Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang pendeta tanpa gereja

Sadrach, seorang kiai yang menjadi panginjil protestan yang sukses. ia membentuk komunal kristen pribumi yang kemudian mendapat tantangan dari misionaris kolonial. akhirnya ia menempuh jalan tersendiri.(sel)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG misionaris sejati. Seorang Kristen, meski dengan pengertian yang mungkin agak berbeda dari bayangan para penginjil Eropa. Seorang pemuka lokal, yang tidak semua orang mendengar, yang kiprahnya menandai sebuah era penyebaran agama di sebuah bagian wilayah yang sangat luas. Dan seorang yang hakikatnya semacam pejuang persamaan, yang mungkin punya kelemahan-kelemahan, tapi juga impian cita-cita yang jelas dicoba wujudkan. Tidak diketahui secara tepat tanggal dan tempat kelahiran Sadrach - orang ini. Tetapi dapat disimpulkan, dari beberapa data, ia lahir sekitar 1835. Mengenai tanah kelahirannya, semua sumber menunjuk Kewedanaan Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Tetapi ada yang mencantumkan secara lebih tepat: sebuah desa di dekat Demak. Yang jelas, ia berasal dari keluarga petani miskin, dan di waktu lahir bernama Radin. Dari nama ini saja sebetulnya sudah terlihat dari kelas sosial mana ia berasal. Miskinnya keluarga Radin, pada zaman itu dan di daerah itu, tidak mengherankan. Kenyataan bahwa sejak kira-kira 1840 daerah utara Jawa Tengah mengalami depresi ekonomi yang gawat tentunya disebabkan oleh beberapa faktor: peningkatan jumlah penduduk yang tajam, panen yang gagal antara 1843 dan 1851, epidemi tifus dan kolera, dan akhirnya pelaksanaan aturan tanam paksa, terutama untuk kopi dan tebu, pada tanah yang luasnya juga tidak seberapa. Alhasil, penduduk daerah ini menurun drastis: desa-desa ditinggalkan mereka yang masih hidup memilih pindah ke Jawa Timur atau mengungsi ke perkebunan pemerintah dan swasta. Sebagaimana anak muda sebayanya, Radin juga berangkat meninggalkan orangtuanya dan pergi ke arah timur. Kehidupannya pada Sadrach periode ini memang mengandung hal-hal yang kurang jelas. Meski demikian, kiranya dapat disetujui penjelasan Yotham, anak angkat dan sekretaris Sadrach, yang menyatakan bahwa pemimpinnya itu berkelana memenuhi panggilan agama. Setelah diterima oleh "keluarga tanpa anak" (Misionaris Adriaanse), ia terdampar pada seorang guru ngelmu bernama Kurmen alias Sis Kanoman. Sadrach menjadi murid Sis. Data mengenai Sis terbatas pada apa yang disampaikan Adriaanse - lewat buku 450 halaman yang ditulisnya pada 1899, Sadrach's Kring yang merupakan penilaian kurang menyenangkan. Memang guru Jawa biasanya kurang berharga di mata misionaris meskipun hal itu tidak mengurangi pengaruh sang guru terhadap Radin. Bahkan, Radin menganggap Sis bapak angkatnya - dan setelah perjalanan jauh beberapa tahun, ia masih pulang menemui bekas gurunya itu dan kembali mengikutinya. Pada gilirannya, Sadrach pun menjadi guru, sekaligus mewarisi teknik-teknik guru ngelmu, seperti penyembuhan penyakit dengan pembacaan mantra atau penggunaan air ludah atau air kencing pada bagian tubuh yang sakit, atau inisiasi murid-murid baru. * * * Radin kemudian melanjutkan perjalanannya: pergi ke beberapa pesantren menyempurnakan ilmunya. Pesantren, dengan organisasinya yang luwes dan sangat demokratis, merupakan satu-satunya sekolah di masa itu. Dan sekolah ini terbuka untuk semua orang, bahkan memberi kesempatan pada mereka yang paling miskin untuk melakukan promosi jenjang sosial di masyarakat, meski sudah tentu di luar struktur resmi pemerintahan penjajahan. Para santri yang miskin, seperti Sadrach, punya beberapa sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya: pesantren itu memiliki wakaf yang dapat dipakai untuk mengongkosi sejumlah santri yang tidak mampu. Atau, para santri bisa bekerja di tanah milik pesantren, membantu sang guru berdagang, atau membantu-bantu penduduk desa-desa terdekat. Para santri terbaik juga punya kesempatan menjadi "asisten" sang kiai. Bagaimanapun, kebutuhan santri itu sangat terbatas: kehidupan di pesantren, lebih-lebih waktu itu, memang sangat spartan. "Tour de Java" yang dilakukan Sadrach membawanya sampai ke Jombang. Dekat Jombang terdapat desa-desa Kristen yang paling penting masa itu seperti Ngoro yang didirikan Coolen, sekitar 20 km dari kota ini. Lebih dekat lagi, kira-kira 7 km di selatan, terdapat Mojowarno dan beberapa desa lain yang didirikan Abisai Ditotruno dan Tosari untuk orang-orang Kristen pembangkang dari Ngoro yang disingkirkan Coolen karena berani menentang ketentuan tiadanya hak membaptis yang dikeluarkannya untuk mereka. Saat itu seorang misionaris perintis di Jawa, Jellesma, berdiam di Mojowarno. Dengan demikian, untuk pertama kalinya Santri Radin melakukan kontak dengan ajaran Kristen dan dengan orang Belanda. Jellesma tinggal di desa ini dari 1851 sampai 1858. Sadrach berada di Jombang pada tahun-tahun tersebut, pada usia antara 16 dan 23. Sayang, tidak diketahui apakah Sadrach juga berhubungan dengan Abisai, Tosari, atau Coolen. Yang jelas, ia dengan puas dapat mengamati desa-desa Kristen ini, yang dijadikan model percontohan oleh para misionaris sampai awal abad XX. Sebagaimana terlihat nanti, ia tidak melupakan apa yang dilihatnya, dan malah meniru. Dialog dengan Jellesma kelihatannya belum mengakibatkan Sadrach memilih Kristen sebagai agama: sang santri melaniutkan perjalanannya ke sebuah pesantren di Ponorogo. Hanya sebagian yang diketahui orang tentang apa-apa yang dipelajarinya di pesantren itu. Menurut pengarang ini. ia belajar membaca Kitab Quran dan "mendalami" ajaran Islam. Selain itu juga terbukti belajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab serta menulis pegon (bahasa Jawa aksara Arab), di samping membaca dan menulis dengan alfabet Jawa. Setidak-tidaknya, ia telah membekali diri dengan pengetahuan yang lebih tinggi dari kebanyakan orang Jawa. Memang, sangat menarik untuk mengetahui secara tepat: pelajaran agama apa sebenarnya yang diterima Radin di pesantren-pesantren bidang apa, kitab apa, mengingat bahwa sebagian pesantren, setidak-tidaknya waktu itu, justru merupakan tempat belajar perdukunan (kemat, hikmat), silat, dan semacamnya. Tapi tak ada penjelasan tentang ini. Yang terang, di rumah Sadrach di Karang joso masih terdapat sebuah buku yang dikategorikan sebagai pusaka oleh ahli waris sang kiai. Buku dengan format kecil ini, yang terdiri dari sekitar 200 halaman, merupakan manuskrip yang tertulis pada kertas bergaris, mempergunakan aksara pegon dan kelihatannya di kerjakan oleh satu orang. Dalam buku ini, yang tidak dijelaskan apakah ada berjudul, ditemui singkatan-singkatan yang sama dan transkripsi ortografi Jawa yang sama. Dari seluruh buku di situ, inilah satu-satunya yang tertulis dalam aksara Arab dan, lagi pula, satu-satunya buku yang "membicarakan agama Islam". Karena sampai sekarang seluruh keluarga Kiai beragama Kristen, tak pelak lagi buku tersebut tentu berasal dari Sadrach sendiri. Di antara seluruh keluarga Kristen ini hanya sang kiai yang pernah belajar di pesantren. Di pihak lain, agaknya sang kiai ingin masa mudanya dan ilmu-ilmunya juga diketahui orang-orang sepeninggalnya. Dengan alasan-alasan itulah kami menganggap buku tersebut memang milik Sadrach meskipun tidak ada bukti-bukti yang lebih kongkret. Meski terbagi atas bab-bab yang tidak berurutan secara logis, tidaklah hilang kesan bahwa penulisnya adalah seorang murid yang cerdas. Ditampilkan berbagai pokok persoalan yang menarik perhatian pengarangnya menyangkut "mistik Islam" dalam arti yang sangat luas, mengenai "nama-nama Tuhan", pelbagai "rasa", malaikat, silsilah raja-raja Islam di Jawa, transkripsi mistik dari nama Nabi Muhammad (setiap huruf mengandung satu makna), juga sebuah dialog menarik antara Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang mengenai alam kubur. Dari situ bisa diperkirakan warna tertentu ajaran keagamaan Islam atau pesantren yang ada direguk Sadrach. * * * Sadrach kembali ke daerah asalnya. Ia menetap di Semarang, di Kauman, menurut Adriaanse. Ketika itu ia menambahkan nama "Abas" di belakang namanya. Pada masa itu pula ia berjumpa dengan bekas gurunya. Pak Kurmen, yang ternyata sejak berpisah dengannya telah menjadi Kristen. Itu karena ia kalah dalam debat melawan Kiai Tunggul Wulung yang sudah Kristen lebih dulu. Maka, untuk kedua kalinya, Radin Abas berhubungan dengan orang dan ajaran Kristen. Tidaklah mengherankan: bagian utara Jawa Tengah zaman itu merupakan pusat Kristen kedua di Jawa, setelah Jawa Timur. Tiga misionaris pertama yang dikirim ke Jawa tidak lagi sekadar menerjemahkan Kitab Suci seperti Bruckner. Dua diantaranya, Hoezoo dan Jansz, menetap di Semarang. Yang ketiga, Jellesma, tinggal di Surabaya, kemudian pindah ke Mojowarno. Mereka boleh dikatakan gagal dalam penyebaran Kristen. Penyebabnya bermacam-macam, tapi alasannya dapat disederhanakan menjadi: para pendeta itu ngotot agar orang-orang Jawa itu juga menerima ortodoksi sebagaimana dipahami orang Eropa. Tidak satu pun di antara mereka rela menerima orang Kristen Jawa yang kurang mendalami Injil dengan cara mereka dan tidak bersedia menanggalkan adat kebiasaan. Maka, mereka yang ditampik para pendeta itu lebih suka mengikuti Kiai Kristen Tunggul Wulung, yang lebih mudah mereka pahami. Jadinya, orang Kristen di daerah ini terbagi dua: Kristen Jowo, yang mengikuti sang kiai, dan Kristen Londo yang berada di bawah pengaruh misionaris. Ketika memutuskan untuk masuk Kristen, Radin Abas sebenarnya tidak memilih salah satunya. Mulanya ia kelihatannya mengikuti Hoezoo. Ia meninggalkan Kauman dan menetap di sebuah desa kecil, lima jam perjalanan dari Semarang. Setiap Sabtu ia berjalan kaki ke Semarang untuk dapat menghadiri kebaktian yang dipimpin misionaris di gereja pada hari Minggu. Tetapi setelah diperkenalkan Pak Kurmen dengan Tunggul Wulung, Sadrach merasa lebih akrab dengan kiai Jawa ini. Hubungan keduanya demikian eratnya. Tahun 1865 Tunggul Wulung membawa Sadrach ke Batavia untuk menemui pejabat tinggi Belanda, Anthing. Anthing, yang sangat aktif dalam kristenisasi di Jawa, mulanya bertugas di Semarang, dan di situlah ia berkenalan dengan Tunggul Wulung. Tahun 1863, Anthing diangkat menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung di Batavia. Dua putra Tunggul Wulung tinggal di rumah Anthing. Salah satunya, bernama Ibrahim, mengikuti jejak ayahnya, mendirikan sebuah komunal Kristen di Tanah Tinggi, Jakarta. Tunggul Wulung sendiri sempat lima bulan bekerja sama dengan Anthing bertugas membagi-bagikan brosur agama dari rumah ke rumah di Batavia. Karena pekerjaan ini kurang diminatinya, meskipun mendapat gaji, akhirnya Tunggul Wulung berangkat dari Batavia. Radin Abas tetap tinggal di rumah Anthing mulanya sebagai pembantu, kemudian sudah dianggap "anak". * * * Berada di Batavia berarti menjalin kontak dengan pusat kristenisasi ketiga di Pulau Jawa - meski tidak begitu banyak data yang diperoleh mengenai kegiatan Sadrach. Ia berada di Batavia tiga tahun, tinggal di Kampung Serani, belajar membaca dan menulis dalam aksara Latin, dan akhirnya dibaptis. Adriaanse mengatakan, pendeta dan bapak permandian Radin adalah Teffer - yang lahir tahun 1827, pernah berkebun tembakau di Timor Portugis (Timor Timur), pernah muncul di Ambarawa sebagai imam militer di perkampungan tentara Belanda, tercatat tidak begitu rukun dengan koleganya misionaris Protestan, dan, setelah jatuh sakit di tahun 1894 dan tidak punya uang untuk berobat, lalu dirawat oleh seorang misionaris Katolik, beralih agama menjadi Katolik. Tetapi pasti yang membaptis Sadrach adalah Ader, pendeta gereja Protestan meski Yotham hanya menyebut nama King untuk masa hidup Sadrach di Batavia ini. E. W. King (1824-1884), lahir di Batavia, kata orang ia peranakan Belanda tapi mungkin lebih tepat peranakan Inggris, punya sebuah komunal Kristen di Mesteer Cornelis (Jatinegara) dan sebuah percetakan kecil untuk menerbitkan majalah misionaris De Opwekker. Kiranya hubungan Pendeta Ader dengan Sadrach hanya terbatas pada pembaptisan sang kiai. Karena pendeta juga pegawai negeri, maka dapat dibayangkan bahwa Sadrach segera menyebut nama Ader ketika penguasa Belanda kelak menginterogasinya. Ader tidak berperan sedikit pun dalam proses panjang yang dijalani Sadrach-sebelum masuk Kristen. Selain itu, umumnya para pendeta - kecuali yang bertugas pada komunal Melayu tidak mengerti satu bahasa daerah pun, dan Sadrach juga tidak bisa berbahasa Belanda. Sedangkan Teffer bisa dipastikan mengerti bahasa Melayu, mengingat tempat-tempat tugasnya yang terpencil itu. Adapun King, sebagai seorang peranakan, dibandingkan dengan pendeta yang Belanda totok itu jelas lebih menguasai bahasa daerah. Karakter ke"indo"-annya itulah yang menyebabkan nama King tetap hidup dalam ingatan Sadrach bertahun-tahun kemudian, seperti yang diungkapkan pada anak angkatnya, Yotham. Pengetahuan mengenai bahasa dan kebudayaan Jawa membuat King mampu berkomunikasi dengan baik. Sadrach sendiri secara resmi memperoleh pengajaran agama dari Teffer, sedangkan yang sangat berpengaruh terhadapnya adalah King. Pembaptisan itu berlangsung 14 April 1867 - oleh Ader, di Portugeesche Buitenkerk (sekarang Gereja Sion), gereja tua dari akhir abad XVII, di belakang Stasiun Kota. Radin Abas memilih nama bantis Sadrach. Ini tentu mengherankan orang Kristen Belanda. Memang kadang-kadang orang Kristen Jawa menerima nama depan yang berasal dari Perjanjian Baru, seperti orang Eropa. Namun, kebanyakan mereka diberi nama ambilan dari Perjanjian Lama. Dan ini sebetulnya anjuran resmi pemerintah untuk membedakan penganut Kristen pribumi dan umat Kristen Belanda. Yakni agar kaum bumiputra sadar, dengan menganut agama Kristen pun mereka tidak akan bisa melepaskan diri dari kondisi sebagai masyarakat terjajah. Nama Sadrach itu pun berasal dari Perjanjian Lama - dari Daniel 1, 4, yang memuat episode "Tungku Api" yang terkenal itu. Tetapi bahwa yang dipilih adalah Sadrach, nama yang tidak populer, dan bahwa pemilihan itu kalau dipikir-pikir bukan atas dasar kebetulan, rupanya bisa dijelaskan oleh kisah bagian Perjanjian Lama itu - yang menyangkut masa pengusiran orang Yahudi setelah jatuhnya Yerusalem ke tangan Nebukadnezzar. Alkisah, Raja Nebukadnezzar meminta kepada kepala penjaga haremnya untuk mencari beberapa anak muda Yahudi yang cemerlang, untuk ditampung di istananya setelah diwajibkan mempelajari bahasa dan sastra Babilonia. Di antara yang terpilih terdapat Daniel dan Ananias. Yang kedua itu diberi nama Babilonia: Sadrach (Shadrak). Dengan menyimpan kepercayaan dan kebanggaan kepada bangsa sendiri, sambil berintegrasi dengan peradaban Babilonia, orang-orang Yahudi itu mempertahankan identitas. Juga menolak makanan yang "tidak suci" yang berasal dari meja santap Raja. Mereka terutama menonjol dalam ilmu agama, dan menolak berlutut di depan patung yang dibangun Nebukadnezzar, yang tak lain dari potret dirinya. Karena itu, mereka dihukum: dijatuhkan hidup-hidup ke dalam tungku api - toh keluar dengan selamat. Sesudah melihat mukjizat itu, Raja menyuruh mereka "berkembang biak di Provinsi Babilonia". Beberapa unsur dalam kisah Rasul Daniel itu sangat disenangi Radin Abas - bagian yang boleh dikatakan semata-mata terdiri dari mimpi-mimpi dan tafsirannya, sesuatu yang sejalan dengan ngelmu Jawa. Di situ antara lain diramalkan: "Michel, seorang pangeran agung, akan berada di tengah anak-anak dari rakyat engkau", tapi hal itu akan didahului dengan bencana maha dahsyat - seperti yang pernah melanda Jawa pada abad XIX. Yang ditunggu-tunggu itu tak lain Ratu Adil yang akan memerintah Pulau Jawa. Di pihak lain, jangan lupa membandingkan orang Yahudi yang dikuasai Babilonia dengan orang Jawa yang dijajah Belanda. Sadrach, tokoh dalam Kitab Suci itu, terpilih sebagai yang terbaik dalam kaumnya, diakui penguasa kerajaan, tetapi tetap kukuh mempertahankan identitas. Demikian pula "Sadrach Jawa di Ibu Kota, Batavia, yang juga berdampingan dengan pejabat tinggi pemerintah kolonial seperti Anthing, tapi - seperti akan kita lihat nanti berjuang sepanjang hidupnya untuk memperoleh hak yang sama dengan orang-orang Belanda, juga lewat agama Kristen - meski sia-sia. Boleh dikatakan, pemilihan nama itu merupakan kunci seluruh kasus Sadrach alias Radin Abas. Sesudah dibaptis, Sadrach ditugasi oleh Anthing, seperti yang dikerjakan Tunggul Wulung, menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di Batavia. Apa yang terjadi kemudian? Sadrach pun sebetulnya kurang berminat pada pekerjaan seperti itu. Tidak ada jawaban yang pasti, dan, menurut penuturan Yotham, ia akhirnya meninggalkan Batavia "tanpa pamit". Sebagai seorang yang telah "terpilih," oleh Anthing, tindakannya itu tentu saja cukup mengherankan. Sadrach berangkat dari Batavia dengan berjalan kaki, pertengahan tahun 1867. Lewat Bandung dan Cirebon - di sini ia berhenti di rumah pendeta dan orang-orang Belanda - ia kembali ke daerah asalnya, Semarang. * * * Di Semarang Sadrach bertemu dengan bekas gurunya, Sis Kanoman, dan "Ajar Gunung Kelud" yaitu Tunggul Wulung, yang sebelum masuk Kristen pernah bertapa di gunung itu. Di masa ini Tunggul Wulung telah membangun beberapa desa Kristen disekeliling Gunung Muria: Banyutowo, Tegalombo, dan, yang paling terkenal, Bondo di Jepara Utara. Apa yang dilakukan Tunggul Wulung di Semarang? Ia membujuk orang-orang Kristen di kota itu untuk menetap di Bondo, dan ini merupakan pukulan telak kepada Hoezoo. Tampaknya Tunggul Wulung berhasil: sekelompok kecil, terdiri dari beberapa keluarga yang dipimpin Sis Kanoman dan Sadrach, berangkat menuju ke sana. Ketika melewati Jepara, mereka singgah dan bertamu di rumah Misionaris Jansz, kemudian selama tiga jam lagi meneruskan perjalanan. Dan begitulah pekerjaan Tunggul Wulung: bepergian ke sana kemari mempropagandakan desa yang baru itu. Kepemimpinan di Bondo, kapan saja ia tak ada, diserahkannya kepada Sis, dengan Sadrach sebagai penanggung jawab persoalan spiritual. Tetapi keadaan menjadi memburuk gara-gara Sis: cara hidupnya dinilai tidak dapat dijadikan teladan. Ia mengisap madat, dan selain itu terlalu lama meninggalkan desa. Beberapa keluarga sampai-sampai kembali ke Semarang, dan beberapa lainnya tetap tinggal di Bondo di bawah pimpinan Sadrach. Kemudian Sadrach melakukan perjalanan ke Jawa Timur - tak jelas apakah karena kurang puas dengan eksperimen Bondo dan ingin mencari model yang baru. Yang jelas, ia pergi ke Surabaya, lalu Mojowarno dan di sini bertemu dengan Paulus Tosari. Dalam perjalanan pulang, ia mengunjungi Jansz dan mengusulkan agar orang-orang Kristen di Bondo diterima saja dalam komunal yang dipimpin Jansz. Tapi tawaran ini tidak diterima. Jansz ternyata menaruh syak terhadap Sadrach. Ia juga menilai, "pengaruh positifnya kelihatan sangat terbatas". Sadrach pulang kembali ke Bondo. Tapi ketika itu Tunggul Wulung juga pulang ke Bondo. Dan kepulangan ini ternyata tidak menyenangkan Sadrach yang waktu itu telah dianggap sebagai kepala dari komunal kecil itu. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai apa yang terjadi secara persis, namun, yang terang, persaingan kedua tokoh itu telah menimbulkan pertikaian. Ia pernah tinggal di ibu kota (Batavia) dan pernah dekat dengan orang-orang besar di kalangan penjajah seperti Anthing, Wakil Ketua Mahkamah Agung, atau Esser, bekas residen. Padahal, betapa panjangnya daftar nama orang Belanda yang telah dihubungi Sadrach. Sebaliknya Lion-Cachet, pendeta yang dikirim oleh masyarakat misionaris Negeri Belanda (1890) untuk mengecek berita simpang-siur tentang kristenisasi di Bagelen itu. Sikapnya mencerminkan sikap penjajah: kritiknya kepada Sadrach - yang paling menusuk - dicerminkan oleh sebuah foto yang dimuatnya dalam bukunya yang ditulisnya kemudian, Een Jaar op reis in dienst der Zending (1896). Di situ diperlihatkannya Sadrach duduk di kursi, tidak lagi di lantai seperti orang Jawa di hadapan Belanda. Pada Sadrach sendiri, periodenya selama ini justru memperlihatkan betapa seorang guru sedang dalam proses kelahiran. Ia menolak menjadi sekadar "kolportir" seperti yang ditugaskan Anthing, tetapi mencoba mengelola komunal Kristen Jawa yang merdeka memang ia pernah menjadi pemimpin di Desa Bondo itu. Tidak keliru kalau dikatakan bahwa Sadrach, akhirnya, tiba di Bagelen untuk mencari suatu kawasan tempat ia mencoba menghayati sendiri pengalaman menjadi pemuka. * * * Pusat Kristen yang paling jauh dan paling penting, di Jawa Tengah, terdiri dari desa-desa baru Kristen yang didirikan Tunggul Wulung di sekeliling Gunung Muria. Jumlah pengikut Tunggul Wulung pernah mencapai seribu orang. Di dekat itu, di Jepara, ditemukan pula kelompok kecil orang Kristen yang dipimpin Jansz. Pada 1885 jumlah mereka tidak lebih dari 150 orang. Di Semarang terdapat pula komunal kecil Kristen yang dibina Hoezoo. Ke barat, di Muara Tua, dekat Tegal, Residen Keuchenius mengumpulkan sejumlah kecil orang Kristen Jawa dan menggunakan pengaruhnya untuk mengusulkan pengiriman misionaris bagi komunal itu. Misionaris yang pertama datang adalah Vermeer, yang kemudian pindah ke Purbolinggo - 1865 dan digantikan oleh rekannya, Stoove. Sejak 1867 Stoove dibantu seorang pendatang baru, Bieger. Tahun 1869, Stoove meninggalkan Jawa tinggallah Bieger seorang diri di Tegal. Diperkirakan anggota kelompok ini hanya 100 orang. Di timur, dekat Salatiga, terdapat sebuah komunal kecil (50 orang) yang merupakan "buah" pengabaran Injil Nyonya Le Jolle. Sepulangnya ke Negeri Belanda, wanita ini berusaha sekuat tenaga agar dapat dikirimkan dari sana seorang misionaris untuk melayani bekas pengikutnya itu. Upayanya tak sia-sia: tahun 1869 sampailah di Salatiga Misionaris Boer. Di Purbolinggo juga ditemukan sebuah komunal kecil yang terbentuk dari pelbagai kalangan. Pengabaran Injil yang pertama dilakukan oleh Tunggul Wulung. Setelah itu oleh seorang Jawa yang memakai nama Johanes Vrede, bekas murid Hoezoo, dan akhirnya, untuk komunal Cina, oleh Paulus Khow Tek San. Di sebelah selatan, di Purworejo, dijumpai sebuah komunal kecil yang diasuh suami-istri Philips - yang jumlahnya bertambah, menurut Adriaanse, sampai 29 orang. Dan akhirnya di Banyumas ada sekelompok orang yang dikristenkan Nyonya Oostrom-Philips, saudari Philips Purworejo jumlahnya mencapai 30 orang. Jadi, secara keseluruhan, jumlah orang Kristen pribumi di Jawa Tengah, menjelang 1870, tidak lebih dari 1.350 orang - dengan catatan: seribu di antaranya pengikut Tunggul Wulung. Untuk melayani umat yang hanya ratusan ini tersedia tujuh orang misionaris yang cakap dan berpendidikan tinggi. Hanya, jangan lupa bahwa sama sekali tidak ada koordinasi antara mereka masing-masing bekerja di daerah yang diberikan berdasarkan konsesi dari masyarakat misionaris yang mengirim mereka, yang tergabung dalam lima perkumpulan yang berbeda-beda. Di pihak lain, sangat penting dicatat bahwa dua kawasan yang luas yang akan ditaklukkan Sadrach, yaitu Bagelen dan Banyumas, saat itu kosong dari misionaris. Demikianlah umat Kristen itu: kelompok minoritas cilik, tenggelam dalam massa pemeluk Islam atau golongan yang tidak beragama, tapi cukup terbina oleh misionaris. Bukan tempatnya di sini untuk mengkaji keabsahan pembedaan yang sering dilakukan orang: belahan utara Pulau Jawa dengan Islamnya yang lebih ortodoks, dan bagian selatan yang lebih terbuka bagi sinkretisme. Jika penyederhanaan seperti itu diterima, menjadi sukar untuk mengakui betapa pentingnya Islam di selatan Jawa Tengah: Ponorogo, yang memiliki pesantren terkemuka, terletak di selatan. Keluarga Kajoran yang terkenal itu, yang berasal dari Mbayat, dekat Klaten, dan dalam perjuangannya melawan Belanda pada abad XVII mempergunakan daerah yang disebut "mesir" sebagai basisnya, banyak punya pengikut yang menetap di Bagelen sebagian besar dari mereka juga berpusat di Gunung Kidul. Selain itu dapat ditambahkan bahwa Yogya merupakan suatu kesultanan, dan raja-raja Yogya dan Solo bergelar Kalifatullah. Diponegoro pun dalam perjuangannya menentang Belanda memainkan kartu Islam agar gerakannya lebih merakyat. Daerah yang menjadi sasaran penelitian kami ini terletak di pertengahan pada belahan selatan Provinsi Jawa Tengah. Di sini terdapat masyarakat religi yang homogen: Islam dan Kejawen hidup berdampingan. Walaupun tingkatannya tidak sama, kedua golongan saling mengadaptasikan unsur-unsur masing-masing. Menurut Adriaanse, banyak santri terdapat di bagian selatan Bagelen. Anehnya, tidak seorang pun pernah mengungkapkan bahwa semasa Sadrach di Karangjoso terdapat sebuah pesantren - yang masih aktif sampai sekarang, dan dikelola oleh keluarga yang sama. Berdasarkan sumber lisan di desa ini dapat diketahui bahwa murid-murid pesantren itu dahulu berdatangan dari seluruh Jawa, terutama Jawa Timur. Keadaannya sekarang kurang menggembirakan: hanya terdapat delapan santri dari desa-desa terdekat. Seluruh kehidupan keagamaan, dalam pada itu bergantung pada sejauh mana rapatnya hubungan penduduk dengan sang guru - entahlah ia Islam, Islam model Jawa atau semata-mata Kejawen. Sadrach memperoleh sukses karena ia berhasil menyelusup ke dalam struktur ini. Berkat keterangan Lion-Cachet dan Adriaanse, kita dapat mengetahui bahwa pada saat kedatangan Sadrach di Bagelen terdapat enam guru yang berpengaruh. Tiga di antaranya tergolong Islam santri: yang satu adalah peramal datangnya Ratu Adil satu lagi cuma pereguk kesempatan dari murid-muridnya yang gampang percaya. Tidak diperoleh informasi mengenai Guru yang seorang lagi. Meskipun pemeluk Islam itu sering melalaikan ibadat, kehidupan sosial di desa tetap bergerak dengan irama seremonial Islam. Upacara khitanan, perkawinan, dan kematian, di samping sesajen yang setengah resmi, merupakan hal-hal yang lebih dipentingkan kebanyakan orang Islam di banding amalan lain. Tentu saja tidak bisa dilewatkan sebuah kelompok lain - yang jumlahnya sangat kecil tapi sangat besar pengaruhnya. Yakni orang-orang Belanda. Sebagai pengusaha partikelir, pegawai negeri, dan tentara. mereka mendominasi semua kota di bagian selatan Jawa Tengah. Kota itu adalah kota garnisun yang muncul pada zaman Perang Diponegoro - seperti Purworejo, Magelang, Ambarawa, dan Cilacap, yang kemudian jadi pusat administrasi, dan kota perkebunan, seperti Wonosobo, Kebumen, dan Banyumas. Mereka merupakan kelompok elite, menjadi "idola" bagi penduduk yang lambat-laun terbiasa dengan kehadiran mereka, dan punya gereja sendiri. Yaitu gereja Protestan yang kiranya dibangun untuk menyatukan pengikut pelbagai mazhab yang ada dalam agama ini. Di kota-kota kecil pun orang-orang Belanda itu dengan bangga membangun rumah ibadat dengan gaya neogothik di samping Alun-Alun, di tempat yang biasanya diisi kantor residen, masjid, atau rumah bupati. Demikianlah gambaran masyarakat pada saat kedatangan Sadrach di Purworejo, 1869. * * * Ketika memutuskan untuk berangkat ke kota itu, Sadrach tahu betul ke mana ia harus pergi. Kedatangannya di Purworejo dituturkan oleh Yotham sebagai: "pergi ke Desa Tuksongo, tempat tinggal Pandito Philips. Philips . . . adalah seorang Belanda yang bisa berbahasa Jawa dengan sangat baik, demikian pula istrinya . . .Karena mengusahakan tanah pertanian, mereka mempunyai lumbung penuh padi yang dimanfaatkan untuk menghidupi saudara-saudara Kristen Jawa. Mereka mempunyai seorang anak angkat, yaitu Pangeran Kutoarjo yang kemudian menjadi bupati. Rasul Sadrach pun datang dan tinggal di sana. Karena ia disenangi sang pendeta, Sadrach juga diambil sebagai anak angkat. Sang rasul (Sadrach) dengan gembira membantu mereka mengajar agama ... (suami-istri Philips) tidak punya anak." Cuplikan di atas sangat bermanfaat menggambarkan kenangan Sadrach dalam berhubungan dengan suami-istri Philips. Pasangan ini sebenarnya baru datang di Purworejo. Sebelum pensiun, mereka tinggal di Ambal, dekat Kebumen Philips bekerja sebagai pengawas perkebunan nila pemerintah. Meski suami-istri ini berhasil mengukir nama mereka dalam sejarah kristenisasi di Bagelen, sebetulnya bukan mereka saja yang mempropaganda-kan agama ini di kalangan orang Jawa. Sejumlah orang Belanda pensiunan juga ambil bagian. Berdasarkan laporan Heyting dapat disebutkan beberapa nama. Schneider, yang juga pensiunan pengawas perkebunan nila pemerintah. Kielberg, dahulunya juga mempunyai profesi serupa. Selain itu Van Holy, purnawirawan kapten. Di Kutoarjo, 10 kilometer dari Purworejo, ditemui Brouwer, juga bekas pengawas perkebunan nila. Mereka semua mampu berbahasa Jawa: waktu tinggal di tempat terpencil - perkebunan - mereka semata-mata berhubungan dengan orang Jawa. Di lingkungan Gereja Protestan Purworejo pun mereka kemudian membentuk suatu komite satu-satunya pada masa itu - yang mengurus orang-orang Kristen Jawa, yang sebelum kedatangan Sadrach jumlahnya cukup banyak. Jelaslah ketika itu belum timbul ketegangan antara orang Belanda dan orang Jawa. Akhirnya Sadrach, untuk kedua kalinya, dijadikan anak angkat oleh orang Belanda saat itu ia berusia sekitar 35, dan tinggal dalam waktu lama di rumah Philips. Kemudian dengan berat hati berangkat ke Kutoarjo setelah diangkat sebagai "pendeta" oleh Nyonya Philips. Tetapi, mengapa? Penyebabnya sederhana saja. Beberapa orang Kristen dari Jawa Timur atau Utara telah berkunjung ke Tuksongo sebelum kedatangan Sadrach. Termasuk Abisai. Ia ditugasi oleh suami-istri Philips untuk melayani umat Kristen Purworejo dan sekitarnya. Citra tentang Abisai yang dimiliki para misionaris Belanda berupa sedikit sanjungan terhadap seorang bekas petani yang tidak begitu cerdas tapi sangat berpengaruh (toh tidak mampu mengkristenkan orang-orang). Suatu waktu pernah para misionaris ini mempergunakan Abisai untuk melawan Sadrach. Namun, peristiwa ini tak terulang karena para misionaris itu sadar akan kepicikan pandangan Abisai. Di antara pengabar Injil itu Sadrach-lah yang paling unggul. Dengan demikian, ditambah sifat bangga yang memang khas miliknya, Sadrach ingin menaklukkan daerah yang sama sekali masih "perawan". Tugas melayani orang-orang Jawa yang telah dikristenkan para misionaris Belanda itu biarlah dikerjakan oleh Abisai-Abisai itu. Pemilihan daerah yang belum tersentuh oleh propaganda Kristen itu memang sejalan dengan keinginan Sadrach yang ingin mencari daerah yang betul-betul dikuasainya, tempat ia mempertunjukkan semua kebolehannya. Yang menarik, sebagai basis, kembali ia memilih keluarga Belanda di Kutoarjo, kali ini keluarga Brouwer - meskipun ternyata ia hanya singgah. Di sini tampak keinginan, jika bukan ambisi, Sadrach untuk dianggap sebagai seorang guru atau seorang kiai. Kenyataannya, orang-orang yang pertama-tama dikunjunginya kemudian adalah kiai-kiai, meski tidak jelas kaliber mereka. Ia mencari mereka dengan tujuan melakukan semacam "perang tanding". Yang pertama didatangi adalah yang bernama Ibrahim, yang tinggal di Sruwah, dan bisa dikristenkan. Yotham menambahkan, mereka lalu melakukan kristenisasi berdua, bahkan Ibrahim pula yang membawa Sadrach ke Karangjoso. (Sruwah terletak beberapa kilometer di utara Kutoarjo, dan Karangjoso sekitar 7 km selatan Kutoarjo). Yang ditemui mereka adalah kiai yang bernama Kasanmentaram, asal Sruwah tapi kemudian pindah ke Karangjoso dan tinggal di rumah mertuanya yang sudah duda, Suromenggolo. Kasanmentaram dahulunya pernah menjadi murid Sadrach di sebuah pesantren di Jawa Timur Sadrach tinggal di rumahnya dan berikhtiar mengkristenkan-nya. Berhasil. Sadrach lalu membawa Kasan dan istrinya ke Purworejo untuk dibaptis 6 Februari 1871. Kasanmentaram memperoleh nama Paulus, istrinya Deborah. Menurut Yotham, mereka tidak punya anak. Proses pengkristenan Kasanmentaram dan istrinya digambarkan dengan cermat oleh Yotham, karena episode ini sangat menentukan dalam pengambilan keputusan Sadrach untuk menetap di Karangjoso. Toh Yotham (karena risi?) dan Adriaanse (karena tidak tahu?) dan Lion-Cachet (entah apa yang di tulisnya andai kata ia tahu!) tidak pernah menyinggung apa yang diketahui semua murid Sadrach, bahkan oleh penduduk Karangjoso sekarang ini. Kasus itu adalah: ketika kalah dalam perdebatan melawan Sadrach, Kasanmentaram, bekas murid itu, sebagai tanda takluk dan hormat kepada "guru baru", mempersembahkan istrinya kepada Sadrach. Apakah Sadrach dan Tompo (nama asli si istri) lalu menikah di gereja? Adriaanse sebetulnya secara implisit menjawab pertanyaan itu dengan ya. Kebetulan pula Lion-Cachet membenarkan adanya perkawinan Sadrach ini dengan membicarakan mertua Sadrach. Entahlah. Yang jelas, hubungan mereka tidak membuahkan anak. Perlu pula dicatat bahwa Yotham telah melukiskan Tompo dengan baik: ketika masih remaja, katanya, gadis itu bagai anak berandal, senang mengenakan pakaian lelaki dan suka menunggang kuda. Orang Jawa yang mengenal Sadrach secara pribadi tentu akan mengatakan bahwa Tompo, yang kemudian bernama Deborah itu, kenyataannya tidak pernah jadi istri Sadrach. Hanya sekadar inyo, semacam wanita peliharaan. Ini tidak mengherankan jika dilihat kehidupan Sadrach yang tadinya memang sepi dari perempuan, terutama bila dibandingkan dengan Coolen, Tosari, atau Tunggul Wulung. Tapi yang paling jelas, di Karangjoso Sadrach tidak usah memikirkan uang: sejak "perkawinan" itu ia hidup di tengah keluarga "istri"-nya. Ternyata, kehadiran Sadrach di Karangjoso tidak identik dengan pendirian desa baru seperti di Jawa Timur atau di sekeliling Gunung Muria. Meski demikian, sumber lisan dan Yotham memberikan gambaran tentang pembangunan desa baru: dikatakan orang bahwa Sadrach melakukan pembukaan hutan di Karangjoso. Sebenarnya Karangjoso sebuah desa yang sudah jadi, dan semasa Sadrach tidak dilakukan pembukaan hutan apa pun. Di samping desa terdapat perkebunan nila - entah milik pemerintah, entah milik swasta - dan tempat itu sekarang dikenal dengan nama Mbabrik (pabrik). Kemudian nila tidak diperjualbelikan lagi akibat penemuan zat warna kimiawi oleh Bayer. Perkebunan ini ditutup, dan Sadrach membeli tanah tersebut 90 gulden, demikian kata Adriaanse. Tapi mengapa Sadrach dianggap pembuka hutan? Bukankah tidak ada hutan sama sekali di daerah datar ini? Berdasarkan yang disampaikan nenek moyang mereka, orang-orang itu rupanya membayangkan alam yang tandus berawa-rawa, di sana sini ditumbuhi tumpukan semak belukar. Karangjoso tentulah desa yang pertama-tama digarap agar dapat ditanami, ketika tanah mulai langka karena pertambahan penduduk. Fondasi bangunan-bangunan di sini menjadi kentara karena ada bagian-bagian yang ditinggikan untuk menghindari banjir. Adanya perkebunan nila juga membuktikan bahwa tanah di sekeliling desa itu masih kosong, karena menjelang 1850 perkebunan praktis hanya dapat dibuka di tanah yang belum digarap. Dapat dibayangkan, Karangjoso bagai sebuah pulau subur di tengah rawa. Itulah sebabnya daerah yang dilanda banjir ini dianggap penduduk "sangar" dan "angker". Syahdan, di dekat rumah Sadrach terdapat "sawah landa". Kata orang: lelaki yang sudah menikah, yang berani menanami sawah itu, pasti akan mati dan istrinya menjadi janda. Nah: Sadrach mulai menggarap sebagian "sawah janda" itu. Dengan itu ia ingin memperlihatkan kepada penduduk kehebatannya mengalahkan setan dan segala dedemit. Tampak pula di sini salah satu kekhasan Sadrach: ia tidak berusaha mendirikan desa baru seperti yang jadi "mode" waktu di kalangan umat Kristen, terutarma para misionaris Eropa yang bermimpi untuk mengelompokkan orang Kristen dalam rangka membentuk semacam teokrasi kecil yang merdeka. Tetapi Sadrach menetap di desa yang pemeluk Kristenya baru dia seorang. Dengan menanami tanah bekas dihuni ruh-ruh jahat" itu, secara simbolis ia telah menyempurnakan pembukaan hutan yang dulu dilakukan pendiri desa. Tapi pada fase ini pula muncul kerancuan yang sering dituduhkan terhadap Sadrach. Ketika itu guru Kristen berkelok ke dua jurusan: atau kejawen, seperti Tunggul Wulung, atau kebelanda-belanda-an seperti Tosari. Sadrach justru berusaha berada di tengah dua dunia yang berdampingan tanpa saling jamah itu. Dan bersama dengan itu dakwahnya berlanjut, dengan metode yang sama: berjalan ke mana-mana mengunjungi guru-guru terkemuka (meski, anehnya, ia tidak menantang kiai-kiai di pesantren besar Ponorogo atau Jombang) dan berusaha mengkristenkannya. Jika tidak berhasil, dilancar-kanlah tantangan "perang tanding" di depan umum. Kadang-kadang perdebatan itu bersifat dramatis: kedua tokoh itu berhadap-hadapan, dan para murid duduk beberapa langkah di belakang guru masing-masing. Sebelum dimulai di tetapkanlah aturan permainan: Sadrach berjanji, andai kata kalah, ia akan masuk Islam, dan jika menang, si lawan masuk Kristen dan tunduk kepadanya. Paling tidak, dua nama disebut sebagai yang masuk Kristen lewat cara itu, selain Ibrahim dan Kasanmentaram. Yakni Coyontani dan Ronokusuma. Meski merupakan "guru Jawa paling terkemuka" di lingkungannya, Sadrach tetap mengakui otoritas orang yang menamainya kang angon (gembala). Yaitu Nyonya Philips. Murid-murid barunya selalu dibawanya ke tempat Nyonya Philips untuk menerima pelajaran agama. Hari Minggu diajaknya mereka menghadiri kebaktian di Tuksongo, atau di Kutoarjo, atau lebih jauh ke tempat keluarga Brouwer. Untuk menampung "banjir santri" itu, suami-istri Philips membangun sebuah "gereja" di pekarangan rumahnya. Mula-mula Nyonya Philips menerangkan kepada mereka dasar-dasar agama Kristen, khususnya Ikrar Keyakinan, Bapa Kita, dan 10 Firman Tuhan. Kadang-kadang wanita ini mendatangkan pendeta dari Gereja Protestan Purworejo, waktu itu Troostenburg de Bruijn (penulis biografi pendeta-pendeta Hindia Belanda), yang hanya bisa berbahasa Melayu. Suami-istri Philips yang menerjemahkan khotbahnya ke bahasa Jawa. Fase terakhir adalah pembaptisan oleh pendeta. Pada mulanya semuanya berjalan lancar. Pada dewan paroki terdapat sebuah komite yang mengurus orang-orang Kristen Jawa, dan sang pendeta membaptis mereka dengan senang di Gereja Purworejo yang secara resmi hanya diperuntukkan bagi orang Belanda itu. Perlu diingat bahwa dalam waktu 10 tahun, suami-istri Philips hanya berhasil mengkristenkan 29 orang, itu pun termasuk wanita dan anak-anak. Malah di antara mereka terdapat sejumlah orang yang sudah bekerja pada keluarga Philips, misalnya pembantu rumah tangga. Orang-orang Kristen Jawa ini di gereja merupakan kelompok minoritas yang masih bisa di tolerir. Tapi berkat Sadrach, pengkristenan ini berlangsung dengan kecepatan luar biasa. Tanggal 6 Februari 1871, Troostenburg membaptis Kiai Kasanmentaram bersama istri dan 19 orang Jawa lain. Akhir 1871 sudah terdapat 75 orang yang baru dibaptis (dalam tempo satu tahun tiga kali lebih banyak dari semua yang dicapai suami-istri Philips selama 10 tahun). Tanggal 15 Agustus 1872, 39 orang lagi dibaptis tanggal 26 Oktober 180 orang, dan akhirnya 5 April 1873 sebanyak 310 orang. Dalam jangka tiga tahun dapat dibaptis 612 orang. Selama tiga tahun itu perbandingan ras di dalam jemaat Kristen itu betul-betul terbalik: orang Kristen Belanda itu jadi minoritas di gereja mereka. Dan mereka pun tidak senang. Dengan segera, hubungan antara kedua kelompok mulai merenggang dan orang-orang Jawa lambat-laun kian menjauh dari upacara gereja. Penggunaan bahasa Belanda, yang tidak mereka mengerti, dalam acara kebaktian, sudah tentu menimbulkan keengganan. Mulanya setiap Minggu mereka berkumpul di rumah keluarga Philips atau Brouwer. Tetapi tahun 1870 Nyonya Brouwer jatuh sakit, dibawa ke Purworejo, dan meninggal. Sejak itulah Sadrach mulai mengumpulkan orang Kristen Jawa itu di rumahnya di Karangjoso. Tahun 1871, dengan bantuan pengikutnya, ia membangun sebuah gereja dari kayu, yang merupakan gereja pertama di Karangjoso. Di sana, tentu, Sadrach memimpin misa dan membacakan khotbah. Apakah ini suatu pertanda munculnya keinginan Sadrach untuk bebas merdeka? Agaknya ia melihat gejala antipati masyarakat Belanda terhadap mereka, yang Jawa-Jawa itu, meski ia masih menjalin hubungan erat dengan beberapa misionaris. Tentu perasaan kurang enak inilah yang mendorong Sadrach menciptakan sistem yang disesuaikan dengan kebutuhan kongkret orang-orang Jawa itu: kebaktian dalam bahasa Jawa, dan diselenggarakan di dekat rumah. Dengan alasan serupa, tahun berikutnya Sadrach membangun dua gereja lagi di dekat desa-desa yang didiami pemeluk Jawa. Sejarah pembangunan gereja Karangjoso, seperti diceritakan Yotham, layak dilaporkan di sini karena pada kisah ini terlihat jelas betapa mudahnya orang Jawa mengintegrasikan agama Kristen ke dalam tradisi. Ketika masih kecil, Roro Tompo (Deborah, istri Sadrach) sangat disayangi kakeknya. Suatu hari, kakek dan cucu berjalan-jalan ke Karangjoso yang terletak tidak begitu jauh dari Sruwah, tempat tinggal mereka. Ketika itu sang kakek memberi "wejangan-wejangan". Katanya, "Ketika dunia akan kiamat, engkau akan melihat sesuatu di selatan Ketug (maksudnya Karangjoso) dan di tanah yang lebih tinggi tempat sekarang terdapat kedung (lubang yang dalam). Akan tampak sebuah masjid agung yang tergantung di udara tanpa sesuatu yang menopang. Ketika ini terjadi, itulah pertanda dunia akan berakhir ...." Ternyata, katanya, lubang itu terdapat di sebelah rumah Sadrach, dan sampai sekarang dipercayai orang bahwa pohon-pohon kelapa yang tumbuh di dalamnya tingginya mencapai permukaan tanah di sekitar tempat itu. Dengan kata lain, kedalaman lubang itu sepanjang pohon kelapa. Murid-murid Sadrach menimbuni lubang itu, dan di atas timbunan itulah didirikan gereja Karangjoso. Yang menarik, seperti halnya pada kelompok Tunggul Wulung, bangunan mereka itu disebut mesjid bukan gerejo. Tampak lagi bahwa tradisi Jawa dan Islam bukan saling mengenyahkan, malah bercampur aduk dengan ajaran Kristen. Alhasil, Sadrach, selama dua tahun 1871-1872 telah memulai mengorganisasi para pengikut. Tahun 1872 ia membentuk tujuh komunal dan membangun dua gereja. Kemampuan organisasinya yang spontan dan intuitif ini merupakan salah satu kelebihannya. Pada saat jumlah orang Kristen meningkat, sehingga tidak dapat ditanganinya sendiri secara langsung, ia pun tidak ragu-ragu mengangkat para bekas guru Islam yang ditaklukkannya itu,sebagai pembantunya dalam penyebaran agama. Lalu diangkatnya pula dua asisten yang boleh dikatakan berperan sebagai manajer. Dua bersaudara, Johannes dan Markus (ayah Yotham), dipilih untuk tugas ini. Mereka antara lain mengawasi pengorganisasian komunal-komunal, di samping mengumumkan keputusan-keputusan Sadrach. Dan Sadrach tetap saja mengundang suami-istri Philips, yang mendatangi Nyonya Oostrom di Banyumas dan mengajaknya berkunjung ke komunal-komunal Sadrach di desa-desa terpencil di daerah Purworejo. Sadrach mempersiapkan perjalanan ini begitu rapi, sehingga merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi suami-istri Philips (walaupun sang suami, Philips, merasa risi). Untuk melayani komunal kecilnya, biasanya Nyonya Oostrom memanggil Pendeta Vermeer dari Purbolinggo. Beberapa tahun kemudian, Vermeer melukiskan perjalanan pertamanya itu dalam majalah Opwekker. ". . . Beberapa kali aku mengikuti suami-istri Philips dan Sadrach dalam rombongan ini. Seakan-akan jalan menuju Bagelen diperuntukkan khusus untuk kami beberapa hari sebelum kedatangan kami, orang-orang Jawa yang akan dibaptis itu telah dikumpulkan ...." Dalam perjalanan terakhir, Juli 1873, Vermeer dalam waktu 17 hari membaptis lebih dari seribu orang. Tidak perlu dikatakan bahwa Vermeer secara pribadi, sampai saat itu, gagal dalam mengajak orang masuk Kristen. Perjalanan ini bagi dia merupakan kenangan yang paling indah. Menurut Vermeer sendiri, di mana-mana orang Belanda berpesta merayakan pembaptisan yang sukses itu. Mereka tidak menyadari bahwa angka luar biasa itu - seribu orang terbaptis dalam perjalanan terakhir Vermeer - bukanlah berkat jasa ketiga orang Belanda itu. Di sini ada sesuatu yang berada di luar agama: pengaruh seorang guru. Vermeer sendiri menganggap, ia membaptis orang-orang Kristen pengikut suami-istri Philips, sedangkan Sadrach hanya pembantu pasangan Belanda itu. Di segi lain, dapat pula dibayangkan dangkalnya pengetahuan agama orang-orang Jawa yang tinggal jauh dari Purworejo dan tidak dapat menghadiri pengajian suami-istri Philips itu. Lagi pula, Nyonya Philips jatuh sakit sepanjang tahun 1873, sedangkan Pendeta de Bruijn pun pergi. Jadi, Varmeer membaptis orang-orang Jawa itu tanpa sempat mengecek bekal agama mereka. Ini layak dikemukakan karena tak lama kemudian orang-orang Belanda melancarkan kritik terhadap pengikut Sadrach yang menurut mereka kurang mengetahui agama Kristen. * * * Tetapi, tidak terbantah lagi, orang-orang Belandalah yang memulai perselisihan dengan orang Kristen Jawa. Kisah ini memang tidak jelas, dan sumber misionaris Belanda, dapat dimaklumi, tidak memberikan penekanan pada episode ini. Untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya, terpaksa diusahakan membaca yang tersirat dari bahan-bahan yang ada. Lokasi peristiwa masih tetap Purworejo yang berpenduduk kurang dari 10.000 jiwa, sebuah kota kolonial yang terpencil: waktu itu belum ada jalan kereta api. Sebuah kota mungil di pedalaman, dengan perumahan, orang-orang Belanda yang bagus-bagus, dengan jalan raya yang pinggirnya ditanami pohon-pohon asam yang besar. Pegawai sipil dan militer berlomba-lomba membangun vila mereka yang elok di tengah-tengah kebun. Kota kecil itu terlalu luas untuk menampung bangunan pemerintah yang jumlahnya hanya beberapa. Keresidenan, bangunannya sudah disesuaikan dengan kondisi tropis, dengan tiang-tiang model Yunani (Doria). Beberapa meter di belakang gedung ini terdapat penjara dan Gereja Protestan. Kaum pribumi tinggal di sekeliling bangunan itu. Di dekat Masjid Agung di Alun-Alun adalah Kauman. Di belakangnya terletak perumahan orang-orang Belanda, dan kampung Cina dengan rumah-rumahnya yang khas, yang sekaligus merupakan pusat perdagangan. Bangunan lainnya adalah beberapa gudang milik VOC, dan benteng tempat tinggal tentara kolonial bumiputra. Yang tak tersangka adalah pemakaman Belanda di tengah-tengah kota: masing-masing kubur dengan marmar dan patung yang khas menebarkan suasana tanah leluhur. Dengan mengamati makam yang sekarang hanya setengah terpelihara ini, akan diperoleh sepotong gambaran tentang kehidupan di kota kecil ini abad yang lalu: terdapat pembedaan antara golongan pegawai pemerintah dan penguasa swasta - dua-duanya Belanda. Yang satu lebih banyak uangnya, yang lain lebih berkuasa. Residen adalah pribadi terpandang yang berfungsi hanya semacam tugu, bagaikan monumen kematian yang selalu menjadi saksi. Tugasnya cuma mengurus persoalan administrasi ringan semuanya telah diatur Pusat. Para pembantunya - biasanya tinggal di kota-kota yang lebih kecil - disibukkan dengan masalah pengawasan tak henti-henti terhadap rakyat pribumi. Di antara para pegawai Belanda ada yang berkedudukan cukup baik sehingga punya hak, sarana (dan selera) untuk membawa serta keluarga mereka dari seberang yang jauh. Selain itu terdapat pula mereka yang datang ke Hindia Belanda sendirian - umumnya tergolong dalam jenjang kepegawaian yang lebih rendah. Biasanya mereka mengambil wanita Jawa sebagai gundik. Anak-anak yang lahir dari hubungan semacam ini nantinya akan membentuk suatu dunia tersendiri bila sang bapak pulang selama-lamanya ke negeri asal. Berdasarkan ciri-cirinya yang ada di pekuburan Belanda tadi, dapat pula diketahui siapa di antara mereka yang menganut Kristen dan siapa yang tidak percaya akan agama. Juga ada pembedaan antara pendeta Gereja Protestan yang merupakan pegawai negeri yang dihormati (jika meninggal dimakamkan di depan gapura masuk) dan para misionaris yang tidak memperoleh imbalan layak. Setelah melewati kehidupan yang sumpek di kota, orang (Belanda) tidak dapat dengan mudah menemukan tempat rekreasi lalu pergi ke mana? Kalau liburan cukup panjang, yang kaya akan mencari udara segar ke Wonosobo yang terletak di pegunungan. Di Purworejo sendiri, orang (Belanda, lagi) saling mengundang dan bertengkar: terlalu banyak acara dalam komunal Belanda yang secuil itu. Tuan Residen tentulah harus mengurus tetek-bengek ini dan itu secara tak terbatas maka malam pun merambat dengan hangat dan panjang. Sementara itu, makin banyak orang sakit yang sering-sering harus meninggal. Beberapa orang hanya memimpikan pulang ke Belanda, sedangkan mereka yang sukses ingin tetap tinggal. Di kota kecil ini mereka saling mengintai kelemahan, dan iri. Hubungan masing-masing dengan rakyat pribumi hanya hubungan atasan dengan bawahan. Di tengah-tengah, di antara masyarakat Belanda dan bumiputra, terdapat kelompok peranakan yang tadi. Terdapat perbedaan-perbedaan kecil yang mempunyai dampak besar antara mereka - seperti hak untuk mempergunakan kereta surat. Selain Belanda dan pribumi, ada lagi golongan-golongan Arab dan Cina semua terbagi-bagi, sendiri-sendiri. Peristiwa paling kecil pun, yang terjadi di komunal Belanda yang terbatas itu, segera berkembang menjadi semacam epos. Dalam dunia yang tertutup itulah berkembang kejadian-kejadian di seputar kristenisasi ini. Ketidaksenangan komunal Belanda, akibat sangat banyaknya komunal Jawa di Gereja Purworejo yang didirikan khusus untuk Belanda itu, di tahun 1872 itu memunculkan konflik. Di antara para anggota Komite Paroki timbul perselisihan. Mula-mula antara Philips dan Schneider, yang sama-sama pensiunan pengawas perkebunan. Philips akhirnya mengundurkan diri. Menurut laporan Heyting yang menyimpan arsip Gereja Purworejo, "Residen sendiri yang turun tangan dengan mengangkat Schneider sebagai penanggung jawab registrasi pembaptisan kaum pribumi, dan Kielberg menggantikan kedudukan Philips." Kemudian antara Schneider dan Kielberg pun timbul pertengkaran - dan kali ini kelihatannya Kielberg yang menang karena Schneiderlah yang mendapat giliran pergi meninggalkan Purworejo. Data di atas hanyalah semacam perincian dari persaingan yang cukup keras di kota kecil ini, yang meledak setelah keberangkatan Pendeta Troostenburg ke Semarang. Menurut daftar dari pos-pos yang pernah ditempatinya, Troostenburg berangkat ke Semarang April 1873, dan baru beberapa bulan kemudian sudah memperoleh cuti pulang ke Negeri Belanda. Padahal, selama ini pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memutasikan pegawai (pendeta adalah pegawai) yang baru bertugas beberapa bulan - seperti Troostenburg di Semarang itu. Tentu ada apa-apa di balik peristiwa ini, dan bukti-bukti memang cukup banyak. Dua hari sebelum keberangkatannya, misalnya, Troostenburg berhasil membaptis 310 orang Jawa, jumlah luar biasa yang dapat ditafsirkan sebagai "perjuangan sampai titik darah penghabisan" sang pendeta. Membaptis banyak Jawa bisa berarti punya akar di kalangan Jawa - dan memang begitulah pendeta ini. Pengganti Troostenburg adalah Thieme, penulis buku Roses et orties: coup d'oeil sur cette vie. Intrik tampak lebih jelas: pada 7 April juga, yang merupakan hari keberangkatan Troostenburg, Thieme memutuskan untuk "memisahkan diri secara total dari misi". Mungkin ini hanya sekadar dalih untuk pura-pura menyelamatkan muka, dengan alasan orang Kristen Jawa tidak mau menerimanya. Padahal, Gereja Protestan sendirilah yang sudah berbulat hati untuk memutuskan hubungan dengan Jawa-Jawa itu. Mengenai gereja, direncanakan akan diadakan pemisahan secara rasial (persis seperti yang berlaku di Afrika Selatan, misalnya saja). Sangat menarik untuk dilihat, betapa kemudian Belanda, dengan mudahnya, memutar balik kenyataan dengan meletakkan tanggung jawab ketegangan antar ras itu kepada kaum pribumi. Contoh: analisa yang dibuat Heyting dalam laporannya tahun 1883. Benar bahwa Heyting baru tiba di Purworejo tahun- 1878, jadi lima tahun kemudian. Namun, mustahil bila peristiwa ini tidak pernah lagi dibicarakan dalam lingkungan gereja di kota kecil. Di samping itu, Heyting memiliki arsip paroki di tempat kediamannya, dan teranglah - sebagaimana terlihat nanti - ia membaca arsip itu. Toh ia menulis: "Ketika Pendeta Troostenburg de Bruijn berangkat, 1873, komunal Kristen pribumi sama sekali tidak mau berhubungan dengan penggantinya, Thieme. Bahkan mereka berkata, entah benar entah tidak, sang pendeta pengganti itu tidak sesuai dengan keinginan mereka .... Semua ikhtiar untuk bekerja sama (dengan Sadrach dan pengikutnya) telah gagal dalam rangka memperluas dominasinya Sadrach pindah ke Karangjoso ....." Padahal, Thieme memutuskan untuk memisahkan diri dengan komunal Jawa pada hari keberangkatan Pendeta yang digantikannya, dengan kata lain pada hari atau keesokan hari kedatangan Thieme sendiri di Purworejo. Cukupkah tempo yang sesingkat itu bagi orang-orang Jawa, dan Sadrach, untuk menilai bahwa "Thieme kurang perhatian terhadap mereka"? Di pihak lain, Sadrach berangkat ke Karangjoso bukan untuk mengambil jarak dengan orang Belanda ia sudah tinggal di sana sejak tiga tahun sebelumnya. Akan halnya "semua ikhtiar untuk bekerja sama (dengan Sadrach) telah gagal", pernyataan itu tidak masuk akal. Dapat dibayangkan betapa sakit hati Sadrach dan pengikutnya setelah orang Belanda, yang dikomandoi sang pendeta, menutup pintu Gereja Purworejo dari mereka. Dan ini mempunyai dampak sangat besar terhadap garis haluan yang akan ditetapkan Sadrach bagi pengikutnya. Vermeer, misionaris yang sudah merasa sukses dengan "tur pembaptisan" yang sudah disebut, sekarang ini beramal dengan mengintegrasikan pengikut Sadrach di daerah Banyumas ke dalam kelompoknya. Tetapi reaksi tajam, sekarang, datang dari Soleman, pribumi penyebar Kristen di daerah itu: pemeluk Kristen pengikut Sadrach, katanya, tidak berhubungan lagi dengan londo Kristen. Sebagaimana diketahui, para penanggung jawab komunal tidak pernah melakukan sesuatu tanpa persetujuan guru mereka. Jadi, dapat dipastikan bahwa pernyataan di atas memang berasal dari Sadrach yang bertekad memutuskan hubungan dengan Vermeer. Misionaris ini, seperti orang-orang Belanda lainnya, sangat menyepelekan Sadrach. Ia, yang sangat terkesan oleh prestasi "1.000 pembaptisan dalam 17 hari", sebenarnya tidak mengerti apa yang terjadi. Vermeer menulis surat kepada Philips, memintanya menjadi penengah antara Sadrach dan dirinya. Philips menyanggupi, dan mengirim tangan kanannya, Markus. Tetapi perundingan Sadrach-Vermeer berubah menjadi pertengkaran - dan dengan ini hubungan Sadrach dengan gereja-gereja Kristen betul-betul putus. Konsekuensinya: orang Jawa pengikut Sadrach tidak mungkin lagi menerima sakramen (pemberkatan). Heyting bisa menambahkan: "Dendam Sadrach terhadap orang Kristen Belanda semakin membara. Ia bahkan melarang pengikutnya dan anak-anak mereka dibaptis, dengan dalih bahwa itu sama sekali tidak berguna untuk Pengadilan di Akhirat nanti ...." Juga, menurut Heyting, komunal itu tidak lagi memakai istilah "ajaran Kristen". Melainkan "agama suci". Akhirnya, meski dapat dibuktikan bahwa Sadrach sangat menaruh hormat kepada Nyonya Philips, tidak ada tanda-tanda bahwa hubungan mereka masih berkelanjutan seperti semula. Untuk pertama kalinya, sejak pertengkaran dengan Vermeer, Sadrach memperlihatkan wajah yang sebenarnya: wajah seorang guru yang angkuh, dan dengan sadar bersikap tegar dan berkuasa penuh di tiap komunal. Sikap ini pada gilirannya menimbulkan berbagai kesulitan pada Sadrach. Kabar angin dan gosip yang berasal dari lingkungan Vermeer mulai menyerang kiai yang berani menentang kemauan seorang Belanda ini. Karena kabar burung itu segera tersebar luas, pergunjingan pun menjadi semakin nyata di Bagelen. Jembatan yang menghubungkan orang Belanda dengan orang Jawa ambruk sudah. Dan sumber-sumber Belanda yang kita miliki terhenti pada tahun-tahun 1874, 1875, dan 1876. Sedikit sekali yang kita ketahui, sehingga sukar melukiskan peristiwa itu secara kronologis. Yang jelas, Sadrach tidak menghentikan dakwahnya. Setelah menjelajah dataran rendah, ia mulai menaklukkan daerah pegunungan. Lalu di Jembangan, dekat Purworejo, tahun 1874 ia membangun gereja yang ketiga sesudah gereja-gereja Karangjoso dan Banjur - terletak dekat rumah bekas guru yang dikristenkannya, Kiai Coyontani. Pada saat ini terdapat 2.500 orang pengikut Sadrach dan tiga rumah ibadat. Di masa ini juga, menurut Heyting, muncul kabar angin yang aneh dan sukar dipercaya, menyangkut pribadi Sadrach: ia memiliki tanda-tanda pada kedua tangannya yang membuktikan bahwa dialah Kristus. Suatu ketika ia, berada dalam gereja yang tertutup, dapat menghilang - dan muncul kembali tiga hari sesudah itu. Pengikutnya menafsirkannya sebagai bukti-bukti bahwa ia bukan manusia biasa. Ia tidak hanya sekadar disebut imam (pemimpin agama) melainkan juga bopo, kiai, dan tiyang sepuh (orang tua). Sumber isu ini lagi-lagi lingkungan Vermeer Sementara itu, Vermeer sendiri sudah mengakhiri tugasnya - diperhentikan secara resmi - dan meminta pulang ke Belanda. Ia dipulangkan tahun 1877. Dan bulan Mei 1876, Nyonya Philips meninggal. Usianya 51 tahun. Si suami kemudian menetap di rumah saudarinya di Banyumas. Dua orang Belanda yang penghabisan, yang baik terhadap Sadrach, telah pergi. Tidak berarti bahwa hubungan antara Sadrach dan Philips Yotham lalu hanya memiliki kata-kata pujian terhadap suami-istri Philips itu mereka adalah "orangtua angkat sang kiai" (menurut Yotham, ungkapan itu berasal dari Sadrach sendiri). Kecuali keluarga Philips, tidak ada nama Belanda yang disebut dalam "Manuskrip Karangjoso". Bahkan tidak nama Wilhelm, misionaris yang punya hubungan yang meyakinkan dengan Sadrach. Sadrach telah memulai babak baru. * * * Sepeninggal Nyonya Philips itu, ia memutuskan untuk betul-betul menguasai para pengikutnya dan sejak itu orang Belanda tak henti-henti menuduhnya bangga dan haus kekuasaan. Untuk "meresmikan" perubahan keadaan itu, Sadrach - waktu itu 40 tahun, piatu, dan berada di "gereja yang lain" menambahkan Suropranoto di belakang namanya. Merupakan hal biasa, terutama di kalangan priayi, memakai - atau, lebih tepat, memohon - nama baru kepada Raja, pada saat kenaikan jabatan, misalnya. Kebiasaan ini masih tetap hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama-nama itu biasanya terdiri dari kata Sanskerta atau Jawa kuno yang bunyinya saja sudah mendatangkan semacam keningratan bagi yang menyandang. Karena bukan priayi, Sadrach sebenarnya tidak boleh secara resmi memakai nama itu. Tetapi tidak dapat disangkal, dengan mempergunakan nama Suropranoto sekaligus ia ingin mempermaklumkan bahwa ia menganggap dirinya "yang berani memimpin, berkuasa" - arti nama itu. "Memimpin" itu (pranata) dengan segera akan berasosiasi dengan ide kekuasaan, lalu kekuasaan politik. Ini hanya menjelaskan bahwa sebagian tuduhan yang dilancarkan terhadap Sadrach selalu berkaitan dengan pemakaian nama Suropranoto ini. Dalam kenyataan, Sadrach memang telah menyempurnakan organisasi komunal-komunalnya yang makin lama makin tersebar. Ia mengadakan pertemuan para penanggung jawab pelbagai komunal atau kelompok di Karangjoso, setiap 35 hari, jadi setiap satu bulan Jawa, pada Selasa Kliwon. Organisasinya adalah campuran dari tradisi dan kenekatan. Yang dikristenkannya adalah lapisan-lapisan yang sudah terstruktur (guru-murid). Dengan pintar ia mempertahankan keadaan semacam ini. Sebab itu, mengherankan, dalam sumber Belanda, semua guru dinamakan pastor. Sadrach mengintegrasikan mereka dalam suatu kesatuan yang jauh lebih luas dari dahulu. Ia kembali mengambil sesuatu yang ternyata telah dibiarkannya begitu saja selama ini: kekuasaan nyaris tak terbatas, terhadap para pengikut. Bukan saja pusat keputusan sekarang berada di Karangjoso tetapi setiap komunal memilih para tetua beserta bekas guru mereka sebagai wakil mereka, dan "grup direksi" baru inilah yang datang ke Karangjoso. Selain itu juga terdapat "pendeta keliling" yang berjalan dari desa ke desa menyebarkan agama. Dan, di atas semuanya, terdapat Sadrach, yang menginspeksi pelbagai komunal atau mewakilkannya kepada dua tangan kanannya, Johannes dan Markus. Sadrach mengatur persoalan para pengikutnya lewat surat yang boleh dikatakan resmi - dan inilah yang membuatnya nanti dikecam pemerintah. Karangjoso betul-betul menjadi pusat komunal. Tak ada lagi hubungan dengan hirarki Kristen yang semata-mata Belanda itu. Mereka ini merupakan kelompok penting penganut Kristen yang - gara-gara ulah orang Belanda - berada benar-benar di luar gereja, dan, resminya, di luar berkat. Tapi itu riwayat masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus