Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sampai mhoksa dari brahman

Istilah hindu bali sejak 1960-an diganti hindu dharma. tidak ada keseragaman peribadatan antara hindu di bali dan di lain tempat. yang rutin di bali tidak semua mesti diikuti.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP kali membicarakan umat Hindu di luar Bali, Jawa terutama, selalu saja datang pertanyaan, apakah mereka betul-betul penganut Hindu. Tidakkah mereka itu Kejawen, Animisme, atau apa pun namanya, yang lebih tepat dikelompokkan ke aliran kepercayaan ? Umat Hindu di pedesaan Bali sering mempertanyakan, jika orang Jawa memeluk Hindu apakah mereka juga melaksanakan ngaben, potong gigi metatah, dan merayakan hari raya yang begitu banyak. Pertanyaan ini agaknya warisan dari masa lalu. Sejarah masuknya Hindu ke Indonesia mencatat munculnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Lalu Islam datang menanamkan pengaruhnya, dan "kebesaran Hindu" menyeberang ke Bali tetap dalam pengayoman kerajaan dalam wujud yang lebih kecil. Di masa kejayaan raja-raja (Hindu) Bali inilah, segala jenis upacara berkembang, tentu akhirnya menjadi lain dengan tadinya di Jawa. raja-raja Bali pun menyebutnya sebagai agama Hindu Bali. Sampai 1960-an, agama ini secara resmi tetap menggunakan istilah itu: Hindu Bali. Baru setelah lahirnya Parisadha Hindu Dharma sebagai penghubung umat beragama dengan pemerintah, istilah Hindu Bali tak lagi dipakai. Memang, tak ada agama Hindu Bali, tak ada agama Hindu Jawa, atau agama Hindu Kaharingan. Yang ada satu, agama Hindu atau Hindu Dharma -- dharma artinya agama. Dengan demikian, memang wajar bila tak ada keseragaman dalam praktek persembahyangan antara Hindu di Bali dan di lain tempat. Tapi semuanya sah sebagai Hindu. Seperti yang dikatakan I Wayan Surpha, Ketua III Parisadha Hindu Dharma Pusat, "Seseorang bisa digolongkan memeluk agama Hindu, jika ia percaya pada kitab suci Wedha, dan punya keyakinan pada lima hal yang disebut Panca Sradha." Yakni Brahman (percaya kepada Yang Mahakuasa), Atman (percaya bahwa manusia sebagai makhluk hidup punya jiwa), Karma Phala (percaya adanya hukum dari perbuatan), Punarbhawa (percaya adanya kelahiran kembali), dan Mhoksa (percaya adanya akhir kehidupan). Akan halnya hari raya keagamaan yang tampak begitu banyak di Bali, menurut Surpha, yang mesti diikuti oleh umat Hindu di luar Bali hanyalah Nyepi, Saraswathi, dan Galungan. "Itu yang diusulkan sebagai hari libur nasional, tetapi yang diakui hanya Nyepi," kata Surpha, yang baru saja dilantik sebagai anggota DPRD Bali. Perayaan Galungan di Desa Lingga Asri baru dikenal bersamaan dengan berdirinya pura yang satu-satunya di sana. Tentu atas petunjuk Pendeta Kemenuh. Dengan begitu, terasa bahwa agama tidak selalu berarti tirakat, tapi juga pesta, atau lebih tepat rasa bersyukur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus