BILA saat belajar bersama tiba, siswa SD Pamong akan berkumpul
menurut kelompok masing-masing. Tiap kelompok terdiri 3-7 siswa.
Mereka ada yang berkumpul di kelas, ada yang di bawah pohon di
halaman sekolah, di rumah, di Balai Desa, di mana saja. Lalu
mereka akan belajar dengan modul, untuk pelajaran yang mereka
tentukan sendiri.
Seorang tutor (pembimbing), teman mereka sendiri dalam kelompok
itu, kemudian akan memimpin semacam diskusi, untuk mengetahui
seberapa jauh mereka memahami pelajaran hari itu. Bila ada
kesulitan, dan baik tutor maupun anggota kelompok tak ada yang
bisa memecahkannya, kesulitan akan ditanyakan kepada Pembina
Pendidikan, semacam guru di SD biasa.
Itulah sistem belajar di 4 SD Pamong (Pendidikan Anak oleh
Masyarakat, Orangtua dan Guru) di Kecamatan Kebak Kramat,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dan di 26 SD Pamong di
Kabupaten Gianyar, Bali. Suatu sistem pendidikan yang menghemat
guru dan gedung sekolah, yang tidak terikat pada jadwal
pelajaran dan tempat belajar. Dan dalam Instruksi Presiden
No.7/1983 yang keluar bulan ini, dari 13 ribu lebih SD yang akan
dibangun guna menyongsong wajib belajar tahun depan, di
antaranya adalah SD Pamong itu.
Gagasan awalnya muncul pada permulaan 1970-an. Dalam sebuah
riset yang diselenggarakan oleh para ahli pendidikan se-Asia
Tenggara, disimpulkan anggaran pendidikan ternyata sebagian
besar tersedot untuk membayar gaji guru, pendidikan guru, dan
pensiun mereka. Cuma sekitar 20% saja biaya itu yang benar-benar
dipakai oleh anak didik.
Selain itu, banyak anak-anak di desa-desa Asia Tenggara ternyata
putus sekolah. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka tak
bisa bersekolah seperti biasa. Mereka harus membantu orangtuanya
justru ketika jam sekolah. Maka lahirlah di Indonesia sistem SD
Pamong, diterapkan di Kebak Kramat sejak 1974, dan di Gianyar
sejak 1977.
SD Pamong hanya membutuhkan seorang kepala sekolah, dan tiga
Pembina PendidikI an. Sebab seorang guru memegang dua kelas.
Tatap muka guru-murid tidak berlangsung tiap hari. Disyaratkan
minimal dua kali seminggu, yang waktunya bisa dirundingkan
dengan siswanya. Unik memang. Pertemuan itu selain mengontrol
sudah seberapa jauh siswa belajar, juga untuk memecahkan
kesulitan yang tak bisa dipecahkan oleh kelompok siswa. Pun,
untuk menyampaikan pelajaran yang tidak dimodulkan (misalnya,
agama, olah raga, dan keterampilan).
Bagi siswa kelas V dan VI SD Pamong, ada tugas tambahan. Ialah,
menjadi tutor untuk kelompok belajar siswa kelas I dan II. Tapi
ini hanya berlaku bagi mata pelajaran Bahasa Indonesia dan
Matematika. Pelajaran lain berlangsung klasikal dan diberikan
oleh Pembina Pendidikan tadi.
Proyek SD Pamong ini, juga memiliki Program Luar Sekolah (PLS)
untuk membina anak-anak putus sekolah. Seperti murid SD Pamong,
siswa PLS pun membentuk kelompok belajar. Cuma, yang menjadi
tutor bisa guru SD yang bertempat tinggal di daerah itu, atau
tokoh masyarakat yang dipandang bisa menjadi tutor. Dan kalau SD
Pamong muridnya adalah mereka yang berusia SD, umur siswa PLS
mulanya tak dibatasi. Tahun 1976, misalnya, dua bapak dari Desa
Alastuwo, Kebak Kramat, memperoleh STTB (Surat Tanda Tamat
Belajar) SD pada usia 34 dan 38 tahun. Tapi kini yang bisa
diterima di PLS SD Pamong maksimal berusia 19 tahun. Dan sampai
tahun ini SD Pamong Kebak Kramat telah meluluskan lebih dari 30
siswa PLS. Sementara dari 26 SD Pamong di Gianyar, telah
diluluskan lebih dari 260 siswa PLS.
Yang menarik, sistem pendidikan yang hingga tahun ini masih
dinyatakan sebagai proyek itu, kualitas anak didiknya tak kalah
dengan SD biasa. "Anak-anak kami dapat bekerja sendiri, tidak
usah menanti dipimpin guru," tutur Ny. Sukarni, guru SD Pamong
Kebak II sejak 1974. Setelah siswa kelas I SD Pamong mendapat
pelajaran secara klasikal selama kuartal pertama, selanjutnya
mereka bisa belajar sendiri, tutur Ny. Sukarni. Dan rata-rata
tiap kelompok belajar bisa menyelesaikan target pelajaran dengan
tepat, meski tak ada pengawasan langsung dari guru.
Di SD yang dikelola oleh BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K) dan UNS, Solo, ini
tidak seperti di SD biasa, Kurikulum 1975 dijalankan dengan
penuh. Tak ada bab-bab pelajaran yang dilampaui. "Siswa tak
boleh mengikuti tes akhir kesatuan modul, apalagi EBTA, apabila
belum menyelesaikan modul menurut target," tutur Sudarsono, 26
tahun, Pembina Pendidikan kelas V SD Pamong Kebak II.
Konsekuensinya, bagi siswa yang cepat belajar bisa menyelesaikan
6 tahun SD lebih singkat. Heru, misalnya, murid Sudarsono, hanya
membutuhkan 5« tahun untuk merebut EBTA SD.
Mungkin karena itu SD Pamong dari tahun ke tahun selalu
kebanjiran siswa. Bahkan Sutarno, 48 tahun, kepala sekolah
sebuah SD negeri di Kecamatan Kebak Kramat, lebih suka
memasukkan kelima anaknya ke SD Pamong daripada ke sekolahnya
sendiri. Ia mengakui terus terang bahwa lulusan SD Pamong lebih
baik daripada SD biasa. Dan bila SD biasa rata-rata siswa per
kelas hanya 40-an, di SD Pamong jumlah itu bisa mencapai 70-an.
Misalnya, sebuah SD Pamong di Kebak Kramat, tahun ini menerima
72 siswa baru untuk kelas 1.
Dan Program Luar Sekolahnya? "Anak putus sekolah di desa kami
habis, dan desa ini sudah dinyatakan bebas buta aksara," tutur
Ngadiman, 49 tahun, kcpala Desa Kebak, Kabupaten Karanganyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini