Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Drama gajah-gajah kenya

Kelestarian gajah di taman nasional tsvo, kenya, terancam. banyak gajah mati karena kekurangan makan akibat pesatnya perkembangan populasi gajah tersebut. (sel)

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH sulit membayangkan hari depan pelbagai binatang langka, yang kini sedang tergusur di mana-mana. Banyak pendapat mengatakan, puluhan jenis binatang terancam oleh para pemburu liar yang memang keterlaluan. Misalnya, memburu gajah sekadar untuk mendapat gading. Tidak dinyana, tiba-tiba terdengar suara yang agak istimewa. Katanya: "Penjahat sebenarnya ialah pemerintah, beserta kaum yang beranggapan perlunya tempat perlindungan bagi binatang liar." Nah. Tokoh oposan ini kebetulan bukan orang sembarangan. Dia, Ian Parker, telah menghabiskan sebagian besar masa mudanya mengurus gajah, terutama di Taman Nasional Tsavo, Kenya. Di situ, katanya, bertimbun tulang rahang gajah yang mati karena lapar. "Mereka mati lantaran makanan habis, akibat pesatnya perkembangan populasi gajah itu sendiri." Parker menuliskan pengalaman dan kesaksiannya itu dalam bukunya The Ivory Gisis, seperti dikutip The Sunday Times Magazine Juni yang lalu. * * * * Hanya sedikit orang yang setara dengan Ian Parker dalam bab gajah dan gading. Ian, lahir 1936, tinggal di Kenya tidak kurang dari 25 tahun. Ia hidup sebagai pemburu, penjaga cagar alam, dan penasihat bidang kehidupan satwa liar. Dalam lingkungan kehidupan terakhir itu ia dianggap seorang "pembangkang", tokoh kontroversial yang cenderung membangkitkan emosi. Ia mengecam kaum konservasionis dari Dana Satwa Liar Dunia. Tapi pandangannya dihargai banyak orang -- bahkan para kritikus yang sering mengecamnya dengan pedas. Bukunya The Ivory Crisis pasti menimbulkan kecemasan di kalangan konservasionis. Karya ini mengipas kembali bara lama di sekitar etika pemisahan gajah ke dalam taman nasional. Tetapi bagian yang sangat menarik ialah gambaran salah satu tragedi cagar alam modern, sebuah episode tempat Parker sendiri terlibat sangat dalam. Yaitu dalam kasus Tsavo. Tsavo adalah taman nasional terbesar di Kenya. Hamparan belukar dan belantara yang kerontang, seluas Wales di Inggris. Pada 1950, taman ini salah satu di antara tiga taman terpenting di seluruh Afrika, terutama untuk gajah dan badak hitam. Sebagian besar tanahnya datar, merah, dan berdebu. Ada pula bagian yang gundul dan berbukit-bukit, diselang-selingi pepohonan beobab (Ndansona Digita) yang aneh bentuknya. Orang Afrika biasa menggunakan daun pohon ini sebagai obat, sedang kulitnya untuk bahan pakaian. Tsavo juga memiliki padang semak berduri. Pokoknya, tiruan yang hampir sempurna dari pemukiman klasik para gajah. Dan memang keselamatan binatang itulah yang menjadi tujuan pembukaan Taman Nasional Tsavo di tahun 1448. Tapi belakangan ternyata tempat perlindungan ini berubah menjadi arena pembunuhan. Ia seperti memenuhi harapan para pemburu, pengumpul gading, mungkin juga para konservasionis. Sebelum taman itu didirikan, berburu sudah merupakan cara hidup suku-suku yang bermukim di sekitar situ. Tetapi dampak kebiasaan itu tidak begitu terasa bagi populasi gajah di sana. Pada 1948, peraturan memutuskan berburu sebagai suatu kejahatan. Usaha-usaha yang keras segera dijalankan untuk menghentikan kebiasaan itu. Hukuman yang dikenakan terhadap para pelanggar peraturan ini juga sangat berat. Orang di sana pernah dihukum delapan tahun gara-gara membunuh empat ekor gajah. Pada masa itu hampir semua pemburu gelap berasal dari dua suku: Kamba dan Waliangulu atau Wata. Gajah, badak hitam, dan leopard merupakan sasaran utama mereka. Berbeda dengan suku Kamba, yang selain berburu juga bercocok tanam dan menggalas, suku Wata hidup semata-mata dari berburu. Daerah permukiman mereka demikian keringnya, sehingga bila memaksakan diri bercocok tanam, mereka hanya akan memetik panen lima tahun sekali. Pada 1957 Ian Parker pertama kali berkenalan dengan suku ini. Ia ditunjuk sebagai penjaga suaka alam Kilifi Range. Jauh sebelum itu, ia sudah terpikat oleh mitologi gading, kemudian terpesona pada keahlian para Wata di semak belukar. Parker menaruh simpati atas nasib suku ini. Jika mereka dilarang berburu, mereka tidak akan bisa bertahan. Apa yang harus dilakukan? Beberapa orang mungkin bisa dipekerjakan sebagai pencari jejak atau penguliti binatang. Tapi jelas itu tidak cukup. Ia kemudian diminta melakukan semacam penelitian. Dan menemukan: kawasan sekitar 3.000 mil persegi, di sepanjang Sungai Galana, bisa dijadikan tempat perlindungan binatang -- yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai ladang perburuan suku Wata. Rencana itu pun dilaksanakan. Dari pengalaman terdahulu ternyata banyak kesalahan telah dibuat. Namun usaha kali ini dianggap suatu langkah yang berani, terutama dalam mengikutsertakan para pemburu alam dalam suatu gerakan konservasi modern. Suku Wata sudah dikenal sebagai para pemanah Kenya. Busur mereka yang panjang diakui sebagai satu di antara yang paling kuat. Berat busur itu kadang-kadang sampai sekitar setengah kuintal. Meski demikian, hanya bagian tubuh gajah yang lunak yang bisa dilukai senjata itu. Karena itu mereka mengandalkan racun yang dibubuhkan di mata panah. Racun ini mereka dapatkan dari pohon perdu acokanthera, yang berisi toksin, seperti pada dedaunan yang dipergunakan merangsang jantung. Dan memang kerusakan jantung yang dituju racun ini. Bayangkan: untuk membunuh seorang manusia saja hanya diperlukan 0,002 gram. Dan yang paling fatal, racun ini tidak punya penangkal. Panah suku Wata adalah senjata khusus yang dibuat dalam tiga bagian. Pertama bagian kepala yang tajam dan lebar. Kemudian bagian depan, terbuat dari kayu keras dengan lebar sekitar setengah inci. Permukaannya diukir kasar, sehingga mudah digunakan untuk meletakkan racun, dengan dosis sekitar 9 sampai 15 gram -- 70 kali lebih kuat dari yang dibutuhkan untuk membunuh seekor gajah seberat enam ton. Dan bagian paling akhir ialah tangkai, yang panjang selengan orang dewasa, dihiasi bulu pertama burung hering atau burung bangau marabu. Di tangan pemburu yang mahir, senjata ini sekali-kali tidak bisa dipandang sebagai barang primitif. Sekali sasaran masuk dalam jarak tembak -- paling ideal sekitar 20 langkah -- busur direntang dan anak panah dilepas ke perut gajah. Dengan bidikan yang tepat, anak panah itu akan bekerja seperti suntikan maut. Korban mati hanya dalam beberapa menit. Orang Wata memburu gajah untuk mendapat dagingnya. Tetapi juga untuk mengumpulkan gading, guna diperdagangkan. Memang, tidak semua gading mereka peroleh dari berburu: mereka ahli dalam menemukan gajah yang mati oleh sebab-musabab alam. Bahkan gading yang dikumpulkan dari binatang mati lebih banyak dari yang diperoleh dengan berburu. Ketika program antiperburuan liar dilancarkan, 1950-an, terdapat sekitar 10 pemburu Wata yang namanya menjadi legenda di wilayah sejak tepi Sungai Tana hingga perbatasan Tanganyika. Kini tidak banyak di antara mereka yang masih hidup. Salah seorang ialah Boru Magonzi, yang menyandang busur terberat yang dikenal suku Wata pada masa modern ini. Dalam perjalanan kariernya, Boru telah membunuh 12 ushos -- gajah dengan gading minimal 50 kg sebelah. Pemburu andalan lain suku Wata ialah Abakuna Gumundi. Rekornya tertinggi: membunuh tiga ekor ushos pada suatu pagi, hanya dengan tiga anak panah. Di antara ketiga binatang itu terdapat satu dengan sepasang gading hampir dua kuintal. Tetapi yang paling termasyhur ialah Galogalo Kafonde, seorang lelaki pemalu dan tertutup. Ia lahir sekitar 1920, dan sejak semula terkenal sebagai seorang penyendiri. "Bagai seekor kucing yang bertualang sebatang kara," kata Ian Parker dalam bukunya. Ia memulai kariernya dengan tiga anak panah -- masing-masing membunuh seekor antelop kudu, seekor jerapah, dan seekor gajah dengan gading 35 kg. Mendekati binatang-binatang itu di semak belukar bukan pekerjaan enteng, apalagi dengan maksud membunuh. Tiga kali Galogalo terhindar dari bahaya maut. Ia, misalnya, pernah terjepit di antara kaki gajah sendiri. Dalam waktu lebih seperempat abad, ketiga pemburu legendaris Wata ini diperkirakan masing-masing membunuh 1.000 sampai 2.000 ekor. gajah. Toh dibandingkan dengan hasil para pemburu liar dari Somalia, yang menyusup ke padang perburuan suku ini, jumlah di atas tidak sampai mengganggu populitas hewan raksasa itu. Sedang kerusakan yang diakibatkan pemburu Somalia pun masih lebih kecil ketimbang kerugian yang ditimbulkan gajah. Pada 1960, Ian Parker ditempatkan di Galana untuk memulai rencana pengelolaan binatang. Dari semula sudah terlihat, kawanan gajah telah menipiskan pepohonan di kawasan tersebut. Tetapi keadaan di Tsavo jauh lebih buruk. Di sana, areal luas yang tadinya berselimutkan hutan belukar dan semak, kini telanjang sama sekali. Tsavo memang cepat berkembang menuju keadaan yang mengkhawatirkan. Pada 1960 dan 1961 daerah itu dilanda musim kering yang dahsyat. Ratusan ekor badak mati lapar. Kawanan gajah telah menghabiskan semua persediaan makanan alami, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk si badak. Saat itu daerah ini diperkirakan memiliki 40.000 ekor gajah. "Suatu kenyataan yang sungguh ironis," kata Parker di dalam bukunya. "Tujuh tahun sebelum kampanye antiperburuan liar digalakkan, diduga gajah di sekitar Tsavo sudah hampir punah." Ternyata masih puluhan ribu. Kejadian yang menimpa Tsavo memang tak bisa dihindari -- bahkan sebenarnya sudah disadari sejak Tsavo dinyatakan sebagai taman nasional. Gajah-gajah yang 'dikandangkan' dalam batas-batas yang dibuat manusia itu dengan cepat berkembang biak, sehingga pada suatu waktu tidak lagi sepadan dengan luas daerah kehidupannya. Dengan cara ini gerakan konservasi dihadapkan pada suatu dilema: meneruskan usaha 'penamanan' atau tidak. Terdapat dua pandangan mengenai hal itu. Sebagian percaya, kalau manusia sudah melibatkan diri dalam proses alami dan ikut merusakkan keseimbangan, seharusnyalah jumlah gajah terus dikontrol sehingga tidak sampai mengusik kelestarian taman. Sebagian lagi lebih cenderung melepaskan binatang itu saja ke tengah alam. Sebab, kata mereka, "alam selalu bijaksana mengatur keseimbangannya sendiri." Alam di situ tentunya Tuhan. Pada 1964 Parker meninggalkan posnya di Galana. Ia mendirikan perusahaan sendiri, Wildlife Service. Dan nama ini kelak tidak bisa dipisahkan dari segala yang berhubungan dengan satwa liar di kawasan itu. Parker dengan teguh mempertahankan pendiriannya. "Ada suatu kekeliruan yang sudah telanjur menyebar luas," katanya. "Yaitu bahwa membunuh satwa liar sama sekali bertentangan dengan usaha melestarikan binatang itu." Apalagi bila pembunuhan itu dilakukan di taman nasional, tempat yang dianggap perlindungan terakhir. Senada dengan itu ialah perasaan tidak bermoral bila membunuh binatang untuk mendapat duit. "Di Wildlife Service," kata Parker, "kami tidak berurusan dengan pendapat seperti itu." Di negeri miskin seperti Afrika, para satwa itu harus membayar sendiri kelangsungan hidup mereka. Alasan "demi pariwista" boleh-boleh saja. Tetapi yang lebih penting, menurut Parker, taman nasional juga harus dipandang sebagai sumber pengadaan daging. "Dengan demikian tindakan taman nasional membunuh beberapa binatang untuk menyelamatkan lainnya sama sekali sah. Dan saya tidak bisa menjawab mengapa hewan yang terbunuh itu tidak boleh kita manfaatkan." Dalam pada itu gajah Tsavo terus berkembang biak. Dan merusakkan pepohonan. Penguasa Kenya tampak tidak mampu melakukan sesuatu. Mereka akhirnya meminta bantuan seorang ilmuwan Inggris, Dr. Richard Laws, untuk menjadi direktur Unit Riset Tsavo. Bersamaan dengan itu Wildlife Service diminta mengambil contoh gajah yang dipisahkan di Tsavo Timur. Dr. Laws dan David Sheldrick, penjaga Taman Nasional Tsavo, kebetulan teman-teman baik Parker. Mulanya di antara mereka segera tercipta kemauan baik dan saling menghargai. Tetapi tidak berlangsung lama. Mereka segera berbantah dan masalah pokoknya: bolehkah kelebihan jumlah hewan di suaka itu 'dipanen'. Laws membela pemilahan sekitar 2.400 gajah untuk keperluan riset ilmiah, sebagai dasar pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Tsavo. Sheldrick menentang. Ia yakin, di negeri miskin dan korup seperti Kenya, suatu 'panen' gajah akhirnya akan mengganggu keamanan. Orang akhirnya akan saling mengintai untuk memperebutkan gading. Akhirnya persoalan itu diselesaikan secara sengit. Laws diberhentikan, dan kebijaksanaan laissez-faire diteruskan. Para gajah pun melanjutkan kebiasaannya menumpas semak dan pepohonan. Pengunjung taman makin lama semakin ngeri. Berhektar-hektar tanah terbentang telanjang, tanpa sedikitpun kehijauan, bagai panorama medan perang Somme pada Perang Dunia I. Tak ada lagi keteduhan, tempat badak dan kawan-kawannya berlindung dan memuaskan kantuk. Tak ada pohon untuk antelop menggarukkan tubuhnya yang gatal. Binatang itu bagai lenyap ditelan bumi. Pada 1976, musim kering yang kejam kembali datang mengunjungi Kenya Timur. Ribuan gajah mampus. Menurut perhitungan David Sheldrick, tidak kurang dari 9.000 ekor gajah mati kering. Tetapi menurut Parker jumlah itu 15.000. Beberapa tahun kemudian, sebagian besar Tsavo telah berubah menjadi sahara. Dan suku-suku setempat mulai melihat lubang apa saja untuk mempertahankan hidup. Bukankah cerita tentang kematian ribuan gajah di taman nasional sudah tersebar ke delapan penjuru angin? Maka jadilah Tsavo semacam Eldorado tempat bertarung memperebukan gading yang terhampar di bawah matahari Afrika yang sengit. Siapa yang pertama kali menemukan gading, dialah yang berhak memilikinya. Setelah gading yang dipungut dari bangkai-bangkai gajah itu punah, para 'kolektor' mulai mengincar gading yang melekat di bibir binatang yang masih hidup. Perburuan berlangsung bagai pesta pora gila-gilaan, tidak ubahnya kompetisi bebas tanpa juri. Dari perbatasan utara Kenya yang terpencil, sampai ke Somalia, kemudian tersebar berita tentang musim yang garang, yang menghancurkan bukan saja tanah, melainkan juga ternak. Tinggal 250 ribu orang Somalia terlunta-lunta, lapar dan papa. Banyak yang kemudian menghindar dari Tanduk Afrika, pergi ke selatan, tergoda untuk menjadi kaya secara cepat berkat gading. Mereka kemudian terkenal sebagai shifta: bandit-bandit yang keras dan tangguh, dengan persenjataan yang tidak bisa diremehkan. Menurut Perserikatan Internasional Suaka Alam, harga gading yang melonjak pada awal 1970-an, seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah menimbulkan gelombang pembunuhan gajah dalam frekuensi yang belum pernah dikenal dunia. Banyak pedagang yang memperlakukan gading seperti emas, sebagai sarana pembendung inflasi. Pada masa itulah Parker sempat menjenguk gudang seorang pedagang, penuh sesak dengan gading, yang nilainya lebih dari US$ 1 milyar! Sebelumnya, dari perburuan seekor gajah orang paling banyak mengharapkan œ120. Tiba-tiba, di zaman perburuan massal itu, sepasang gading seberat 35 kg bisa mendatangkan keuntungan hampir sepuluh kali lipat. Nasib Tsavo pun memasuki babak yang paling tragis. Mengangkut segala macam senjata, mulai senapan Lee Enfield 303 sampai AK 47 modern dari Perang Ogaden, berduyun-duyun orang Somalia membanjiri Tsavo. Jumlahnya sampai ratusan. Mereka tidak saja menembak setiap badak dan gajah yang terlihat, tapi sekarang juga menggasak pemburu setempat. Pada akhir 1978 sudah sangat sulit mencari binatang di suaka Tsavo. Dan para pemburu liar pulang ke rumah masing-masing. Lenyapnya hutan belukar memang merupakan malapetaka untuk para gajah. Sebab seorang lelaki yang tidak dihalangi semak belukar bisa berlari lebih cepat ketimbang binatang tambun itu. Dan itulah yang membuat para pemburu Somalia bersuka cita. Mereka seenaknya saja berlari mengejar gajah buruan, dan menembak binatang itu dari jarak yang sangat dekat. Penderitaan Tsavo akhirnya selesai. Taman yang tadinya berpenghuni lebih 40.000 ekor gajah itu, kini tinggal dihuni sekitar 11.000. Taman yang diciptakan dengan idealisme cemerlang sekitar empat dekade lampau itu kini menjadi lembah debu, dan kuburan, bukan hanya untuk gajah, melainkan juga untuk suku Wata. Legenda para pemanah segera menjadi usang. Seperti juga lenyapnya para badak (yang menderita lebih parah ketimbang gajah), para pemanah itu pun akan segera berlalu. Galogalo Kafonde memang masih hidup. Bermukim dalam senyap di tepi Sungai Sabaki, kini tidak ada lagi yang tersisa untuk diburu pemanah tua itu. Dengan perlindungan yang keras, gajah-gajah akan berkembang biak lagi dalam waktu tidak terlalu lama. Tetapi badak hitam sudah telanjur punah. Demikian pula cara hidup para Wata. Panorama Tsavo mungkin saja kembali hijau seperti sediakala. Tetapi tempat itu tidak lagi patut dinamakan suaka gajah. Untuk Ian Parker sendiri, tempat ini menyimpan kenangan yang sulit terlupakan. "Dengan segala kedataran dan kekeringannya, tanah ini mempunyai arti magis," ujar Parker, di dalam bukunya Ivory Crisis. "Bila saya menengok ke masa lampau, saya senantiasa bertanya-tanya akan nasib para Wata. Apakah hasil program besar kita, untuk menyelamatkan mereka?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus