Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan sapi itu menunggu giliran disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Virgo, Jalan Margaluyu, Bandung. Selasa dinihari pekan lalu itu, para jagal beraksi dengan pisaunya hingga menjelang subuh untuk menyiapkan pasokan daging yang akan didistribusikan ke beberapa pasar di Kota Kembang.
Salah seorang jagal mengatakan waktu penyembelihan bisa dimulai sore jika pasokan sapi melimpah. Tapi belakangan ini suplai sapi menyusut rata-rata tinggal 20 ekor per hari. Dalam keadaan normal, RPH Virgo bisa menyembelih 40-50 ekor.
Di RPH Regol, juga di Bandung, malah hanya delapan sapi yang dipotong pada Rabu pekan lalu. Cuma separuh dari rata-rata harian ketika pasokan cukup. Menurut para pengelola RPH, kiriman sapi dari Magetan dan Kediri, Jawa Timur, tak lagi memenuhi kebutuhan mereka.
Sekretaris Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia di Jawa Barat, Robby Iskandar, mengatakan melorotnya suplai membuat peternak sapi perah tergiur menjual peliharaannya. "Harga daging terus naik, sedangkan harga susu stagnan. Akhirnya peternak menjual sapi perahnya," katanya Rabu pekan lalu.
Rakhmat, pemilik RPH Pangragajian di Lembang, Bandung, mengaku menyembelih sapi perah setiap hari. Alasannya, kiriman sapi dari Jawa Timur berhenti dalam enam bulan terakhir. "Harga di Jawa sudah mahal." Harga daging sapi yang bertengger pada kisaran Rp 80-95 ribu per kilogram sejak akhir tahun lalu juga memicu tingginya angka penjualan dan penyembelihan sapi betina, meskipun hal itu dilarang.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan harga daging yang mahal mendorong keuntungan di kalangan peternak sapi. Namun Ahmad Ali, peternak sapi dari kelompok Palagan Rojokoyo di Desa Bluri, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, membantah pernyataan itu. Menurut peternak yang memiliki 40 ekor sapi ini, tingginya harga daging lebih banyak menguntungkan rumah jagal dan pedagang daging.
Ali mengatakan kenaikan keuntungan yang diraup peternak paling besar Rp 2 juta untuk sapi berbobot di atas 350 kilogram. Itu pun mereka dapat setelah menggemukkan sapi selama empat bulan. Penyebab keuntungan yang tipis lantaran, "Saat ini harga sapi bakalan sudah mahal."
Hal serupa dirasakan Sumarsih, peternak 15 ekor sapi dari kelompok Bina Ternak Desa Campursari, Sidorejo, Magetan. Ia mengaku bisa untung Rp 5 juta untuk penggemukan selama enam bulan. Keuntungan itu memang naik ketimbang ketika harga daging sekitar Rp 65 ribu per kilogram. Saat itu, tiap sapi rata-rata menghasilkan laba Rp 3 juta.
Sumarsih lalu membandingkan dengan keuntungan yang didapat jagal dan pedagang, yang bisa untung Rp 7,75 juta untuk lima ekor sapi yang ia jual ke mereka. "Itu keuntungan dalam satu hari, sedangkan peternak harus menunggu enam bulan."
Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, juga sama saja. "Yang menikmati harga daging mahal adalah jagal," kata Musanip, ketua kelompok ternak Banyu Tangguh di Desa Banyumulek.
Pengusaha rumah jagal, Asnawi, tidak menampik jika disebut menangguk untung lebih banyak. Dia mengatakan para jagal mematok harga jual hampir dua kali lipat dari nilai pembelian mereka ke peternak. Ia berkilah daging yang diperoleh setelah penyembelihan hanya tersisa 40-45 persen bobot sapi hidup. "Kalau ambil untung kecil, tidak akan menutup kehilangan bobot," ujar Ketua Bidang Ekspor Impor Asosiasi Pedagang Daging Indonesia ini.
Sejak 2011, harga sapi ditetapkan pemerintah Rp 23 ribu per kilogram bobot hidup. Namun, pada saat pasokan tak memadai, harga jual sapi ditentukan mekanisme pasar. "Sekarang Rp 24-34 ribu per kilogram bobot hidup," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro.
Alhasil, peternak yang menjual seekor sapi berbobot 350 kilogram bisa memperoleh Rp 11,9 juta. Sedangkan pedagang mendapat Rp 13,6 juta jika berat daging bersih sapi itu 170 kilogram dan harga Rp 80 ribu per kilogram. Belum termasuk keuntungan dari menjual tulang, jeroan, dan kulit.
Akbar Tri Kurniawan, Supriyanto Khafid (Mataram), Risanti (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo