Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hitungan Kalicacing

Bertolak dari Perjanjian Salatiga, Pura Mangkunegaran memperingati peristiwa 250 tahun berdirinya Mangkunegaran. Menurut beberapa sejarawan, patokan itu kurang tepat.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semoga arwah Mangkunegara I dinaikkan ke dataran lebih tinggi,” kata KRMH Daradjadi G., ketua pengarah peringatan 250 tahun Mangkunegaran. Ia memotong tumpeng dengan lauk gereh Petek, ikan asin yang dikeringkan tipis dan membagikannya kepada para kerabat.

Mangkunegaran memiliki tradisi petek Mangkunegaran. Petek dari kata memetek, istilah dari dunia layang-layang. Biasanya, bila kita menaikkan layang-layang akan dibantu oleh orang yang memegang buntut layang-layang. Bila benang ditarik, layang-layang membubung ke angkasa. Memakan gereh petek pagi itu adalah simbol mendoakan arwah Mangkunegara I agar diterima Tuhan.

Itulah selametan di Kalicacing, Salatiga. Dulu, Kalicacing adalah desa berhutan lebat tempat Pangeran Samber Nyawa dan Sunan Paku Buwono III pada 17 Maret 1757 melakukan perundingan damai, disaksikan utusan kumpeni dan pihak Hamengku Buwono I.

Kalicacing kini di tengah Kota Salatiga, dekat alun-alun dan kantor pemda. Di pagi yang sejuk itu, di lapangan telah dipertontonkan iring-iringan yang menggambarkan prajurit-prajurit Samber Nyawa: laskar perempuan, Warog, laskar Cina. Lapangan terasa meriah. Anak-anak sekolah, aneka penjual, ibu-ibu tumplek blek.

Ya, Perjanjian Salatiga 1757 dijadikan patokan oleh Pura Mangkunegaran untuk memperingati 250 tahun kelahirannya. Satu patokan yang, menurut Sudarmono, sejarawan dari Universitas Negeri Solo, kurang tepat, sebab pada Februari 1756 RM Said telah turun hutan memenuhi undangan perdamaian PB III.

PB III menjemput sendiri RM Said bersama pasukannya di Desa Tunggon, dekat Bengawan Solo. Pertemuan itu mengharukan. RM Said mengenakan kain lurik, pakaian rakyat biasa. Dilukiskan, keduanya saling bertatapan. Mereka telah lama tak bertemu. Selama 16 tahun RM Said bergerilya di hutan dan bertempur melawan pasukan PB III, padahal sesungguhnya mereka masih kerabat. Sesaat kemudian meledaklah derai tawa masing-masing. Keduanya lalu berpelukan melepas kerinduan.

PB III menyerahkan kantor kepatihan Kasunanan untuk tempat tinggal Pangeran Samber Nyawa. Pada 24 Februari 1757, RM Said mendeklarasikan dirinya sebagai raja bergelar Mangkunegara I. Istana kepatihan Kasunanan kemudian menjadi istana Mangkunegaran. ”Sekarang yang menjadi pura Mangkunegaran itu,” kata Sudarmono.

Perjanjian Salatiga, menurut Sudarmono, dianggap RM Said sebagai pertemuan administratif saja. ”Jadi, sebenarnya ketika Perjanjian Kalicacing ini ditandatangani, secara de facto Samber Nyawa sudah menjadi raja Mangkunegaran.” Sudarmono mempertanyakan, mengapa peringatan 250 tahun Mangkunegaran yang dilakukan secara besar-besaran justru mengambil momentum Perjanjian Salatiga, bukan saat Samber Nyawa mendeklarasikan dirinya sebagai raja?

Sudarmono mengibaratkan momentum Samber Nyawa mendeklarasikan diri menjadi raja mirip proklamasi kemerdekaan RI yang tidak diakui Belanda. Belanda tidak mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan kita. Yang diakuinya 27 Desember 1949, saat ditandatanganinya penyerahan kekuasaan. ”Perjanjian Salatiga itu taktik Belanda yang tidak pernah mau mengakui kemenangan perlawanan Samber Nyawa,” ujar Sudarmono. Jadi, spirit nasionalisme Samber Nyawa, menurut dia, bukan tecermin dari Perjanjian Salatiga.

Meski Kasunanan bersedia membagi kekuasaannya, Mangkunegara kemudian tidak diperkenankan PB III memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar seperti di Keraton Solo. Ia juga tidak boleh mendirikan balai witana dan duduk di singgasana. Itulah sebabnya, dalam karya tari ciptaan Mangkunegara, penarinya tidak sembilan, melainkan tujuh.

”Itu bukan konsep tasawuf atau apa, tapi bagian dari birokrasi Kasunanan yang melarang Mangkunegaran memiliki bedaya dengan jumlah sembilan penari,” kata Sulistyo Tirtokusumo, penari senior. Itulah sebabnya, pada 1990, saat demokratisasi mulai bergulir, ia menciptakan kreasi Bedhaya Suryosumirat, karya yang melukiskan kepahlawanan Samber Nyawa dengan sembilan penari, bukan tujuh, dan dipentaskan di pendapa Mangkunegaran.

Seno Joko Suyono, Imron Rosyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus