PERTENGAHAN 1960-an, di Wonorejo, Jawa Timur. Doso Adi, yang baru saja diangkat sebagai pimpinan di desa 43 km selatan Malang, resah. Desa dengan sekitar 200 kepala keluarga yang hidup sebagai buruh tani itu telah bertahun-tahun rawan pangan. Ini daerah sulit air, kering, berdebu. Lalu Doso Adi, kepala desa, melihat, sebenarnya desanya bukan tak punya apa-apa. Orang-orang, mereka sendiri itulah, sebuah kekuatan. Dan kekuatan itu selama ini cuma tertidur. Pada pengamatannya, warga desanya hidup dengan rutin, tanpa mampu melihat alternatif lain. Tapi bukan orang-orang itu yang terutama menladikan Doso prihatin. Anak-anak mereka haruskah menjalani hidup persis seperti orangtuanya: bertani, miskin, buta huruf? Doso mengaku seperti mendapatkan wangsit, suara gaib. Anak-anak desa itu sedikitnya harus tamat sekolah dasar. Selama ini, sekolah di situ dianggap memojokkan warga: untuk hidup sudah susah, bagaimana bisa membiayai anak sekolah? Padahal, dengan sekolah, begitu pikiran Doso, banyak ide bisa dimunculkan. Siapa tahu wajah desa bisa berubah? Pertengahan 1987, sekitar 20 tahun kemudian. Satu-satunya SD di situ kembali meriah setelah libur sekitar sebulan. Dan 181 murid -- memang hanya itulah jumlah anak usia SD di Wonorejo, termasuk 40-an murid baru -- kembali giat belajar. Dengan kata lain, tak ada lagi anak Wonorejo tak bersekolah. Lebih menarik lagi, tak ada anak-anak usia belasan tahun tak punya ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar SD. Wajah desa pun berubah. Wonorejo kini desa yang asri. Pagar-pagar rumah rapi, halaman tampak hijau oleh pepohonan, jalan desa meski belum beraspal telah jadi jalan batu -- bukan lagi tanah berdebu. Boleh dikata, meski tak langsung, itu semua buah peraturan Doso Adi, yang diperoleh dari wangsit. Adapun peraturan itu berbunyi: warga Wonorejo harus menyekolahkan anaknya hingga lulus SD. Yang melanggar akan kena denda, harus memikul 5 m3 batu ke balai desa, untuk pembangunan desa. Tutur Doso Adi, mula-mula ia hanya ingin agar setidaknya anak-anak Wonorejo tidak buta huruf dan memiliki pengetahuan dasar. Tapi hasilnya di luar dugaannya sendiri. Dulu gagasan-gagasan penghijauan, menaikkan produksi kebun dengan pupuk, susah masuknya di Wonorejo, misalnya, tapi sekarang pikiran-pikiran itu mudah dipahami warganya. Doso Adi tak melakukan riset, dan memang ia tak merasa perlu. Bapak seorang anak ini cukup puas dengan dugaannya bahwa anak-anak yang kemudian terbuka terhadap pengetahuan rupanya menularkan hal ItU kepada keluarganya. Jauh sebelum pikiran Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara -- bahwa pendidikan tanggung jawab masyarakat, sekolah, dan orangtua -- ditegaskan kembali, Doso Adi telah yakin, pendidikan bukan cuma tanggung jawab guru dan orangtua, tapi juga masyarakat. Maka, lelaki yang cuma tamat SMP itu mengusulkan kepada para guru SD agar melaporkan kepadanya bila ada murid tak masuk tanpa keterangan. Soalnya, Doso, bekas petani, tahu benar. Yang jadi masalah warganya tak lain soal ekonomi. Dan memang benar. Kepada kepala desanya, orangtua murid biasanya lalu mengaku, mengapa anaknya tak sekolah: tak punya buku tulis lagi, baju sudah robek, dan macam-macam. Doso Adi turun tangan, mencarikan dana untuk mereka. Anak-anak kembali ke sekolah, orangtua dengan senang dan lega melepaskin mereka. "Kami senang adanya campur tangan Pak Doso Adi, ini membantu kami mendidik anak-anak," kata Arianti, 43 tahun, Kepala SD Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK), satu-satunya SD di Wonorejo, kepada Budiono Darsono dari TEMPO. Akhirnya, pada 1977, jerih payah ini semua mengundang perhatian Proyek Kesejahteraan Anak (Prokeska, demikian nama itu dismgkat), sebuah lembaga swasta yang berpusat di Amerika Serikat (World Vision International). Lembaga ini terutama membenkan bantuan kepada anakanak yang benar-benar tak mampu. Dari bantuan uang, alat tulis, pakaian seragam, sampai soal gizi. Menurut Harsono Warso, bekas kepala SD YBPK Wonorejo (1974-1982), kepala Prokeska di daerah ini, kini dari 180-an murid SD Wonorejo 115 anak mendapatkan bantuan. Ide Doso terus berkembang, ia mendirikan perpustakaan dua tahun lalu. Kini perpustakaan desa ini punya koleksi 1.500 buku dari 300 judul, menempati ruang seluas 2,5 m2 di Balai Desa, bisa menampung belasan anak. Ruang ini selalu ramai. Sepulang sekolah, banyak murid mampir ke situ. Bagaimana dengan denda memikul batu itu? Lebih dari 20 tahun peraturan dijalankan, hanya empat orang pernah kena denda. Itu pun terjadi sebelum ada bantuan Prokeska. Tampaknya, memang soal ekonomi itulah soalnya. Tumari, 33 tahun, seorang buruh dengan dua anak, berterus terang. Seandainya tak ada bantuan dari Pak Lurah, katanya, ia akan banting tulang agar anaknya yang tertua, kini di kelas IV, selesai sekolahnya. Bukan ia takut disuruh menyetor batu ke Balai Desa, tapi ia tahu manfaat sekolah bagi anaknya. Akhirnya, bukan cuma di SD, sebagian anak-anak Wonorejo pun meneruskan ke SMP, yang sudah ada di desa itu. Cuma, yang mampu dan berniat meneruskan ke SMA harus keluar desa, karena sekolah ini belum ada. Bila ekonomi desa pun berkembang, di sini ada sanggar jahit dan bengkel las sumbangan Prokeska, lengkap dengan sarananya. Dua usaha anak-anak muda itu menerima pesanan dari luar desa. Wonorejo, tanpa pidato dan semboyan muluk, sebelum wajib belajar dicanangkan pemerintah, telah melaksanakan pendidikan oleh sekolah, orangtua, dan masyarakat, dan sukses. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini