BAIK di Indonesia, di negara berkembang lainnya, bahkan di negara-negara maju, kebutuhan akan air bersih meningkat drastis, sementara sumber yang bisa diharapkan semakin terbatas. Di banyak negara berkembang di Asia dan Afrika, pengadaan air telah menjadi masalah serius. Agak mengherankan, memang, karena air tampaknya masalah remeh, apalagi berita banjir di banyak bagian dunia sering pula terdengar. Beberapa waktu lalu, orang berpikir untuk menyeret gunung es raksasa dari Antartika ke Timur Tengah, terutama ke Arab Saudi. Secara teknis, hal ini mungkin. Tetapi, dari segi ekonomis, akan terlalu banyak bagian yang mencair, dan terbuang percuma. Sebaliknya, laut merupakan sumber air yang tidak pernah kering, asal ditemukan cara penyulingan yang sederhana dan ekonomis. Berikhtiar menawarkan air laut memang sudah lama terpikir, bahkan jauh lebih dulu dari para "alkimiawan" berusaha mengubah timbal menjadi emas. Banyak cara sudah dijajal. Namun. bila dilakukan dalam skala besar dan tujuan komersial, penyulingan itu selalu kandas pada biaya yang tinggi karena besarnya energi yang dibutuhkan. Satu-satunya cara menarik ialah "penyulingan beku". Caranya sederhana, dan konsumsi energinya irit. Bila air membeku, zat-zat pencemar dan kontaminan otomatis dikeluarkan dari struktur kristal air es. Dengan segala hambatan mendesain proses tersebut selama 30 tahun terakhir, cara ini tetap dianggap paling menarik dan memberi harapan. Dalam pekerjaan penyulingan, cara paling banyak dan paling terkenal ialah yang disebut "osmosa terbalik" - proses yang menggunakan membran pemisah. Sekarang, sekitar 30% pabrik desalinasi menggunakan cara itu. Desalinasi beku tidak memerlukan pengolahan awal (pretreatment), dan masalah korosi hampir tiada. Tetapi, yang paling menarik ialah kehematan energi. Untuk mendidihkan air, misalnya, dibutuhkan energi 100 BTU. Untuk membekukannya hanya diperlukan 144 BTU. Proses pembekuan yang paling memberi harapan ialah yang dikemhangkan Ted Taylor dari perusahaan Nova. Pada dasarnya, metode Taylor beroperasi sebagai berikut. Pada hari dingin, ketika suhu mencapai 15,9C, air laut dipompa dan disemprotkan ke dalam semacam waduk plastik. Dari jumlah yang disemprotkan itu, 10% akan membeku. Garam serta unsur pencemar lain tidak akan terbawa ke dalam struktur kristal. Karena itu, dasar yang berongga (porous) akan terdiri dari es murni. Sisa yang asin akan tetap di atas, dan dicuci bersih. Cairan kental selebihnya dipulangkan ke laut. Dengan melakukan hal ini berkali-kali, akhirnya terdapat akumulasi es murni dalam volume besar. Bila cuaca panas tiba, es itu dengan sendirinya mencair, dan terhimpunlah air bersih dalam volume besar pula. Hasilnya berupa air dengan kandungan garam di bawah 500 ppm (partper million). Padahal, air laut rata-rata mengandung garam 30.000 ppm. Cara ini sangat sederhana, dan segera akan dipatenkan Taylor. Jika cara ini benar-benar berhasil secara ekonomis, yang pertama menikmati manfaatnya tentulah negara-negara dengan iklim yang memungkinkan suhu seperti yang disyaratkan oleh proses penyemprotan, yaitu 15,9oC. Negara-negara berkembang, dengan iklim yang panas, paling tidak untuk jangka waktu yang masih sulit diramalkan, tetap tidak akan mendapat kesempatan menikmati teknologi tersebut. Padahal, justru negara-negara berkembang dengan iklim yang panaslah yang sangat mengalami kekurangan air bersih. Satu hal menarik lagi dari metode Taylor ialah kemungkinan dampaknya bagi kehidupan lingkungan. Kendati sasaran utama Taylor faktor ekonomis, ia juga berharap, suatu ketika cara yang dikembangkannya ini bisa dipakai dalam usaha membasuh kembali air limbah. Sekali lagi, dan untuk jangka waktu yang belum bisa ditebak, negara-negara berkembang dengan iklim yang panas tetap harus bersabar memandang teknologi yang memihak iklim ini. Kecuali bila di negara-negara berkembang itu sendiri muncul teknologi baru yang cocok dengan iklim setempat. Siapa tahu. M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini