SEORANG tukang batu ditanya, apakah ia cukup puas dengan
pekerjaannya. "Lho, bila semua orang menjadi insinyur, lantas
siapa yang bikin tembok," jawabnya. Itu memang hanya terjadi
dalam sebuah lelucon. Tapi cukup menggambarkan betapa perlunya
semua jenjang ketenagaahlian diisi.
Maka pada 1968 Departemen P & K menetapkan dua jalur pendidikan
di perguruan tinggi: jalur gelar dan jalur diploma. "Yang
pertama untuk menciptakan tenaga berpotensi mengembangkan ilmu
dan teknologi," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof.
Dr. Doddy Tisna Amidjaja. "Yang kedua, untuk menghasilkan tenaga
terampil yang bisa memanfaatkan ilmu dan teknologi dengan
praktis."
Program diploma kini ternyata berkembang di beberapa universitas
negeri, bahkan sejak Juni yang lalu UGM dan Undip, Semarang,
meresmikan program diplomanya menjadi fakultas. Maka Pendidikan
Ahli Teknik UGM tak lagi berada di bawah Fakultas Teknik UGM,
tapi berdiri sendiri sebagai Fakultas Nongelar Teknologi (FNGT)
UGM. Demikian pula Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan
(PAAP) yang semula dikelola Fakultas Ekonomi, menjadi Fakultas
Nongelar Ekonomi (FNGE). Dan Sabtu pekan lalu FNGE itu
mengadakan upacara wisuda untuk lulusannya untuk kesekian
kalinya. Yang segera menyusul memfakultaskan program diplomanya
ialah Unair, Surabaya.
Perubahan menjadi fakultas itu tentulah untuk lebih
mengembangkan program diploma, juga mungkin untuk lebih
memancing lulusan SMA. Soalnya, "kita belum bisa bangga bahwa
program ini diminati betul," kata Ir. Daruslan, Dekan FNGT UGM.
Karena baik di UI, ITB, IPB, ITS, Unair, dan Undip, misalnya,
program diploma masih menjadi pilihan kedua atau ketiga.
Sehingga boleh dikata mahasiswa program diploma ialah mereka
yang telah gagal menempuh tes Proyek Perintis (PP) I dan PP III.
Padahal lulusan program diploma sebenarnya mempunyai keuntungan
sendiri. Purwoto, misalnya, lulusan program diploma PAAP Unair,
1980, yang kemudian langsung bekerja di Unilever Surabaya, tak
mengalami kesulitan apa pun. "Yang saya kerjakan di sini persis
sama dengan yang saya pelajari di PAAP," katanya. Dan itulah
sebenarnya keuntungan program diploma. "Kami siap pakai di
pasaran kerja, karena itu gampang cari pekerjaan," kata Bakhtiar
Indra Lubis, mahasiswa PAAP USU, Medan.
Yang dikuliahkan dalam program diploma memang lebih ccndong
pada hal-hal yang praktis. Di Program Diploma Bahasa FSUI,
misalnya, mata kuliah seperti teori sastra linguistik, sejarah,
dan kebudayaan tak dipentingkan benar. Keterampilan berbahasa
dan menerjemahkanlah yang ditekankan. Juga di FNGT, dalam kuliah
Matematika rumus-rumus langsung diberikan untuk digunakan
menghitung, bukannya diajarkan untuk dikaji bagaimana
terbentuknya rumus-rumus itu.
Tapi tak berarti kuliah yang menekankan pada segi praktis lebih
mudah dibanding kuliah yang bobot ilmiahnya tinggi. Buktinya,
tidak semua dosen mampu mengajar di program diploma.
"Dosen-dosen senior yang sudah terbiasa memberi kuliah dengan
bobot ilmiah tinggi," tutur Prof. Dr. Marsetio Donosepoetro,
Rektor Unair, "akan tak cocok mengajar di program diploma." Dan
masalah dosen inilah yang masih tetap menjadi problem pada
pendidikan program dlploma yang ada sekarang.
Program diploma di ITS, yang mempunyai enam jurusan, hanya
memiliki 14 dosen tetap. Sementara dosen lainnya, sekitar 50
orang, merupakan dosen honorer. "Jarang yang mau menjadi dosen
khusus untuk program diploma," kata Ir. Hariono Sigit, Rektor
ITS. Bahkan di FNGT Undip, Semarang, karena kurangnya dosen,
kuliah jurusan Mesin dan Elektro sering kosong. Soalnya
kebanyakan dosen di FNGT Undip diambilkan dari para pegawai PLN
dan Kantor Pekerjaan Umum setempat, yang sebenarnya sudah sangat
sibuk, cerita Ir. Marimin Sumardjo, Pembantu Dekan I FNGT Undip.
Tapi sebenarnya kebijaksanaan pihak Undip merekrut tenaga ahli
dari luar, tepat. Sebab, seperti dikatakan Rektor Unair,
idealnya dosen program diploma adalah mereka yang berpengalaman
di lapangan.
Dilihat dari masalah pengadaan dosen, program diploma memang
harus berpikir luas. Agak berbeda dengan Politeknik yang
sebenarnya juga merupakan program nongelar -- program diploma
memang harus mencukupi diri sendiri. Sedangkan Politeknik, yang
merupakan program Departemen P & K di enam perguruan tinggi (UI,
ITB, Unsri, USU, Undip, dan Unibraw), masih berstatus proyek dan
dibantu oleh Bank Dunia.
Tapi keuntungan program diploma -- baik sebelum maupun sesudah
menjadi fakultas tersendiri -- pun ada. Antara lain, tak perlu
mengadakan fasilitas seperti laboratorium dan ruang praktek
sendiri. Mahasiswa program diploma berhak pula menggunakan
fasilitas yang dimiliki universitasnya. Misalnya, mahasiswa PAAP
bisa sepenuhnya memanfaatkan perpustakaan Fakultas Ekonomi, dan
mahasiswa program diploma Bahasa bisa memakai laboratorium
bahasa fakultas sastra.
Toh, citra program.diploma di mata Bakhtiar Lubis dari PAAP USU
tetap di bawah program gelar. Mengapa? "Pendaftaran dan tes
masuk program diploma yang dilakukan sesudah pendaftaran dan tes
masuk proyek perintis, memberi kesan ini sekolah pelarian,"
katanya. Tapi pelarian atau bukan, minat lulusan SMA masuk
program diploma yang memiliki masa pendidikan dua sampai tiga
tahun itu, meningkat. PAAP di Unpad, misalnya, yang berdiri pada
1974, hingga 1976 hanya menjaring mahasiswa kurang dari 100.
Tapi sesudah tahun itu jumlah calon mahasiswa mencapai angka
lebih dari 500. Bahkan pendaftar tahun ini lebih dari tiga ribu.
Padahal daya tampung PAAP Unpad tetap saja sekitar 250
mahasiswa.
Dan bagi mahasiswa program diploma jurusan teknologi, ITS
memberi kesempatan untuk pindah rel, pada jalur gelar.
Syaratnya, sudah bekerja minimal 2 tahun, tambah lulus tes,
tentu saja. "Tidak tertutup kemungkinan ada mahasiswa program
diploma yang berprestasi tinggi," ujar Rektor ITS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini