Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mati lewat proteksi

Pemerintah amerika selama 20 th lebih melindungi industri tekstil dalam negerinya. keadaannya kini semakin merosot. kejadian ini bisa dijadikan studi kasus yang patut direnungkan pemerintah indonesia.(kl)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJAWAB pertanyaan sebuah komisi Senat Amerika dalam suatu dengar pendapat baru-baru ini, tentang mengapa perusahaannya tidak menggunakan tekstil buatan dalam negeri, seorang eksekutif Nike - produsen alat-alat olah raga dari Oregon, AS, yang sudah punya nama - menjawab: "Tuan-tuan Senator yang terhormat. Sebenarnya kami lebih senang membeli bahan dari perusahaan tekstil Amerika. Tetapi ternyata mereka tidak mau menunjukkan kerja sama: tidak sanggup memenuhi jumlah yang kami pesan, tidak sanggup membuat desain yang kami tetapkan, tidak sanggup memenuhi waktu pengiriman yang kami jadwalkan. Mereka ingin mempertahankan cara-cara produksi yang lama, tidak ingin mengubah diri, sekalipun tuntutan sudah berubah." Itu kiranya cukup menggambarkan keadaan industri tekstil Amerika dewasa ini. Herankah kita, kalau kemudian mereka terdesak oleh saingan impor? Ironisnya, justru industri tekstil ini yang paling banyak menerima proteksi dari pemerintahnya. Tarif bea masuk di AS rata-rata 5%, tapi untuk impor tekstil mencapai 25%. Bukan itu saja. Tiap tahun pemerintah Amerika melakukan perundingan dengan negara-negara pengekspor tekstil untuk menetapkan jumlah yang boleh diekspor masing-masing ke Amerika. Maksudnya untuk melindungi industri tekstil Amerika dari saingan impor, sementara mereka perlu waktu untuk memperbaiki dirinya. Pembatasan seperti itu memang dilakukan juga untuk barang-barang lain, seperti baja dan mobil, tapi umumnya hanya meliputi jangka 3-4 tahun - sedangkan "pembatasan sementara" impor tekstil sudah berlangsung 23 tahun, dan tampaknya tak akan pernah berakhir. Bisa lebih ganas pengaruhnya terhadap ekspor tekstil negara berkembang bila RUU pembatasan impor tekstil seperti yang disetujui Kongres Amerika baru-baru ini berhasil menjadi UU. Argumen yang selalu dikemukakan pihak proteksi adalah perlunya defisit neraca perdagangan AS, yang sudah sangat besar, diperkecil. Namun, mereka jarang mengemukakan mengapa defisit itu bisa demikian besar. Kebijaksana-an moneter di AS adalah begitu rupa hingga lahir tingkat bunga yang paling tinggi di muka bumi. Akibatnya, dolar dicari orang buat ditanam di AS - karena dengan tingkat bunga yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, AS telah merupakan magnet. Sebaliknya, dolar yang bernilai tinggi itu telah memukul ekspor Amerika sendiri dan menaikkan impornya. Argumen lain: proteksi diperlukan untuk mencegah pengangguran - yang sering digambarkan sudah sangat parah. Namun, ternyata, statistik mengungkapkan kebalikannya. Selama tiga tahun ini, delapan juta lapangan kerja baru bisa diciptakan, jauh lebih besar dari yang diciptakan di negara industri lain. Tingkat pengangguran terus turun, sebaliknya tingkat pengangguran di Jepang naik menjadi 13% dan di Eropa Barat 17%. Kejelekan proteksionisme sudah sering dikemukakan. Dan untung masih banyak kalangan di AS yang menyadari bahayanya. Pandangan mereka: proteksi, dalam bentuk pembatasan impor dengan tarif tinggi atau dengan kuota, akan menaikkan harga barang impor, yang pada gilirannya meningkatkan inflasi. Dan dengan inflasi, daya saing industri dalam negeri di pasaran internasional terpukul. Amerika, yang pembatasan impor Amerikanya menyebabkan berkurangnya penghasilan dolar negara-negara lain padahal permintaan dolar dari negara-negara lain terus bertambah, baik untuk keperluan impornya maupun untuk pembayaran utang. Nilai dolar dengan sendirinya naik, karena tak adanya keseimbangan antara persediaan dan permintaan. Akibatnya, seperti yang dihadapi Amerika sekarang, ekspornya terhambat - karena barang Amerika menjadi mahal - dan impor meningkat karena murah. Industri yang mengandalkan ekspor kehilangan daya saing. Belum lagi kenyataan bahwa industri yang mendapat proteksi tak akan pernah dewasa. Produsen tekstil Amerika baru saja melancarkan kampanye anti-Coca-Cola secara besar-besaran, ketika diketahui bahwa perusahaan minuman ini memesan, kaus dan logonya dari Hong Kong dan Macao. Coca-Cola sempat ketakutan dan menghentikan pembelian tekstilnya dari koloni itu, bahkan berjanji untuk membeli kausnya dari perusahaan tekstil Amerika. Fakta menunjukkan bahwa sekalipun industri tekstil AS sudah diberi proteksi cukup besar selama 20 tahun lebih. keadaannya malah makin merosot. Karena itu, apa yang terjadi di sana merupakan suatu studi kasus yang menarik, yang seharusnya bisa pula direnungkan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya masih meraba-raba cara bagaimana melakukan proteksi untuk industri dalam negerinya. Ed Jenkins, dan 261 anggota Kongres AS lainnya yang menyetujui RUU pembatasan impor tekstil, boleh merasa sebagai juru selamat. Namun, Ronald Reagan mungkin masih berpikir: jalan paling cepat untuk membunuh industri tekstil AS adalah dengan menandatangani RUU tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus