Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika ayat quran menjelma pada... ketika ayat quran menjelma pada ...

Pameran lukisan khatt (kaligrafi arab) karya abdul djalil pirous di taman ismail marzuki. setelah tersentuh oleh pameran besar seni islam timur tengah, ia menjadi pelopor lukisan khatt di indonesia.(sr)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAHAYA abu-abu terang membersit tegak lurus. Pelan ke samping, cahaya itu berubah keunguan, makin ke pinggir semakin gelap. Sebersit warna merah muncul, sedikit, di sisi bawah kanan bidang gambar. Dan pada cahaya terang kelabu itulah, dengan warna hitam dan biru, tertulis dengan huruf Arab berkait-kait Sural Al Lail. Demi malam yang menutupi cahaya siang, demi siang yang terang benderang, demi penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha tiap umat berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan . . . dan seterusnya. Itulah salah satu karya cetak saring Abdul Djalil Pirous, bertahun 1975, yang banyak dipuji. Empat tahun setelah pelukis kelahiran Meulaboh, Aceh, ini menekuni khatt kaligrafi Arab, tampaknya lukisannya jenis ini makin menemukan bentuknya yang khas. Ia tak membuat, misalnya, gambar dari huruf-huruf yang dirangkai-rangkaikan, sebagaimana khatt tradisional. Pirous, 52, juga tak sekadar menempelkan tulisan pada lukisan. Bidang, warna, garis, tekstur, dan huruf Arab sama-sama berfungsi, menyatu, membentuk satu karya seni rupa. Tak berlebihan, bila pelukis yang menerima hadiah seni dari pemerintah RI bulan lalu ini oleh banyak orang dianggap memelopori lukisan kaligrafi. Dan lukisan kaligrafi memang sangat berarti bagi Pirous yang menempuh SD dan SMP-nya dl madrasah. Lihat saja pameran instropektif Pirous yang kita bicarakan ini - 23-29 Oktober, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dari 50 lukisan dan 30-an karya grafis yang dipamerkan, hanya terhadap hasil-hasil dari pertengahan 1970-an - ketika lukisan kaligrafinya mulai mantap orang bisa bilang: ini karya Pirous. Sebuah perjalanan panjang tampaknya harus ditempuhnya terlebih dahulu sebelum namanya terpaku kukuh di dunia seni rupa kita. Mula-mula, 1950-an hingga awal 1960-an Pirous banyak melukis dengan gaya kubistis. Obyek, benda-benda, dipecah-pecahnya menjadi bidang kotak-kotak, diberi warna, diberi irama. Gaya yang diperkenalkan oleh Ries Mulder (guru di Seni Rupa ITB) ini tampaknya menganggap obyek hanya sebagai jembatan. Yang penting komposisi bidang dan warna. Toh, bagi Pirous, dunia luar terlalu menarik untuk dilupakan. Lahir pula karya-karya yang lebih menonjolkan wujud obyek daripada sekadar komposisi warna. Alam Benda, 1965, adalah sebuah contoh. Bentuk lampu gantung, vas bunga, botol, piring, patung, meja, jendela, lebih tampil. Ritme warna tak seritmis pada - misalnya - Akuarium, 1961, yang bergaya kubistis Mulder itu. Lalu, tercipta pula lukisan yang benar-benar nonfiguratif. Di akhir 1960-an kecenderungan ini memang ada di Indonesia. Pirous tampaknya tak mampu mengelak dari ini. Layang-Layang Aduan, 1968, adalah komposisi merah jambu dengan bidang layang-layang: sebuah kesegaran, dengan warna cerah. Lalu Daerah Terpencil, dari tahun yang sama, menyuguhkan warna-warna biru berat dengan sedikit aksen secercah merah dan putih. Yang juga perlu dicatat, Pirous banyak pula membuat tekstur, entah lewat lelehan cat atau dengan menggores-gores bidang. Bila selama itu nama Pirous belum menonjol benar, ia memang belum menyumbangkan sesuatu yang khas. Yang dikerjakannya pada masa itu juga dilakukan pelukis-pelukis yang lain: Sadali But Muchtar, Srihadi. Baru ketika ia tersentuh oleh pameran Seni Islam Timur Tengah, 1969, di New York, satu babak baru terbuka. Pameran ini bagaikan sengatan setrum yang menyadarkannya bahwa dalam dirinya tersimpan suatu kekayaan yang bisa jadi sumber kreasinya: dunia Quran, dunia huruf Arab - di Aceh, di masa kecil dan remajanya. Sejak itu ayat-ayat Kitab Suci pun menghias kanvasnya. Mula-mula, huruf-huruf Arab riuh memenuhi seluruh kanvas. Tulisan Putih, 1971, misalnya, merupakan komposisi dua bidang yang masing-masing penuh tulisan Arab. Tekstur di sana-sini memberi kesan sesuatu yang tidak utuh lagi, sesuatu yang telah retak, memberikan citra arkaik. Inilah, terutama, yang membentuk suasana. Teknik seperti itu bahkan kemudian memberikan imaji lempeng-lempeng kuno bekas nisan. Dalam beberapa karya, bahkan, bidang tempat Pirous menorehkan kaligrafinya benar-benar berbentuk nisan. KEMUDIAN, pertengahan 1970-an, Pirous membuat karya grafis cetak saring. Teknik ini memungkinkannya membuat kaligrafi lebih rapi dengan warna-warna lebih cerah. Selain itu nuansa warna lebih mudah dibuat. Nuansa itulah - lebih daripada tekstur pada lukisan-lukisannya terutama yang membentuk suasana pada grafis Pirous. Tampaknya, hal ini banyak membantu pelukis bercambang ini untuk melahirkan suasana yang sesuai dengan bunyi ayat Quran yang dituangkannya di dalam khatt. Al Lail atau "malam" yang telah disebutkan itu, misalnya. Atau Doa XII, Pengghormatan kepada Tanoh Abee, 1981, sebagai contoh yang lain. Sekeping bidang berbentuk mirip bukit tandus. Di sisi atas, secleret awan biru pada langit merah dan di antaranya huruf-huruf Arab yang berarti, "Allah berkuasa atas segalanya." Nuansa warna langit merah menuju bukit yang putih seolah mencitrakan betapa Allah bisa berbuat apa saja. Dan lihatlah Sehutan Kalam Selautan Mangsi, 1985, yang menggambarkan betapa besar Tuhan hingga tak cukup tinta selautan untuk menuliskan segala sifatnya. Sekeping lempeng putih pada warna oker, dan oker transparan yang tumpah tak merata pada keping itu. Lalu sebentuk bidang persegi yang di sisi atasnya garis dua setengah lingkaran bersanding. Di sisi kanan bidang itulah tertulis Surat Luqman Ayat 27. Di sisi kiri, terjemahannya: "Sekiranya segala pohon yang di bumi merupakan kalam, dan samudera merupakan mangsi ....". Bila karya Pirous ternyata juga dinikmati oleh mereka yang tak bisa membaca tulisan Arab, saya, misalnya, itu hanya membuktikan bahwa memang yang disuguhkannya bukan sekadar kaligrafi. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus