SEKITAR 17% wilayah Jakarta terkepung banjir. Ini terjadi pada
hari-hari tahun baru 1976. Dan kemungkinan untuk terulang
selama bulan Januari ini masih belum tertutup. Di hari-hari
tahun baru itu sendiri beberapa wilayah seperti di Jakarta
Timur, Jakarta Utara dan sebagian Jakarta Pusat genangan air
yang masuk ke rumah-rumah penduduk berkisar antara « sampai 2
meter. Sedang di Jakarta Barat dan Selatan, meskipun genangan
air agak lama baru surut -- dan lebih Darah dibanding tahun yang
lalu keadaannya tak separah yang di Jakarta Timur. Di Pulo
Gadung, ribuan penduduk yang berdiam di pinggir kali Sunter
harus mengungsi, begitu juga di sekitar jalan by-pass Yos
Sudarso dan tempat-tempat lainnya yang kebanjiran. Sekitar
250.000 orang yang mengalami kesulitan sebagai akibat genangan
air itu, kata Gubernur DKI Ali Sadikin. Sedang kerugian
Pemerintah DKI menurutnya sekitar Rp 250 juta akibat rusaknya
jalan-jalan yang juga dilalui genangan air itu. Dan korban jiwa
relatif kecil cuma 2 orang.
Seperti tahun-tahun lalu menurut Gubernur Ali Sadikin, sebab
utama timbulnya "genangan air" di Jakarta ada]ah karena kiriman
air yang terlalu berlimpah-limpah dari selatan kota. Bogor
maksudnya. "Kalau ini terjadi berbarengan dengan hujan lokal,
air seolah-olah ditumpahkan ke Jakarta dan inilah yang
menyebabkan bencana", ujar Ali Sadikin kepada pers di Ruang Pola
DKI dua pekan yang lalu. Begitu pula dengan letak beberapa
wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, yang
terendah sekitar 80 cm. Tak urung juga merupakan penyebab,
karena jika hujan sedang deras-derasnya dan air laut pasang,
curah airnya tak akan sampai ke laut. Walaupun secara rata-rata
menurut Ir. Bun Yamin Ramto Kepala, DPU DKI, Jakarta berada
antara 1 sampai 1,5 meter di atas permukaan laut. Di samping
itu, oleh Ali Sadikin jua diakui bahwa sistim pengendalian
banjir yang ada sekarang nyaris sisa peninggalan Belanda. "Dulu,
sistim itu diarahkan untuk menyelamatkan penduduk yang jumlahnya
hanya 600 ribu orang", ujar Sadikin membandingkan jumlah
penduduk yang sekarang meningkat hampir 10 kali itu. Tak sekedar
yang dulunya tempat ular dan kodok bangkon saja yang sekarang
ditempati manusia, tempat yang seharusnya untuk penampungan air
juga sudah diserobot perumahan", tambahnya.
Sebab itu pula, Gubernur mengulangi kembali apa yang pernah
dikatakannya, "saya tak pernah menjanjikan Jakarta bebas dari
banjir". Lantas diapun menjelaskan betapa besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mencegah terulangnya banjir setiap tahun. Bagi
pembuatan banjir kanal, waduk-waduk dan rumah pompa dibutuhkan
Rp 207,5 milyard. Sedang untuk pembuatan drainase dan sanitasi
-- yang ada dalam kota -- membutuhkan biaya tak kurang dari Rp
242 milyard, karena setiap jalan harus ada sistim riolering yang
menampung air dari tiap rumah. Total jenderal biaya seluruhnya
mencapai Rp 450 milyard. "Ini perhitungan tahun 73, kalau
sekarang berapa? Tutur Sadikin pula, yang menyebut proyek ini
sebagai proyek raksasa.
Khusus mengenai pembiayaannya Ali Sadikin pun tak luput
bertanya, "siapa yang akan mengeluarkan biayanya, Pusat atau
DKI", tanyanya. "Kalau saya sampai kiamat tak akan ada",
tambahnya sambil menyorongkan masalah itu pada Bappenas, sebagai
satu-satunya yang mungkin memecahkannya. Tak sekedar itu, dia
pun membandingkan pengeluaran selama ini untuk menghadapi
kemungkinan banjir. Sejak awal Pelita I sampai sekarang sudah Rp
10,6 milyard yang dikeluarkan, Rp 4,2 milyard di antaranya dari
Departemen PUTL dan selebihnya dari DKI. Namun dari segi
urgensinya, Ali Sadikin tetap beranggapan bahwa perbaikan sarana
pendidikan dan kesejahteraan rakyat jauh lebih penting.
"Genangan air paling 10 hari, sedang 3 juta penduduk yang hidup
di kampung-kampung selama 360 hari tentu lebih memerlukan
perhatian", ujarnya. Memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini