benar, negeri itu cukup tenteram dan primitif bagi ukuran Barat. Perempuan desa menghabiskan waktunya menganyam tikar pandan, atau mengeringkan kopra di bawah matahari. Toh rakyat Samoa bukan hanya berjuang untuk kesejahteraan ekonomi dan politiknya. Tapi juga bagi identitas dirinya, katanya. Secara tak semena-mena dan menggundahkan, masyarakat kepulauan yang rapuh itu telah luluh lantak di bawah kesewenangan pejabat tradisional dan infiltrasi kebudayaan Barat. Semakin banyaknya orang Samoa tinggal di luar negeri sendiri merupakan petunjuk kuat bahwa apa pun daya tarik negeri tropis itu, penduduk aslinya toh memilih lari. Secara umum, tekanan sosial lebih buruk di Samoa Barat ketimbang di bagian lain yang lebih kecil, Samoa Amerika. Samoa Barat punya angka rata-rata bunuh diri yang paling tinggi di dunia -- seperti juga di bidang kejahatan, defisit perdagangan, kegawatan politik, dan lenyapnya secara aneh kebanggaan akan nilai-nilai sejarahnya. Di bulan Maret tahun ini, Parlemen Samoa Barat, setelah debat panjang yang sengit, menerima pengurangan anggaran belanja yang cukup mencemaskan -- sambil menaikkan pajak terhadap 157 ribu penduduknya. Anggaran tampaknya konsisten dengan syarat-syarat yang digariskan Dewan Moneter Internasional, sehubungan dengan pinjaman baru yang kini sedang dirundingkan bagi pemulihan ekonomi dan keuangan negeri itu. "Anda kini membicarakan rakyat dari abad ke-11 dan ke-17 yang dikunjungi Margaret Mead, yang dalam masa dua dasawarsa dilemparkan ke abad ke-20," kata Felix Wendt. Dekan Fakultas Pertanian University of South Pacific ini adalah cucu seorang Jerman yang datang ke Kepulauan Samoa pada akhir abad lalu, menikah dengan wanita pribumi, dan menetap. "Orang Samoa 1925 dan 1945 sangat berbeda, karena kemajuan pendidikan," ujar Dr. Wendt. "Dan perbedaan antara Samoa 1945 dan sekarang lebih besar lagi." Pohon-pohon beringin tua berjajaran sepanjang jalan yang membelah Gunung Valima di pusat Pulau Upolu, Samoa Barat. Jalan itu menurun ke arah Apia yang menyuguhkan pemandangan menawan khas Pasifik Selatan. Di kejauhan, di tengah lautan yang luas dan kemerjap, sosok gersang Pulau Savaii -- lebih besar dari Upolu, namun hanya sebagian kecil dihuni penduduk -- tampak kabur. Langsung di bawah, tampak melalui tirai kehijauan, pelabuhan Apia. Di seberangnya, bukit-bukit karang yang memagari selingkar pulau. Keindahan alamiah dan lingkupan alam murni hanya sepenuhnya terlihat di 12 pulau Kepulauan Samoa. Kawasan itu terpisah dalam dua wilayah sejak awal abad ini. Wilayah yang lebih kecil, terdiri dari tujuh pulau mini dan secara kasar berpenduduk 32 ribu, berada di bawah pemerintahan AS sejak 1900. Departemen Dalam Negeri negara besar itu mensubsidi Samoa Amerika sekitar US$ 20 juta setahun. Samoa Barat, dulu bekas koloni Jerman dan berada di bawah pengawasan PBB dengan pengelolaan Selandia Baru, merdeka pada 1962 merupakan satu-satunya wilayah Pasifik Selatan yang berdiri sendiri. Menurut orang-orang Samoa sendiri, tidak ada perbedaan kultural antara kedua belahan Samoa itu. Keduanya didiami orang Polinesia sejak 3.000 tahun berselang, yang menurunkan bahasa, adat istiadat, dongeng, dan nilai-nilai budaya khas mereka. Karena lebih besar dan merdeka, Samoa Barat mewakili, bagi kebanyakan orang Samoa nasionalitas mereka di dewan-dewan dunia. Di antara bangunan buatan manusia yang paling nyata di Upolu adalah menara gereja yang putih gemerlapan. Bersama jalan-jalan yang menyerempet-nyerempet pantai, ia menjadi ciri khas desa mungil itu. Agama Kristen memang berpengaruh mutlak. Baik penduduk Samoa Barat maupun Samoa Amerika memeluk Kristen sejak 150 tahun berselang beberapa saat setelah John Williams, utusan Lembaga Pendakwah London dan penyebar Injil, tiba di Upolu pada 1830. Pemandangan yang menakjubkan di kedua Samoa muncul di pagi hari Minggu. Yaitu saat seluruh penduduk berkumpul di gereja. Gadis-gadis sekolah dalam rok hitam dan blus putih, wanita dengan busana berkembang-kembang berikut topi lebar, anak laki-laki dengan kemeja dan dasi, sementara kaum bapak memakai jas model Barat berikut lava-lava -- selempang model Samoa. Di banyak desa, kehadiran pengunjung di gereja tak lain karena menuruti perintah -- dikerahkan kepala kampung masing-masing. "Wewenang ini bisa berbenturan dengan kebebasan beragama yang dijamin undang-undang dasar modern," tulis Berstein. Sebuah kasus terjadi belum lama. Seorang sopir bis, bernama Tariu Tuivaiti dari Desa Falelatai di Upolu, menolak menghadiri kebaktian gereja. Ini segera menimbulkan perkara. Kepala desa menghukumnya, dengan melarang penduduk menggunakan bisnya. Tuivaiti lalu mengupah seorang pengacara, yang membuka praktek di Samoa Barat, untuk menggugat sang ketua RW. Pengadilan menerima tuntutannya, dan mengharuskan kepala desa membayar denda kepada Tuivaiti. Tapi perkara tidak dengan sendirinya selesai. Rumah Tuivaiti dibakar penduduk -- konon sesuai dengan adat setempat. Pertikaian antara hukum Barat dan kekuasaan tradisional kepala desa itu menyingkapkan betapa rumitnya peralihan alam tradisional ke era "modern" negeri kecil itu. "Kami sedang menjalani periode yang paling tragis," tutur Albert Wendt. Saudara laki-laki Felix Wendt adalah pengarang sejumlah novel tentang kehidupan orang Samoa, termasuk Sons for Return Home, merangkap guru besar sastra pada University of South Pasific di Fiji. "Negeri ini berada di keruntuhan politik dan ekonomi," tambahnya. Albert Wendt menunjuk serangkaian masalah yang biasa dibicarakan di Samoa Barat, yang semuanya mencerminkan usaha penyesuaian yang sulit terhadap "tantangan dunia modern". Secara ekonomis, misalnya, kepulauan kecil itu telah kehilangan banyak barang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Padahal dulu pernah diberkahi dengan hasil kelapa, talas, mangga, sukun, dan ikan, yang membikin orang Eropa terkagum-kagum dan ileran. Dalam tahun-tahun penjajahan Jerman, menurunnya gairah kerja orang Samoa di perkebunan-perkebunan yang dikelola asing mendorong kekuasaan kolonial memasukkan buruh kasar Cina. Dan mereka inilah yang kini menjadi tuan-tuan warung di Apia. Saat ini Samoa Barat mengimpor barang-barang konsumsi, makanan prosesan, mesin, dan bahan bakar minyak untuk pembangkit tenaga listrik. Jumlahnya terus menaik, sekitar tujuh kali dibanding nilai ekspornya -- terdiri dari kopra, buah sedap-sedapan, talas, dan pisang. Kebiasaan kepulauan itu untuk mengimportak ayal telah mengubah selera mereka sendiri -- dan menciptakan ketergantungan pada luar negeri. Coba. Kendati dikelilingi lautan (dan mana ada lautan tanpa ikan segar?) kumpulan orang Samoa itu lebih doyan ikan kaleng. Dan kalaupun mereka melaut, mereka ambil gampangnya -- meledakkan dinamit. Ini pada gilirannya merusakkan lingkungan dan tata ekologi kelautan setempat. Jumlah ikan semakin langka. "Tongkol kalengan dan corned heef, seperti atap seng bergelombang, telah menjadi bagian dari budaya dan rasa gengsi," kata Bernstein. Seiring dengan cara hidup baru ini, orang desa yang dulu tinggal di tepi laut kini pindah ke tempat yang lebih ramai -- di tepi jalan baru. Akibatnya kini penduduk menempati Kawasan tepi jalan dan pasar-pasar, di sekitar Apia. Defisit alat pembayaran luar negeri membuat negeri itu mengalami kelangkaan bahan makanan. Awal tahun ini koran-koran melaporkan, bahan-bahan sejenis cornedbeef, ikan tongkol, beras, dan mentega menghilang di pasaran. Suplai tepung, mentega dan sigaret tersedat-sendat. Sebagai akibat, begitu ada kabar burung bahwa tongkang barang baru masuk, para pembeli pontang-panting lari ke pasar -- untuk memborong. Menurut Biro Statistik Samoa Barat, jumlah impor melipat tiga antara 1976 dan 1981 -- dari US$23 juta ke US$70 juta. Ekspor memang meningkat juga, tapi jumlahnya pada 1981 hanya sekitar US$11 juta. Sementara itu indeks harga konsumen, 100 pada 1972, melaju ke-392,6 pada akhir 1981. Hanya uang yang dikirim pulang oleh mereka yang makin banyak tinggal di luar negeri merupakan faktor utama masih mendingannya keadaan ekonomi penduduk asli. Berkembang biaknya sekolah misi, yang berpadu dengan jaringan sekolah pemerintah yang cukup baik, menjadikan Samoa salah satu umat yang berpendidikan terbaik di antara negeri-negeri berkembang menurut ukuran Barat. Di antara 157 ribu penduduk Samoa Barat, tidak kurang dari 52 ribu merupakan kaum berpendidikan sekolah. Ini berarti sepertiga dari seluruh jumlah nyawa. Mereka terdiri dari pelajar sekolah dasar, menengah, dan lanjutan atas, menurut hitungan 1981. Tapi prestasi itu tidak didukung oleh perkembangan ekonomi -- yang tidak mampu menampung mereka pada pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. "Di antara kaum pengangguran, Anda bisa mendapatkan 30% di antaranya terdiri dari lepasan sekolah," kata Pito Faalago. Mengapa begitu? "Karena mereka dididik menjauhi sistem ekonomi desa," tambah editor mingguan Samoa Times itu. "Mereka dididik bukan untuk menanam talas atau kelapa di desa. Karena itu, muncul tekanan dan ketegangan saat Samoa harus melalui masa transisi dari ekonomi mencari nafkah ke suatu keadaan yang terbilang modern." Albert Wendt, sang novelis, berkata: "Orang-orang muda mencari jalan untuk hengkang. Mereka berpendidikan tinggi, tapi menganggur. Mereka tidak banyak melihat adanya hari depan di kampung halaman." Ia lalu meneruskan: "Negeri ini akan sangat gawat. Rakyat mulai marah. Anda tak bisa membeli apa pun di toko. Yang paling tragis adalah tingginya angka kematian karena bunuh diri. Negeri ini memanifestasikan dirinya dengan kebiasaan tragis itu." Melonjaknya tindak bunuh diri di Samoa Barat tampaknya memang sudah sampai pada tingkat yang gawat. Itu juga diungkapkan oleh sebuah penelitian tahun kemarin oleh kelompok peneliti gereja dan pemerintah. Pada 1970, menurut laporan itu, hanya delapan kasus bunuh diri per 100 ribu penduduk. Pada 1981 naik 49, dan pada 1982 35 kasus. Di antara orang muda usia 12-24 tahun, angka rata-rata bunuh dirinya tertinggi di dunia. Sebagian besar bunuh diri itu, kata Dr. John Bowles, psikiater Australia yang bekerja pada Rumah Sakit Nasional Apia, tampaknya merupakan tindakan impulsif. Sering-sering di bawah pengaruh alkohol -- yang segera diikuti perselisihan dengan orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Dan peningkatan yang tajam kasus bunuh diri itu seiring dengan cukup tersedianya paraquat, cairan reramuan beracun, yang juga bisa didapat di ladang-ladang marijuana di Meksico. Menurut Dr. Bowles, penelitian lebih mendalam diperlukan, agar alasan klinis yang benar dapat ditarik dari kasus bunuh diri. Paraqua, bagaimanapun, kini menjadi alat paling lazim untuk bunuh diri. "Di antara mereka yang melakukan tindak bunuh diri," kata Dr. Bowles, amat sedikityang menunjukkan gejala-gejala awal" Alias sekadar nekat dan sableng. Toh Dr. Bowles dan orang-orangnya sempat mengemukakan faktor depresi dan rasa ketidakpastian orang muda sebagai penyebabnya. Tidak tersedianya kesempatan yang cukup bagi anak-anak muda berpendidikan, pengaruh luar yang diterima selama bepergian di luar negeri, ditambah bioskop dan televisi. Semua itu kemudian berpadu dengan merosotnya otoritas tradisional dan meningkatnya konflik antara angkatan muda dengan kaum tua. Dan, tentunya, tidak tersedianya bekal rohaniah dalam diri sebagai penolak atau penyaring serangan Barat" rohani-jasmani. Emigrasi besar orang-orang muda Samoa ke Selandia Baru, Australia, dan Hawaii, tidak hanya cerminan dari besarnya pengaruh negeri-negeri besar yang makmur ketimbang Samoa kecil yang terpencil. Tetapi juga dari anggapan keluarga sendiri, bahwa yang tidak bisa ke luar negeri dan mengirim uang ke kampung, kurang pantas dihargai. "Penjelasan saya tentang kasus bunuh diri ini adalah: kepribadian orang Samoa paling terkontrol dan paling rasional," kata La Tagaloa Pita. Camat dan anggota parlemen tiga kali beruntun ini menambahkan, "tapi orang Samoa juga bisa tiba-tiba ganas, rapuh -- dan dalam kerapuhan itu bisa mendadak bertindak di luar kemauannya yang sebenarnya." La Tagaloa Pita, bertubuh tegap dan pernah belajar di AS, berkata pula bahwa bunuh diri sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Samoa. Tapi ia mengakui bahwa paraquat sebenarnya merupakan penyebab utama meningkatnya tindak bedebah itu. "Kasus bunuh diri sering bersumber dari kegagalan sosial, tidak mampu melakukan apa yang ia harap sanggup dilakukannya," katanya. Itu menjadi daya dorong pada saat tertentu, bukan melalui suatu persiapan sebelumnya. Jika Anda memiliki sepotong tali atau hamparan ngarai yang curam, Anda memiliki waktu untuk menimbang-nimbang kembali. Sedang reramuan memang lebih cocok untuk suatu keputusan fatal yang mendadak. Tinggal mengangkut gelas, dan modar. Di tepi Apia, di seberang jalan dari kolam permandian yang terkenal, ada sebuah bangunan bundar yang ber-AC. Dindingnya dari kaca. Atapnya berbentuk kubah. Konon itulah contoh arsitektur Samoa yang modern. Disebut Fono, gedung itu menjadi tempat bertemunya para kepala desa -- sebuah parlemen beranggotakan 47 orang. Di sinilah segala tata cara dan aspirasi demokrasi modern mencoba menyatu dengan hukum otoriter berdosis tinggi. Fono dipilih bukan melalui pemungutan suara secara umum, tetapi oleh 16 ribu kepala kampung atau suku yang disebut matai. Pita sendiri, si camat tadi, memakai istilah mataisme untuk menggambarkan sistem politik Samoa -- sesuatu yang menjadi rusak oleh pemecahbelahan dalam parlemen, dan oleh berjangkitnya penyogokan dalam usaha menggolkan calon. Dalam bentuknya yang ideal, kata Le Tagaloa Pita, sistem matai menjelmakan kekuatan jaringan tradisional keluarga Samoa yang besar. "Di Samoa," menurut dia, "seseorang memiliki sesuatu. Setiap kepala adalah pewaris suatu gelar, dan mewarisi suatu gelar berarti mewarisi tanah. Setiap keluarga memiliki gelar, karena itu seorang matai adalah pewaris yang terpilik di antara para pewaris." Kepala suku atau desa, umumnya laki-laki, dipilih di antara anggota keluarga besar. Ia berwewenang sebagai tuan kepala yang mengatur atau menimbang berbagai masalah desa -- termasuk pendistribusian tanah dan rumah tinggal, kepada kaumnya. Di Samoa Amerika, yang saling mewariskan nilai-nilai dan tradisi dengan Samoa Barat, kekuasaan matai telah diserap oleh demokrasi gaya Amerika dengan dua lembaga legislatif. Yaitu majelis rendah yang dipilih melalui pemilihan umum, dan majelis tinggi yang dipilih hanya oleh para kepala desa. Gubernur dan wakil gubernur dipilih oleh seluruh penduduk berusia 18 tahun ke atas. Namun demokrasi konstitusional sering dibuat linglung oleh gerombolan kepala desa yang terbiasa otoriter itu. Di desa-desa, di kedua Samoa itu, acap sang kepala desa yang menentukan hitam-putihnya suatu persoalan. Di Desa Tau, misalnya, kehidupan sebagian besar menggelinding di bawah pengawasan kaum agama. Setiap hari pada tiap lonceng subuh, sa, yang berarti suci, berbunyi, itulah saatnya melakukan doa pagi. "Pada hari Minggu saya bertamu ke rumah Pola Imu," Bernstein bercerita untuk memberi contoh. "Warga Amerika yang beberapa tahun tinggal di California, sebelum kembali menetap di Samoa itu, berkata bahwa ia telah meminta izin pastor agar dapat menemaniku berjalan-jalan di pulau." Jadi pastor pun masih suka memegang izin jalan-jalan. Tiga malam dalam seminggu, seluruh desa berkumpul untuk latihan paduan suara. Jika tidak hadir, ada hukuman dari kepala desa. Pada setiap pukul 10 saban malam, kembali lonceng berdentang menandakan awal berlakunya jam malam. Para kepala desa lalu mengadakan ronda sampai dinihari untuk meyakinkan diri bahwa tak ada pelanggaran terjadi. Namun tak ayal, di malam Bernstein bermalam di Tau, ia melihat selusin kepala desa berkumpul di puskesmas untuk menonton film Tora, Tora, Tora yang diputar di video milik dokter. Film Jepang itu memang mengambil cerita Perang Dunia ke-2, yang konon berlangsung di sekitar kawasan Pasifik Selatan. Pola Imu berkata: "Lonceng pada pukul enam pagi menandakan waktu mengucap syukur kepada-Nya, bahwa Tuhan telah memberkahi keselamatan pada hari sebelumnya. Mengenai jam malam, dimaksudkan agar para muda-mudi tidak gentayangan, hingga mereka bisa bangun pagi-pagi benar." Di Samoa Amerika ada gerakan, khususnya di kalangan para kepala desa, untuk menggalakkan dipatuhinya secara keras faa -- Samoa aturan Samoa. Konon tak sebatang hidung mendukungnya. faa Samoa, menurut Pola Imu, merupakan perlambang dan tata upacara kehidupan Samoa. "Misalnya, menolak upacara perkawinan a la Amerika," tuturnya. Menurut penduduk desa lainnya, ini menandakan kurangnya perbawa pemerintah di Pago Pago, dan kurang relanya mereka terhadap pemberlakuan hukum konstitusional. Tahun silam, misalnya, pemerintah menolak imbauan penduduk Desa Tau agar mengganyang penduduk yang ingin bergabung dengan gereja baru yang bernama Majelis Tuhan. Mereka ingin agar Gereja Kristen Jemaat menjadi satu-satunya lembaga keagamaan yang diizinkan di Tau. Tak ayal, keputusan Pago Pago yang memberi kebebasan beragama itu merupakan pukulan keras terhadap otoritas keagamaan yang selama ini mereka nikmati. Di Samoa Barat, sebaliknya para kepala desa memegang kendali kekuasaan yang besar. Ini karena lembaga legislatif uni cameral hanya dipilih oleh mereka. Tapi pada gilirannya, kata sejumlah orang Samoa, karena kekuasaan para kepala desa itulah "Samoa sarat tenggelam dalam penyuapan." Para kepala suku menerima "hadiah" dari calon anggota parlemen -- untuk dukungan suara yang diharapkan. Jika Anda ingin dipilih, undanglah para kepala. Jamu mereka dengan bir, sigaret, dan uang," kata seorang anggota parlemen -- sambil mereguk bir di sebuah warung minuman. "Jika Anda tak punya uang, jangan berharap bisa terpilih. Tapi jika Anda membelanjakan seluruh uang Anda, jangan harap bisa terpilih kembali esok." Jadi pandai-pandailah memanfaatkan uang, gobang demi gobang. Le Tagaloa Pita mengeluh: "Sistem politik kami menjadi mirip sogok-menyogok di lapangan sepak bola." Benar itu, penyogokan dan debat soal anggaran belanjalah yang membawa perubahan cepat dalam pemerintahan Samoa Barat tahun kemarin. Setelah satu pemilihan tahun lalu, sekitar dua puluh petisi tentang anggaran belanja masuk agenda, tiga di antaranya mendapat dukungan. Kasus paling penting adalah terpilihnya perdana menteri baru, Vaai Kolone, yang terpaksa angkat kaki dari kantornya setelah Dewan menyatakan pemilihan tidak sah. Tapi Vaai Kolone, yang dituduh terlibat penyogokan itu, anehnya belakangan bisa kembali menjadi anggota parlemen melalui pemilihan ulangan. "Itulah masalah yang sedang kita bicarakan bersama," kata Faalogo dari Samoa Times, menunjuk soal korupsi di Samoa. "Dan itu merupakan bagian yang berkaitan dengan perubahan dari sistem kepala desa ke sistem pemerintahan nasional." Sebuah pemecahan, seperti disebut Faalogo dan rekan-rekannya, mungkin berupa suatu hak pilih secara umum -- kendati mungkin ditentang para kepala desa. "Jika Anda memiliki 5.000 orang di sebuah desa dan 400 kepala desa, lebih mudah membeli 400 kepala desa itu ketimbang 5.000 penduduknya," katanya. Ia menambahkan, ketegangan yang menggawat di Samoa, khususnya antara muda dan kaum tua, akan muncul jika para kepala desa mencoba meneruskan cara-cara lama. "Kukira kami sedang melalui proses yang menyakitkan," kata Faalogo. "Lagi-lagi orang-orang muda yang kembali dari Selandia Baru jemu dengan cara-cara lama". "Misalnya," katanya lagi, "di desa seorang pemuda harus duduk merunduk-runduk ketika berbicara dengan orang tua, terutama kepala desa. Itu tampaknya persoalan sepele, tapi cukup menjadi ganjalan bagi kalangan yang pulang setelah menyerap gagasan-gagasan modern di luar negeri. Itulah perkara yang bisa jadi gara-gara bagi sementara orang sekarang ini." * * * * John Kneubuhl lahir di Samoa Amerika dan lulusan Yale University. Ia pulang kampung untuk mengepalai program penelitian Samoa di universitas setempat -- setelah menjalani karier penulis skenario di Hollywood. Akhir-akhir ini si John banyak berbicara tentang perubahan yang terjadi di kepulauan itu setelah melalui beberapa generasi. "Hanya sedikit dari kami yang betah tinggal," kata Kneubuhl, lelaki ramping 63 tahun. "Kami adalah milik generasi Samoa yang harus enyah di tengah masa transisi yang pesat dan ganas." Katanya, sampai akhir Perang Dunia ke-2, Samoa, di bawah kawalan Marinir AS, sebagian besar tetap terisolasi. Padahal sebagian besar memeluk agama Kristen yang konon bercitra Barat yang modern. Membandingkan kenangan masa kecilnya dengan kehidupan orang Samoa sekarang, Kneubuhl berujar: "Pertalian kami dengan hal-halyang elementer dulu lebih akrab." Penggambaran Dr. Margaret Mead tentang kehidupan seksual yang bebas dari suku Manua, dinilainya memang sesuai dengan kenangan masa kecilnya. "Kuingat nenekku pernah bercerita tentang makhluk yang setengah anjing setengah babi. Pernah kudengar pembicaraan hangat tentang hal yang harus terjadi untuk menciptakan binatang jenis itu," tutur Kneubuhl. "Mereka membicarakannya secara terbuka, sampai hal sekecil-kecilnya dan tanpa rasa rikuh oleh hadirnya anak-anak. Mereka bicara tentang hal-hal ajaib dunia dan pertaliannya dengan diri mereka. Satu di antara yang ajaib itu adalah hubungan seks." 'Kami anak-anak berdiri di tepi dunia dewasa, katanya lebih jauh. 'Kami melihat kelahiran, kematian. Masih kuingat dengan segarnya saat seorang dukun mengusir hantu. Kami dapat mendengarkan keluarga membicarakan urusan perceraian. Tak ada yang disembunyikan dari kami." Orang-orang Samoa lainnya, berkenaan dengan debat yang timbul karena kritik Derek Freeman terhadap Dr. Mead, membantah bahwa keakraban orang Samoa terhadap unsur kehidupan lebih merupakan mitos sejarah ketimbang realitas. Banyak di antara orang Samoa juga menyerang kesimpulan Dr. Mead bahwa hubungan seksual di antara mereka tanpa memilih dan menimbang-nimbang, tanpa suatu kendali dari kode-kode seksual atau kaidah sosial. "Jika mempercayainya," kata Aiono Fanaafi, pembantu rektor Universitas Samoa, "Anda tentu meyakini kami sebagai binatang ataupun dewa." "Margaret Mead adalah pewaris tunggal mitos romantis Laut Selatan," ujar Albert Wendt, si pengarang. "Ia datang ke mari dengan citra itu di kepalanya, dan ia tak pernah ingkar." "Hidup di sini sukar," tambahnya. "Bahkan bagi yang datang untuk ongkang-ongkang. Misalnya, mereka yang datang dari Amerika atau Eropa untuk sekadar melihat matahari, pohon kelapa, buah sukun, dan sebagainya, yang sekilas tampaknya bagi orang Barat -- seperti kehidupan di surga." Dan akhirnya, perdebatan seperti itu menyodorkan sejumlah permasalahan mendasar bagi pemikiran sosial dan kebijakan sosial, seperti ditulis Bernstein. Setelah Margaret Mead, melalui penelitian itu, berhasil "memasang merk" tentang diri dan temuannya, perbincangan melibatkan kepentingan yang berkaitan dengan alam dan pelestariannya serta perkembangan psikologis satu kaum. Suatu ketika, Rupert Brooke mengirim surat ke kampung halamannya di Inggris. Saat itu ia baru saja menonton tarian yang dipertunjukkan di kapal yang ditumpanginya, oleh laki-laki dan wanita Samoa yang telanjang dada. "Sangat menggetarkan, hangat, dan liar," tulisnya dengan girang. Rupa-rupanya ia terkesima oleh pesona tubuh licin berminyak para penarinya. "Aku seperti mendengarkan jeritan serak parau yang ganjil dari belantara purba, yang menelusup ke dalam tubuhku, lalu bangun terjaga." Pernyataan yang senada datang juga dari Henry Adams. Adegan itu, katanya, "memberikan begitu banyak kesegaran kepada dunia fantasi kita, bahwa tak ada pengalaman masa-masa datang mana pun yang mampu membuat kita baru kembali. " Tetapi, "tidak ada jeritan serak parau yang ganjil dari belantara purba yang bangkit dalam diriku ketika berada di Samoa," tulis Bernstein mengejek. "Dan aku tidak akan percaya. Mungkin karena aku kurang romantis seperti Brooke, atau kurang merunduk-runduk menyaksikan keprimitifan yang menjulang perkasa." "Kita semua ingin mengalami masa purba," lanjut Bernstein. "Tapi banyak ketakjuban kita akan Pasifik Selatan berasal dari sebuah harapan bahwa suatu makhluk entah berantah pernah hidup di dalam harmoni. Dan merasakan kenyamanan unsur kehidupan, yang disebut Adams sebagai "ketelanjangan umum" yang tampaknya begitu alamiah. Sayangnya, kata Bernstein, semua itu tidak ditemukan di Samoa. "Barangkali tidak di suatu tempat pun Seluruh dunia sudah menjadi 'modern'."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus