Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Islam di mata "pensiunan" pendeta

Pengarang: b.j. boland jakarta: grafiti pers, 1985 resensi oleh: deliar noer. (bk)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGUMULAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: BJ. Boland Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985, 285 halaman + indeks SEBAGAI terjemahan, kitab ini mengundang pembahasan dari dua segi: terjemahan itu sendiri, dan isi kitab. Suatu terjemahan yang baik tentu diharapkan bukan saja sedapat mungkin mendekati pengertian dan isi yang dikandung kitab aslinya tapi juga semangatnya. Dalam hal-hal tersebut, terjemahan kitab Boland ini memperlihatkan kekurangan, baik dalam arti maupun dalam semangat. Kata struggle, umpamanya, diterjemahkan dengan berbagai variasi: "pergumulan" (dalam judul), "perjuangan" (halaman 6 dan 57), dalam bentuk kata kerja dengan "bergulat" (halaman 1) studies dengan "naskah-naskah" (halaman 2) seharusnya "kajian-kajian" apalagi mengenai karangan yang sudah terbit general assembly dengan "sidang umum" (halaman 47) padahal maksudnya "kongres" at any rate dengan "dalam ukuran apa pun" (halaman 52), seharusnya "betapapun ", "sekurang-kurang-nya" pamphlet dengan "naskah singkat" (halaman 215), "karangan singkat" (halaman 231), padahal kata "pamflet" telah umum dipakai stocktaking dengan "penilaian", sebaiknya "pencatatan permasalahan" atau "daftar permasalahan". Sebagai kalimat atau anak kalimat, dijumpai juga terjemahan yang kurang tepat. Misalnya, "Sekarang ini hal itu telah dapat dirumuskan secara tepat" untuk "Now it has rightly been said" (halaman 1) padahal kata it meng-antisipasi anak kalimat yang dimulai dengan that ("bahwa"), dan sebab itu tidak perlu diterjemahkan, apalagi dengan "hal itu". "Hal itu" menunjuk kepada maksud kalimat sebelumnya. Dalam hal semangat terjemahan, kekurangan mencolok terletak pada penerjemahan kembali berbagai kutipan, yang aslinya sudah dalam bahasa Indonesia. Kutipan ini seharusnya dikembalikan kepada teks aslinya yang berbahasa Indonesia, bukan diterjemahkan dari bahasa Inggris. Umpamanya, ucapan Supomo (halaman 21 dan 22) seharusnya diambil langsung dari kitab Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian juga tentang Manifest (bukan manifesto) Politik partai Masjumi, 6 Juni 1947. Kutipan Manifest itu merupakan terjemahan dari kutipan Boland, sehingga berbunyi: Republik Indonesia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam, haruslah merupakan suatu negara dengan suatu undang-undang dasar yang berlandaskan asas-asas yang sesuai dengan agama ini atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Padahal teks aslinya: Negara Republik Indonesiayang penduduknya sebagian besar pemeluk Igama Islam, adalah suatu Negara berundang-undang Dasar, dengan sendi-sendi yang dibenarkan oleh Igama Islam, atau tidak bertentangan dengan petunjuk-petunluk Igama Islam. Terjemahan oleh penerjemah (padahal ia merupakan kutipan !) menggambarkan adanya semacam tuntutan (dengan kata haruslah) dari partai bersangkutan, sedangkan teks asli sekadar memberl penegasan apa yang ada (dengan kata adalah): bahwa mayoritas penduduk beragama Islam, bahwa Republik Indonesia sudah mempunyai satu UUD yang isinya "dibenarkan oleh. . . Islam, atau tidak bertentangan dengan . . . Islam". Boland sendiri tidak lepas dari kesalahan ini, karena ia terjemahkan adalah itu dengan shall be (yang artinya memang "harus") dan bukan dengan is. Memang Boland tidak mengutip bagian dari Manifest, yang mengatakan bahwa partai tersebut "merasa wajib memperkukuh dan mempertahankan sendi-sendi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia". Tentang isi, tiga bab pertama kitab ini membahas peranan dan perkembangan umat Islam dalam periode: 1945-1955, 1955-1965, dan 1965 serta sesudahnya, dengan berhenti pada sekitar 1970. Bab terakhir mencatat berbagai masalah yang dihadapi umat Islam di Indonesia seperti dilihat pengarangnya. Ada hal-hal yang kurang sinkron dalam ungkapan Boland di sini. Dengan tegas Boland mengemukakan bahwa ia bermaksud untuk "membahas perkembangan keadaan di Indonesia dari kaca mata Islam" (halaman 2). Maksud ini terlalu ambisius, apalagi ia menimbulkan pertanyaan lanjutan: Apakah dengan "kaca mata Islam" itu dimaksudkan "ajaran Islam"? Ajaran mana dari Islam itu? Ataukah maksudnya dipandang dari sudut umat Islam? Dan bagian umat yang mana? Dalam soal terakhir umpamanya, Boland membahas pengunduran diri NU dari Masjumi pada 1952, lebih banyak dari kaca mata NU. Tanpa menyertakan pendapat kalangan yang bertahan dalam Masjumi (halaman 49). Di samping itu, Boland juga mempergunakan sumber yang ia terima secara ragu-ragu. Ia, umpamanya, mempergunakan "keterangan yang samar-samar" (halaman 71) atau kata-kata yang senada, seperti "Jika saya tidak salah" (halaman 112), "Jika keterangan yang saya miliki adalah benar" (halaman 231). Dalam beberapa hal Boland memang kurang teliti mengecek sumber atau datanya. Misalnya, dikatakannya bahwa Muhammadiyah dan NU sebelum Perang Pasifik tidak masuk Majelis Islam A'laa Indonesia (MIAI), sehingga di perlukan untuk mendirikan Masjumi pada 1943 (halaman 13) padahal kedua organisasi ini merupakan tulang punggung MIAI, termasuk di masa Jepang. Boland juga mengatakan bahwa Subardjo telah mewakili Masjumi sebagai menteri luar negeri pada 1945 (halaman 29), di samping itu menyebut pula bahwa ia masuk, malah memimpin, PNI (halaman 43). Subardjo memang mewakili Masjumi dalam Kabinet Sukiman 1951-1952), hanya saja sebelumnya ia tidak dikenal sebagai tokoh ataupun anggota Masjumi. Boland menyebut pula Idham Chalid sebagai menteri agama (halaman 122 dan i55), dan ini tidak benar. Ia pun memberikan kesan bahwa semangat ukhuwah Islamiyah dunia Islam seperti tecermin dalam Manifest Politik Masjumi pada 1947 memperlihatkan pengaruh Mohammad Natsir (halaman 44), padahal Manifest itu adalah buah tangan Sukiman, Sjamsudin, dan Ki Taufiqurrahman. Boland juga terlalu menyederhanakan soal dengan mengatakan bahwa Mawdudi dan kelompoknya di Pakistan "dalam beberapa hal sebanding dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Darul Islam di Indonesia" (halaman 153). Memang banyak persamaan cita-cita antara Jama'at Islamy (organisasi Mawdudi) dan Ikhwanul Muslimin, tetapi melanjutkan persamaan itu ke Darul Islam di Indonesia, jauh panggang dari api. Perlu diperhatikan bahwa Kanun Asasy Negara Islam Indonesia (lampiran IV) mengandung lembaga-lembaga khusus (seperti lembaga Imam, Dewan Fatwa), tetapi dalam hal parlemen (yang disebut dengan Majelis Syuro) mirip dengan parlemen biasa. Malah pasal 32 Kanun Asasy NII itu mirip dengan pasal 33 UUD 1945. Cara perjuangan ketiga macam gerakan di ketiga negara itu pun memperlihatkan perbedaan mencolok. Dalam menguraikan periode kedua (1955-1965) Boland melihat betapa "perhatian telah dialihkan dari kehidupan politik kepada masalah-masalah pendidikan, pengajaran agama, pengembangan Islam, latihan kepemimpinan, dan penulisan bahan bacaan" (halaman 113), dan merujuk masalah ini pada kegiatan Kementerian Agama. Tetapi Boland merinci kegiatan kementerian ini pada 1950, dan bukan tahun-tahun sesudah 1955. Keterangannya tentang lembaga lembaga pendidikan (mulai halaman 117) agak kacau. Angka-angka yang diberikan tidak menyokong kesimpulannya. Akan lebih relevan kiranya bila ia lebih memperhatikan kegiatan masyarakat ketimbang kegiatan kementerian. Dalam bab IV, Boland membicarakan masalah-masalah politik, implementasi hukum Islam usaha implementasi itu di Aceh, usaha agar masyarakat menjadi masyarakat Islam, pendidikan, reformasi, liberalisasi, dan modernisasi, serta hubungan antara umat Islam dan Kristen. Sayang, dalam membicarakan masalah-masalah ini, Boland mempergunakan juga sumber-sumber yang dalam masyarakat Islam di Indonesia kurang berpengaruh. Umpamanya, tulisan-tulisan T.M. Usman al-Muhammady (halaman 171) dan H.A. Notosoetardjo (halaman 165), yang umumnya kurang berarti. Agak mengherankan bahwa dalam bagian "masalah-masalah politik" Boland tidak mempergunakan penerbitan kembali (sesudah 1965) berbagai dokumen Masjumi serta pemimpin-pemimpinnya yang dikumpulkan S.U. Bajasut. Pada bagian ".... menuju suatu masyarakat Islam" (halaman 193-203) tidak ada rujukan pada karangan Mohammad Natsir, Fiqhud - Da'wah yang telah diterbitkan berulang kali (cetakan kedua pada 1969), dan yang juga dipergunakan mahasiswa Malaysia di mana pun mereka belajar. Apakah Boland lebih memberikan perhatian pada mereka yang mulai menanjak naik, tetapi kurang tenar dan kurang berpengaruh? Dalam rangka ini Boland juga merujuk pada perdebatan di Konstituante pada 1959 tentang usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Perdebatan ini penting, tetapi sebenarnya ia hanya merupakan lanjutan perdebatan sebelumnya mengenai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini mencerminkan secara sungguh aspirasi wakil-wakil umat Islam dalam Konstituante, lepas dari afiliasi partai mereka. Dan ini tidak dibicarakan Boland. BOLAND tampaknya menaruh simpati pada tokoh-tokoh seperti Abdul Mukti Ali, yang pamfletnya dibicarakannya sepanjang lima halaman (halaman 215-220), dan Nurcholish Madjid (halaman 231-234). Keduanya memang menumbuhkan simpati pada sebagian kalangan, tetapi Boland kurang sekali mengemukakan bantahan kalangan lain terhadap mereka. Profesor H.M. Rasjidi dari kalangan yang lebih tua, dan Endang Saifuddin Anshari, yang sebaya dengan Nurcholish Madjid, seharusnya dirujuk agar memperoleh keseimbangan dalam menelusuri perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Hubungan antara umat Islam dan Kristen (halaman 234-253) tampaknya mencerminkan tujuan utama kajian Boland: agar kedua penganut agama tersebut "bersama membuktikan imannya melalui karya mereka masing-masing". Kutipan ini dari James 2 : 18 (Injil berbahasa Inggris memang menyebut James, tetapi Perjanjian Baru seperti yang diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia, dan berbahasa Indonesia, menyebut Jakub dan Boland juga merujuk pada Isaiah, yang dalam Al-Kitab berbahasa Indonesia disebut Yesaya). Agaknya latar belakang hidup dan pendidikan Boland, pengalamannya di Indonesia sebagai pendeta dan dosen pada Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta, pengamatannya yang menyimpulkan kurangnya perhatian kalangan Kristen dahulu di Indonesia terhadap masalah Islam dan umatnya telah menyebabkan ia tiba pada saran seperti itu. Dipandang dari sudut ini, kitab ini bersifat positif, dan berguna dibaca karena telah menggambarkan secara umum pasang surut kedudukan Islam di negeri ini sungguhpun mengandung berbagai macam kelemahan seperti telah dikemukakan di atas (tetapi hasil usaha manusia mana pula yang tidak mengandung kelemahan ?). Timbul pertanyaan: Apakah Boland akhirnya berhasil memenuhi maksudnya pada permulaan kajiannya, yaitu membahas perkembangan keadaan di Indonesia dari kaca mata Islam?" Baik juga di catat bahwa Boland telah sekitar lima belas tahun tidak dibenarkan pihak gereja untuk bertindak sebagai pendeta - suatu hal yang tidak disebut dalam sketsa biografi pengarang pada kulit belakang kitab ini. Deliar Noer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus