Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari satu jam Ahmad Asik menggosok punggung kerbaunya di Rawa Pemokou, Kecamatan Menggala, dengan rumput. Sesekali ia menepuk punggung hewan itu sembari berbisik, "Hus… hus…." Kausnya basah kuyup, terguyur peluh dan air rawa. Sang kerbau tegak diam di hadapannya sembari memejamkan mata. "Kerbau harus dimandikan jika mulai menyendiri dan murung. Setelah itu, baru mereka mau makan lagi," ujar Ahmad kepada Tempo, yang menemuinya bulan lalu.
Pria 57 tahun itu adalah tokoh adat yang amat dihormati bila dikaitkan dengan ihwal kerbau. Sudah 40 tahun ia mengurus kerbau. Dia "menjabat" kepala kandang, yang bertanggung jawab atas ritual penggiringan kerbau dan kelayakan kandang. "Tugas ini warisan dari kakek saya," katanya. Di Tulang Bawang, ada empat marga yang menjalankan tradisi beternak kerbau liar. Ahmad adalah turunan ketujuh marga Tegamoan, marga tertua.
Wan Mauli Sanggem Baheramsyah, 65 tahun, Ketua Federasi Adat Megou Pak—paguyuban empat marga—mengatakan tak banyak tokoh adat yang mengurus kerbau puluhan tahun. Banyak yang keluar mencari penghidupan lain. ''Dia penjaga adat sejati,'' ujarnya.
Ahmad juga peternak paling sukses, sehingga banyak yang menitipkan kerbaunya. Sekarang ia memiliki 300 ekor kerbau dan merawat 150 ekor titipan orang. Salah satu pelanggannya Ahmad Fauzi, penduduk Sumatera Selatan. Lima tahun lalu, pria 45 tahun ini menitipkan dua kerbau betinanya. "Kini sudah ada sepuluh ekor," katanya.
Salah satu rahasia keberhasilan Ahmad Asik adalah memastikan kerbaunya dijual hanya ketika tak produktif lagi. "Saya hanya menjual kerbau jantan berusia di atas tiga tahun dan kerbau betina di atas sepuluh tahun," ujarnya.
Bahkan ada satu kerbau betina berusia 15 tahun yang masih ia pelihara. Namanya Waway Tegah. "Ia selalu membawa seekor anak setiap kali kembali ke kandang," kata Ahmad. Ia selalu mencari Waway lebih dulu ketika rombongan kerbau kembali dari hutan pada Januari-April. "Sudah banyak yang menawar, tapi harganya belum cocok."
Untuk mengurus kerbau sebanyak itu, ia pindah sementara ke gubuk di tepi Rawa Pemokou dan meminta bantuan delapan orang kerabatnya. Tugas mereka mencari rumput untuk makanan kerbau selama hewan-hewan itu dikandangkan. Bayaran mereka separuh dari jumlah anak kerbau.
Ahmad paham betul tabiat kerbau. Menurut dia, kunci menjinakkan hewan bertubuh besar itu adalah banyak memberi sentuhan dan tepukan lembut. Trik ini sangat berguna ketika menyambut kerbau yang kembali ke kandang. "Saat baru datang, mereka selalu beringas. Tapi, setelah dua hari di kandang, mereka langsung jinak dan bisa ditunggangi kembali."
Tapi pengalamannya tak selalu mulus. Sang kepala kandang pernah nyaris tewas ditanduk kerbau yang mengamuk. Ia tak hilang akal. "Saya berpura-pura mati. Kerbau baru meninggalkan saya setelah saya diam." Serangan itu meninggalkan "kenangan" bekas luka tujuh jahitan di paha kanannya. "Sudah risiko agar tradisi ini tetap berjalan."
Tradisi ini ia jaga betul. Ahmad selalu mengajak anak-cucunya merawat kerbau. Ia meminta mereka tinggal di gubuk seharian, membersihkan kandang, memandikan, memberi makan, dan menunggangi kerbau. "Saya ingin mereka akrab dengan kerbau dan tak jijik dengan kotorannya," ujar kakek enam cucu ini.
Ia juga melobi pemerintah daerah agar mengeluarkan peraturan untuk melindungi rawa dan hutan. Sang tokoh adat ingin mencegah kejadian seperti dua tahun lalu, ketika pemerintah daerah dan pemerintah pusat hendak mengalihfungsikan Rawa Pemokou menjadi area pertanian.
Satu lagi kekhawatiran Ahmad: banyak kerbau mati mendadak. Penduduk masih belum tahu penyebabnya. "Tapi pemerintah tak pernah membantu memeriksa kesehatan mereka. Terus terang, kami merasa sendirian melestarikan tradisi ini," ujarnya.
Syari Fani, Sadika Hamid (Jakarta), Nurochman Arrazie (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo