MASIH sulit membayangkan hari depan pelbagai binatang langka,
yang kini sedang tergusur di mana-mana. Banyak pendapat
mengatakan, puluhan jenis binatang terancam oleh para pemburu
liar yang memang keterlaluan. Misalnya, memburu gajah sekadar
untuk mendapat gading.
Tidak dinyana, tiba-tiba terdengar suara yang agak istimewa.
Katanya: "Penjahat sebenarnya ialah pemerintah, beserta kaum
yang beranggapan perlunya tempat perlindungan bagi binatang
liar." Nah.
Tokoh oposan ini kebetulan bukan orang sembarangan. Dia, Ian
Parker, telah menghabiskan sebagian besar masa mudanya mengurus
gajah, terutama di Taman Nasional Tsavo, Kenya. Di situ,
katanya, bertimbun tulang rahang gajah yang mati karena lapar.
"Mereka mati lantaran makanan habis, akibat pesatnya
perkembangan populasi gajah itu sendiri." Parker menuliskan
pengalaman dan kesaksiannya itu dalam bukunya The Ivory Gisis,
seperti dikutip The Sunday Times Magazine Juni yang lalu.
* * * *
Hanya sedikit orang yang setara dengan Ian Parker dalam bab
gajah dan gading. Ian, lahir 1936, tinggal di Kenya tidak kurang
dari 25 tahun. Ia hidup sebagai pemburu, penjaga cagar alam, dan
penasihat bidang kehidupan satwa liar.
Dalam lingkungan kehidupan terakhir itu ia dianggap seorang
"pembangkang", tokoh kontroversial yang cenderung membangkitkan
emosi. Ia mengecam kaum konservasionis dari Dana Satwa Liar
Dunia. Tapi pandangannya dihargai banyak orang -- bahkan para
kritikus yang sering mengecamnya dengan pedas.
Bukunya The Ivory Crisis pasti menimbulkan kecemasan di kalangan
konservasionis. Karya ini mengipas kembali bara lama di sekitar
etika pemisahan gajah ke dalam taman nasional. Tetapi bagian
yang sangat menarik ialah gambaran salah satu tragedi cagar alam
modern, sebuah episode tempat Parker sendiri terlibat sangat
dalam. Yaitu dalam kasus Tsavo.
Tsavo adalah taman nasional terbesar di Kenya. Hamparan belukar
dan belantara yang kerontang, seluas Wales di Inggris. Pada
1950, taman ini salah satu di antara tiga taman terpenting di
seluruh Afrika, terutama untuk gajah dan badak hitam.
Sebagian besar tanahnya datar, merah, dan berdebu. Ada pula
bagian yang gundul dan berbukit-bukit, diselang-selingi
pepohonan beobab (Ndansona Digita) yang aneh bentuknya. Orang
Afrika biasa menggunakan daun pohon ini sebagai obat, sedang
kulitnya untuk bahan pakaian. Tsavo juga memiliki padang semak
berduri. Pokoknya, tiruan yang hampir sempurna dari pemukiman
klasik para gajah.
Dan memang keselamatan binatang itulah yang menjadi tujuan
pembukaan Taman Nasional Tsavo di tahun 1448. Tapi belakangan
ternyata tempat perlindungan ini berubah menjadi arena
pembunuhan. Ia seperti memenuhi harapan para pemburu, pengumpul
gading, mungkin juga para konservasionis.
Sebelum taman itu didirikan, berburu sudah merupakan cara hidup
suku-suku yang bermukim di sekitar situ. Tetapi dampak kebiasaan
itu tidak begitu terasa bagi populasi gajah di sana. Pada 1948,
peraturan memutuskan berburu sebagai suatu kejahatan.
Usaha-usaha yang keras segera dijalankan untuk menghentikan
kebiasaan itu. Hukuman yang dikenakan terhadap para pelanggar
peraturan ini juga sangat berat. Orang di sana pernah dihukum
delapan tahun gara-gara membunuh empat ekor gajah.
Pada masa itu hampir semua pemburu gelap berasal dari dua suku:
Kamba dan Waliangulu atau Wata. Gajah, badak hitam, dan leopard
merupakan sasaran utama mereka.
Berbeda dengan suku Kamba, yang selain berburu juga bercocok
tanam dan menggalas, suku Wata hidup semata-mata dari berburu.
Daerah permukiman mereka demikian keringnya, sehingga bila
memaksakan diri bercocok tanam, mereka hanya akan memetik panen
lima tahun sekali.
Pada 1957 Ian Parker pertama kali berkenalan dengan suku ini. Ia
ditunjuk sebagai penjaga suaka alam Kilifi Range. Jauh sebelum
itu, ia sudah terpikat oleh mitologi gading, kemudian terpesona
pada keahlian para Wata di semak belukar.
Parker menaruh simpati atas nasib suku ini. Jika mereka dilarang
berburu, mereka tidak akan bisa bertahan. Apa yang harus
dilakukan? Beberapa orang mungkin bisa dipekerjakan sebagai
pencari jejak atau penguliti binatang. Tapi jelas itu tidak
cukup.
Ia kemudian diminta melakukan semacam penelitian. Dan menemukan:
kawasan sekitar 3.000 mil persegi, di sepanjang Sungai Galana,
bisa dijadikan tempat perlindungan binatang -- yang nantinya
bisa dimanfaatkan sebagai ladang perburuan suku Wata. Rencana
itu pun dilaksanakan.
Dari pengalaman terdahulu ternyata banyak kesalahan telah
dibuat. Namun usaha kali ini dianggap suatu langkah yang berani,
terutama dalam mengikutsertakan para pemburu alam dalam suatu
gerakan konservasi modern.
Suku Wata sudah dikenal sebagai para pemanah Kenya. Busur mereka
yang panjang diakui sebagai satu di antara yang paling kuat.
Berat busur itu kadang-kadang sampai sekitar setengah kuintal.
Meski demikian, hanya bagian tubuh gajah yang lunak yang bisa
dilukai senjata itu. Karena itu mereka mengandalkan racun yang
dibubuhkan di mata panah.
Racun ini mereka dapatkan dari pohon perdu acokanthera, yang
berisi toksin, seperti pada dedaunan yang dipergunakan
merangsang jantung. Dan memang kerusakan jantung yang dituju
racun ini. Bayangkan: untuk membunuh seorang manusia saja hanya
diperlukan 0,002 gram. Dan yang paling fatal, racun ini tidak
punya penangkal.
Panah suku Wata adalah senjata khusus yang dibuat dalam tiga
bagian. Pertama bagian kepala yang tajam dan lebar. Kemudian
bagian depan, terbuat dari kayu keras dengan lebar sekitar
setengah inci. Permukaannya diukir kasar, sehingga mudah
digunakan untuk meletakkan racun, dengan dosis sekitar 9 sampai
15 gram -- 70 kali lebih kuat dari yang dibutuhkan untuk
membunuh seekor gajah seberat enam ton. Dan bagian paling akhir
ialah tangkai, yang panjang selengan orang dewasa, dihiasi bulu
pertama burung hering atau burung bangau marabu.
Di tangan pemburu yang mahir, senjata ini sekali-kali tidak bisa
dipandang sebagai barang primitif. Sekali sasaran masuk dalam
jarak tembak -- paling ideal sekitar 20 langkah -- busur
direntang dan anak panah dilepas ke perut gajah. Dengan bidikan
yang tepat, anak panah itu akan bekerja seperti suntikan maut.
Korban mati hanya dalam beberapa menit.
Orang Wata memburu gajah untuk mendapat dagingnya. Tetapi juga
untuk mengumpulkan gading, guna diperdagangkan. Memang, tidak
semua gading mereka peroleh dari berburu: mereka ahli dalam
menemukan gajah yang mati oleh sebab-musabab alam. Bahkan gading
yang dikumpulkan dari binatang mati lebih banyak dari yang
diperoleh dengan berburu.
Ketika program antiperburuan liar dilancarkan, 1950-an, terdapat
sekitar 10 pemburu Wata yang namanya menjadi legenda di wilayah
sejak tepi Sungai Tana hingga perbatasan Tanganyika. Kini tidak
banyak di antara mereka yang masih hidup. Salah seorang ialah
Boru Magonzi, yang menyandang busur terberat yang dikenal suku
Wata pada masa modern ini. Dalam perjalanan kariernya, Boru
telah membunuh 12 ushos -- gajah dengan gading minimal 50 kg
sebelah.
Pemburu andalan lain suku Wata ialah Abakuna Gumundi. Rekornya
tertinggi: membunuh tiga ekor ushos pada suatu pagi, hanya
dengan tiga anak panah. Di antara ketiga binatang itu terdapat
satu dengan sepasang gading hampir dua kuintal.
Tetapi yang paling termasyhur ialah Galogalo Kafonde, seorang
lelaki pemalu dan tertutup. Ia lahir sekitar 1920, dan sejak
semula terkenal sebagai seorang penyendiri. "Bagai seekor kucing
yang bertualang sebatang kara," kata Ian Parker dalam bukunya.
Ia memulai kariernya dengan tiga anak panah -- masing-masing
membunuh seekor antelop kudu, seekor jerapah, dan seekor gajah
dengan gading 35 kg.
Mendekati binatang-binatang itu di semak belukar bukan pekerjaan
enteng, apalagi dengan maksud membunuh. Tiga kali Galogalo
terhindar dari bahaya maut. Ia, misalnya, pernah terjepit di
antara kaki gajah sendiri.
Dalam waktu lebih seperempat abad, ketiga pemburu legendaris
Wata ini diperkirakan masing-masing membunuh 1.000 sampai 2.000
ekor. gajah. Toh dibandingkan dengan hasil para pemburu liar
dari Somalia, yang menyusup ke padang perburuan suku ini, jumlah
di atas tidak sampai mengganggu populitas hewan raksasa itu.
Sedang kerusakan yang diakibatkan pemburu Somalia pun masih
lebih kecil ketimbang kerugian yang ditimbulkan gajah.
Pada 1960, Ian Parker ditempatkan di Galana untuk memulai
rencana pengelolaan binatang. Dari semula sudah terlihat,
kawanan gajah telah menipiskan pepohonan di kawasan tersebut.
Tetapi keadaan di Tsavo jauh lebih buruk. Di sana, areal luas
yang tadinya berselimutkan hutan belukar dan semak, kini
telanjang sama sekali.
Tsavo memang cepat berkembang menuju keadaan yang
mengkhawatirkan. Pada 1960 dan 1961 daerah itu dilanda musim
kering yang dahsyat. Ratusan ekor badak mati lapar. Kawanan
gajah telah menghabiskan semua persediaan makanan alami,
sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk si badak. Saat itu
daerah ini diperkirakan memiliki 40.000 ekor gajah. "Suatu
kenyataan yang sungguh ironis," kata Parker di dalam bukunya.
"Tujuh tahun sebelum kampanye antiperburuan liar digalakkan,
diduga gajah di sekitar Tsavo sudah hampir punah." Ternyata
masih puluhan ribu.
Kejadian yang menimpa Tsavo memang tak bisa dihindari -- bahkan
sebenarnya sudah disadari sejak Tsavo dinyatakan sebagai taman
nasional. Gajah-gajah yang 'dikandangkan' dalam batas-batas yang
dibuat manusia itu dengan cepat berkembang biak, sehingga pada
suatu waktu tidak lagi sepadan dengan luas daerah kehidupannya.
Dengan cara ini gerakan konservasi dihadapkan pada suatu dilema:
meneruskan usaha 'penamanan' atau tidak.
Terdapat dua pandangan mengenai hal itu. Sebagian percaya, kalau
manusia sudah melibatkan diri dalam proses alami dan ikut
merusakkan keseimbangan, seharusnyalah jumlah gajah terus
dikontrol sehingga tidak sampai mengusik kelestarian taman.
Sebagian lagi lebih cenderung melepaskan binatang itu saja ke
tengah alam. Sebab, kata mereka, "alam selalu bijaksana mengatur
keseimbangannya sendiri." Alam di situ tentunya Tuhan.
Pada 1964 Parker meninggalkan posnya di Galana. Ia mendirikan
perusahaan sendiri, Wildlife Service. Dan nama ini kelak tidak
bisa dipisahkan dari segala yang berhubungan dengan satwa liar
di kawasan itu.
Parker dengan teguh mempertahankan pendiriannya. "Ada suatu
kekeliruan yang sudah telanjur menyebar luas," katanya. "Yaitu
bahwa membunuh satwa liar sama sekali bertentangan dengan usaha
melestarikan binatang itu." Apalagi bila pembunuhan itu
dilakukan di taman nasional, tempat yang dianggap perlindungan
terakhir.
Senada dengan itu ialah perasaan tidak bermoral bila membunuh
binatang untuk mendapat duit. "Di Wildlife Service," kata
Parker, "kami tidak berurusan dengan pendapat seperti itu."
Di negeri miskin seperti Afrika, para satwa itu harus membayar
sendiri kelangsungan hidup mereka. Alasan "demi pariwista"
boleh-boleh saja. Tetapi yang lebih penting, menurut Parker,
taman nasional juga harus dipandang sebagai sumber pengadaan
daging. "Dengan demikian tindakan taman nasional membunuh
beberapa binatang untuk menyelamatkan lainnya sama sekali sah.
Dan saya tidak bisa menjawab mengapa hewan yang terbunuh itu
tidak boleh kita manfaatkan."
Dalam pada itu gajah Tsavo terus berkembang biak. Dan merusakkan
pepohonan. Penguasa Kenya tampak tidak mampu melakukan sesuatu.
Mereka akhirnya meminta bantuan seorang ilmuwan Inggris, Dr.
Richard Laws, untuk menjadi direktur Unit Riset Tsavo. Bersamaan
dengan itu Wildlife Service diminta mengambil contoh gajah yang
dipisahkan di Tsavo Timur.
Dr. Laws dan David Sheldrick, penjaga Taman Nasional Tsavo,
kebetulan teman-teman baik Parker. Mulanya di antara mereka
segera tercipta kemauan baik dan saling menghargai. Tetapi tidak
berlangsung lama. Mereka segera berbantah dan masalah
pokoknya: bolehkah kelebihan jumlah hewan di suaka itu
'dipanen'.
Laws membela pemilahan sekitar 2.400 gajah untuk keperluan riset
ilmiah, sebagai dasar pengelolaan jangka panjang Taman Nasional
Tsavo. Sheldrick menentang. Ia yakin, di negeri miskin dan korup
seperti Kenya, suatu 'panen' gajah akhirnya akan mengganggu
keamanan. Orang akhirnya akan saling mengintai untuk
memperebutkan gading.
Akhirnya persoalan itu diselesaikan secara sengit. Laws
diberhentikan, dan kebijaksanaan laissez-faire diteruskan. Para
gajah pun melanjutkan kebiasaannya menumpas semak dan pepohonan.
Pengunjung taman makin lama semakin ngeri. Berhektar-hektar
tanah terbentang telanjang, tanpa sedikitpun kehijauan, bagai
panorama medan perang Somme pada Perang Dunia I. Tak ada lagi
keteduhan, tempat badak dan kawan-kawannya berlindung dan
memuaskan kantuk. Tak ada pohon untuk antelop menggarukkan
tubuhnya yang gatal. Binatang itu bagai lenyap ditelan bumi.
Pada 1976, musim kering yang kejam kembali datang mengunjungi
Kenya Timur. Ribuan gajah mampus. Menurut perhitungan David
Sheldrick, tidak kurang dari 9.000 ekor gajah mati kering.
Tetapi menurut Parker jumlah itu 15.000. Beberapa tahun
kemudian, sebagian besar Tsavo telah berubah menjadi sahara.
Dan suku-suku setempat mulai melihat lubang apa saja untuk
mempertahankan hidup. Bukankah cerita tentang kematian ribuan
gajah di taman nasional sudah tersebar ke delapan penjuru angin?
Maka jadilah Tsavo semacam Eldorado tempat bertarung
memperebukan gading yang terhampar di bawah matahari Afrika
yang sengit. Siapa yang pertama kali menemukan gading, dialah
yang berhak memilikinya.
Setelah gading yang dipungut dari bangkai-bangkai gajah itu
punah, para 'kolektor' mulai mengincar gading yang melekat di
bibir binatang yang masih hidup. Perburuan berlangsung bagai
pesta pora gila-gilaan, tidak ubahnya kompetisi bebas tanpa
juri.
Dari perbatasan utara Kenya yang terpencil, sampai ke Somalia,
kemudian tersebar berita tentang musim yang garang, yang
menghancurkan bukan saja tanah, melainkan juga ternak. Tinggal
250 ribu orang Somalia terlunta-lunta, lapar dan papa. Banyak
yang kemudian menghindar dari Tanduk Afrika, pergi ke selatan,
tergoda untuk menjadi kaya secara cepat berkat gading. Mereka
kemudian terkenal sebagai shifta: bandit-bandit yang keras dan
tangguh, dengan persenjataan yang tidak bisa diremehkan.
Menurut Perserikatan Internasional Suaka Alam, harga gading yang
melonjak pada awal 1970-an, seperti yang belum pernah terjadi
sebelumnya, telah menimbulkan gelombang pembunuhan gajah dalam
frekuensi yang belum pernah dikenal dunia. Banyak pedagang yang
memperlakukan gading seperti emas, sebagai sarana pembendung
inflasi. Pada masa itulah Parker sempat menjenguk gudang seorang
pedagang, penuh sesak dengan gading, yang nilainya lebih dari
US$ 1 milyar!
Sebelumnya, dari perburuan seekor gajah orang paling banyak
mengharapkan œ120. Tiba-tiba, di zaman perburuan massal itu,
sepasang gading seberat 35 kg bisa mendatangkan keuntungan
hampir sepuluh kali lipat. Nasib Tsavo pun memasuki babak yang
paling tragis.
Mengangkut segala macam senjata, mulai senapan Lee Enfield 303
sampai AK 47 modern dari Perang Ogaden, berduyun-duyun orang
Somalia membanjiri Tsavo. Jumlahnya sampai ratusan. Mereka tidak
saja menembak setiap badak dan gajah yang terlihat, tapi
sekarang juga menggasak pemburu setempat. Pada akhir 1978 sudah
sangat sulit mencari binatang di suaka Tsavo. Dan para pemburu
liar pulang ke rumah masing-masing.
Lenyapnya hutan belukar memang merupakan malapetaka untuk para
gajah. Sebab seorang lelaki yang tidak dihalangi semak belukar
bisa berlari lebih cepat ketimbang binatang tambun itu. Dan
itulah yang membuat para pemburu Somalia bersuka cita. Mereka
seenaknya saja berlari mengejar gajah buruan, dan menembak
binatang itu dari jarak yang sangat dekat.
Penderitaan Tsavo akhirnya selesai. Taman yang tadinya
berpenghuni lebih 40.000 ekor gajah itu, kini tinggal dihuni
sekitar 11.000. Taman yang diciptakan dengan idealisme cemerlang
sekitar empat dekade lampau itu kini menjadi lembah debu, dan
kuburan, bukan hanya untuk gajah, melainkan juga untuk suku
Wata.
Legenda para pemanah segera menjadi usang. Seperti juga
lenyapnya para badak (yang menderita lebih parah ketimbang
gajah), para pemanah itu pun akan segera berlalu. Galogalo
Kafonde memang masih hidup. Bermukim dalam senyap di tepi Sungai
Sabaki, kini tidak ada lagi yang tersisa untuk diburu pemanah
tua itu.
Dengan perlindungan yang keras, gajah-gajah akan berkembang biak
lagi dalam waktu tidak terlalu lama. Tetapi badak hitam sudah
telanjur punah. Demikian pula cara hidup para Wata. Panorama
Tsavo mungkin saja kembali hijau seperti sediakala. Tetapi
tempat itu tidak lagi patut dinamakan suaka gajah.
Untuk Ian Parker sendiri, tempat ini menyimpan kenangan yang
sulit terlupakan. "Dengan segala kedataran dan kekeringannya,
tanah ini mempunyai arti magis," ujar Parker, di dalam bukunya
Ivory Crisis. "Bila saya menengok ke masa lampau, saya
senantiasa bertanya-tanya akan nasib para Wata. Apakah hasil
program besar kita, untuk menyelamatkan mereka?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini