Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sunarno lawan rafiun

Jalan raya medan-rantau prapat di asahan rusak. menurut sunarno, kepala dpu, kerusakan itu karena kendaraan yang lewat rata-rata lebih 5 ton. sedang menurut kepala dllaj, karena kurang perawatan. (dh)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANCUR luluhnya jalan raya sepanjang 80 kilometer antara Medan-Rantau Perapat di wilayah Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, bukan saja membikin para pemakainya menggerutu panjang. Tapi juga menimbulkan baku tuduh antara Surarno Kepala DPU dan Rafiun Nasution, Kepala DLLAJ Kabupaten Asahan. Ini bisa dimaklumi. Sebab tentunya jalan raya yang merentang antara kilometer 120 di kampung Tanjung Kasau -- perbatasan Kabupaten Asahan dan Deli Serdang -- sampai kilometer 200 di Kampung Leidong Barat perbatasan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu -- kini tak ubahnya bagaikan kubangan kerbau hingga perlu diusut penyebabnya. Dan deretan kubangan yang terus meningkat parah di bulan-bulan penghujan mampu membenamkan bis dan prahoto dan memacetkan lalulintas. Keadaan ini mematahkan hubungan tak kurang 10 kampung seperti Kampung Bumi, Kisaran dekat kantor Bupati Asahan itu. "Itu akibat kendaraan yang melintas di sana melebihi tonase seharusnya", teriak Sumarno jengkel. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Asahan itu, "jalan propinsi di kabupaten Asahan itu sebenarnya berkonstruksi kelas III". Tapi, katanya, oleh Gubernur dikwalifikasikan kelas II, dengan catatan hanya boleh dilintasi kendaraan yang memiliki tekanan as 5 ton saja Tahu-tahu yang lewat kendaraan bermuatan rata-rata lebih 5 ton. Bahkan mobil gerobak beroda 8 atau 10, sampai-sampai bawa muatan lebih 10 ton. Dan Sunarno menuding contoh kenderaan roda 10 milik PT Socfinda yang biasa memuat kelapa sawit dari Perkebunan Aek Loba ke pabriknya di Perkebunan Tanah Gambus, Kecamatan Lima Puluh. Kendaraan seperti itu yang berlalu lalang di sana ditaksir sekitar 800 kali setiap harinya, tak termasuk bis, sedan dan kenderaan kecil lainnya. Kenapa kenderaan-kenderaan itu bisa bersimaharajalela lewat di sana? Dengan nada pasti Sunarno berucap, "petugas-petugas DLLAJ penjaga jembatan timbang yang tiga buah jumlahnya itu tak berfungsi sebagaimana mestinya". Bahkan dikatakannya ada main dengan mengutip Rp 300 sampai Rp 500 per kenderaan sekali lintas. "Saya sering pergoki praktek mereka itu", katanya seraya menjelaskan: "kutipan biaya siluman itu kalau dijumlahkan bisa menutupi biaya rutin perawatan jalan tersebut yang dikeluarkan Pemda Sumatera Utara". Tentu saja Sunarno tak mau berpicing mata. Dilayangkanlah sepucuk surat kepada Kepala DLLAJ Sub Wilayah III Kabupaten Asahan dengan tembusan kepada para Muspida Kabupaten. Isinya, minta ketegasan Kepala DLLAJ itu tentang praktek yang dinyatakan kotor itu. Karena berakibat buruk bagi keselamatan jalan. Cukup pedas, katanya mengaku. Dan gayungpun bersambut. Rafiun Nasution, Kepala DLLAJ Sub Wilayah III Asahan, tentu saja membantah. Dan menyebutnya "terlalu kasar". "Tak pantas diperbuat seorang pejabat", katanya tanpa mengungkapkan isi surat. Akan halnya kenderaan yang melebihi Tonase, Rafiun memang tak membantahnya. Tapi tak berarti ia tak ambil peduli. Buktinya? "Selama tahun 1975 saja tak kurang 500 perkara disorongkan ke Kejaksaan untuk diteruskan ke Pengadilan", katanya. Dan ia menyatakan tak berwenang, bila Sumarno menyarankan membongkar saja kelebihan muatan di kenderaan itu. Harus ada izin Muspida," katanya. Bahkan Rafiun mengeluh, "karena ringannya hukuman yang dijatuhkan". "Hanya kena denda saja", keluhnya. Dan, katanya, supir-supir itu rata-rata para residivis karena melakukan pelanggaran membawa muatan lebih. Rp 6000 Lagi pula Rafiun terheran-heran karena kenderaan yang lalulalang di daerah Asahan itu adalah juga yang bersimpang-siur di Kabupaten Labuhan Batu dan Deli Serdang. "Lantas kenapa jalan propinsi tersebut tak separah jalan di Asahan?" Dan Rafiun pun unjuk sebab musababnya. "Jalan di Asahan kurang baik perawatannya. Parit-paritnya tak beres. Hingga waktu hujan, airnya merembes ke jalan aspal. Dan Dinas PU kurang cekatan. Baru sibuk memperbaikinya, setelah kerusakan jalan menjadi parah". Tapi tentu saja Rafiun Nasution tak bisa mengendus pengakuan seorang pengusaha angkutan. "Kalau kami memenuhi ketentuan yang berlaku, bawa muatan cuma 6 ton, perusahaan bisa bangkrut", katanya. Karena antara Kisaran-Medan, ia harus mengeruk koceknya buat dana siluman tak kurang dari Rp 6000 sekali jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus