Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengubur Mimpi Berjuta Sapi

Pemotongan sapi betina produktif berada pada taraf membahayakan pengembangan populasi sapi nasional. Anggaran penyelamatan sapi betina disalahgunakan.

7 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK seperti anak sapi umumnya yang berlarian bila tidak diikat, lima ekor pedet di Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian, Surabaya, lebih memilih duduk meringkuk. Mereka berada di ruang transit ketika Tempo mereportase tempat penyembelihan hewan milik perusahaan daerah Kota Surabaya itu, Rabu siang dua pekan lalu.

Dua ekor pedet tampak bermanja-manja di dekat sang induk, sementara tiga lainnya menyendiri. Anak-anak sapi itu lahir di RPH ketika si induk menunggu giliran disembelih. Pekan lalu, Tempo mengunjungi sejumlah rumah pemotongan hewan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, serta Nusa Tenggara Barat dan menemukan fakta memprihatinkan tentang penyembelihan sapi betina produktif. Rata-rata 70-80 ekor sapi yang disembelih di RPH adalah sapi betina. Tidak sedikit di antaranya betina produktif.

Seorang jagal bercerita, jika sapi bunting telanjur digorok, si jagal akan segera membelek perut sapi untuk mengambil anaknya. "Kalau masih hidup, ya, dipelihara dulu." Pedet itu menjadi jatah jagal. Biasanya jagal akan memelihara sekitar setahun. Setelah itu, dijual atau langsung dipotong.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengkonfirmasi reportase Tempo. BPK mengaudit kegiatan pemerintah untuk mencapai target swasembada daging sapi 2014. Audit dilakukan pada tahun anggaran 2010 dan semester pertama 2011 di Jakarta, Bandar Lampung, Surabaya, Makassar, dan Kupang.

Di Jawa Timur, selain memeriksa RPH Pegirian, badan audit negara ini mengecek RPH Krian di Sidoarjo dan Kepanjen di Malang. Kemudian RPH Kota Timor Tengah Utara dan pasar ternak Desa Camplong, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di tempat-tempat tersebut, 361 ekor sapi betina produktif mati di tangan jagal pada 2009-2010. Di Nusa Tenggara Barat malah lebih parah. Pada 2010 saja, 1.003 ekor sapi betina produktif dipotong. Tahun berikutnya, hingga Juli 2011, tercatat 292 ekor.

Kementerian Pertanian menyimpan data serupa. Dalam cetak biru program swasembada daging sapi 2014 disebutkan bahwa penyembelihan sapi betina produktif telah mencapai tingkat membahayakan bagi pengembangan populasi sapi nasional, yakni 200 ribu ekor per tahun. Pada 2010 saja, 204.196 ekor atau 11,8 persen dari total sapi yang disembelih.

Negara melarang pemotongan sapi betina produktif melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tujuannya mempertahankan ketersediaan bibit. Pelanggaran terhadap aturan itu akan dikenai sanksi denda sampai kurungan.

Menteri Pertanian juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35 Tahun 2011 tentang pengendalian ternak ruminansia betina produktif. Masalahnya, kebijakan itu belum ditindaklan­juti hingga level bawah. Cuma beberapa provinsi yang telah membuat aturan pelaksana, antara lain Jawa Timur dan Bengkulu.

Kementerian Pertanian juga membuat pedoman penyelamatan sapi betina produktif. Isinya, antara lain, sapi betina produktif yang akan disembelih di RPH dapat diganti dengan sapi siap potong yang telah disediakan atau dibeli dengan dana penyelamatan sapi betina produktif. Sapi milik pemerintah itu dipelihara hingga diperoleh nilai tambah, hingga nantinya bisa dijual. Hasil penjualan digunakan untuk menyelamatkan betina produktif lain. Begitu seterusnya.

Faktanya, audit BPK menyatakan program itu tidak efektif. Kegiatan penyelamatan betina produktif itu cuma berlangsung sekitar setahun, tidak bergulir. Dana penyelamatan ludes, kabarnya untuk membiayai pemeliharaan sapi dan kegiatan pendukung.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan anggaran penyelamatan betina produktif sempat naik pada 2011, lantas menyusut terus (lihat tabel).

Syukur mengklaim kesadaran peternak untuk tidak menjual dan memotong sapi betina produktif meningkat. "Yang dipotong itu, meski betina, belum tentu berstatus produktif," katanya kepada Tempo di sela rapat kerja dengan DPR, Rabu pekan lalu. Menurut Syukur, sapi betina produktif yang diselamatkan pada 2010-2012 mencapai 600.290 ekor. Sedangkan pada 2013 ditargetkan 142.520 ekor.

Masalahnya, BPK menyebutkan kegiatan untuk mendukung swasembada daging sapi yang dananya menggunakan sistem bantuan sosial itu tidak efektif. Badan audit negara itu menemukan sejumlah kegiatan tidak sesuai dengan petunjuk teknis, target, dan tujuan. Misalnya bansos kepada kelompok peternak Harapan Jaya di Bangkalan, Jawa Timur, untuk program restrukturisasi pakan melalui desa lumbung pakan lokal Rp 249 juta malah dibelikan 18 ekor sapi senilai Rp 126 juta. Sisanya? Tak jelas.

Begitu pula bantuan sosial pengembangan usaha agrobisnis oleh Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) tahun 2008 sebesar Rp 176 juta kepada Ma'had Tarbiyah Islamiyah Nurul Fikri di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dana ini malah dipinjamkan kepada yayasan untuk membiayai pembebasan tanah sebesar Rp 45 juta.

Bantuan serupa ke Pondok Pesantren Baitul Mutaqqin di Sidoarjo, Jawa Timur, digunakan untuk membeli sapi. Tapi, sebulan kemudian, sapi dijual dan diganti dengan ternak ayam. Pada 2006, bansos kepada Pondok Pesantren Darus Shidiqien di Lombok Tengah, NTB, ternyata digunakan untuk membeli tanah Rp 35 juta, dipinjamkan ke pihak ketiga Rp 20 juta, yang sampai saat pemeriksaan belum dikembalikan.

Anggota Komisi Pertanian dari Fraksi PDI Perjuangan, Mindo Sianipar, mengatakan Kementerian dan dinas pertanian yang menentukan kelompok tani mana yang berhak menerima insentif penyelamatan sapi betina produktif. Insentif penyelamatan sapi betina produktif, menurut dia, hanya bisa diberikan lewat mekanisme bantuan sosial karena berupa uang tunai. "Tidak ada mekanisme lain," ujarnya.

Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur Maskur membenarkan kabar bahwa bantuan tunai memang berpotensi disalahgunakan. Ketua Paguyuban Pedagang Sapi dan Daging Segar Jawa Timur Muthowif menambahkan, banyak pelanggaran dilakukan peternak, melibatkan belantik (makelar) sapi dan petugas pendamping di lapangan. Termasuk program Sarjana Masuk Desa, yang semestinya berfokus membangun desa dan memberdayakan masyarakat, "Malah ikut jualan sapi milik peternak. Ini aneh," kata Muthowif.

Menteri Pertanian Suswono menyerahkan pertanggungjawaban dana kepada setiap peternak dan dinas di daerah. Jika terbukti ada kerugian negara dan peternak mampu mengembalikan dana yang hilang, menurut dia, tak jadi soal. Ia yakin, sebagian peternak sapi di daerah terbukti mampu mengelola bantuan pemerintah. "Kami sedang mengevaluasi sejauh mana kontribusi terhadap peningkatan populasi sapi di daerah tersebut," ujarnya.

n n n

KEINGINAN menjadi negara yang mandiri dalam penyediaan daging sapi tercetus sejak 2005. Pemerintah ingin mengulang sukses sebagai negara pengekspor sapi, seperti 1970-an. Pada 1972, Indonesia mengapalkan 14 ribu ekor sapi serta 14 ribu ekor kerbau ke Singapura dan Hong Kong.

Dalam perkembangannya, laju peningkatan populasi sapi kalah cepat dibandingkan dengan konsumsi. Pada 2010, mimpi swasembada dibuka kembali. Targetnya, meningkatkan populasi sapi potong menjadi 14,2 juta ekor pada 2014. Artinya, rata-rata tumbuh 12,48 persen per tahun. Pada saat itu diharapkan produksi daging sapi lokal mencapai 420,3 ribu ton atau meningkat 10,4 persen per tahun. Sebaliknya, impor sapi dan daging diturunkan tinggal 10 persen dari total kebutuhan.

Faktanya, sapi betina produktif terus ditebas. Dari sekitar 150 ekor sapi yang disembelih setiap hari di RPH Pegirian, menurut pengelola, sekitar 80 ekor adalah sapi betina majer (mandul) dan 10 ekor sapi betina produktif. Direktur Jasa Niaga PD RPH Kota Surabaya Lutfi Rahmad berdalih lolosnya sapi betina produktif karena RPH tak mungkin menolak ternak yang dikirim ke sana. "Bisa terjadi bentrok fisik dengan para jagal."

Toni Hartono, Kepala RPH Krian, Sidoarjo, juga mengaku kesulitan menolak betina produktif yang datang. Setiap hari RPH ini memotong rata-rata 100 ekor sapi. Sekitar 40 ekor di antaranya sapi betina majer, 20 ekor betina produktif, dan sisanya pejantan. Toni berupaya mensosialisasi aturan hukum untuk mencegah penyembelihan sapi betina produktif, tapi tak banyak berdampak.

Rupanya pelaksana di lapangan tak banyak mengetahui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2012 tentang pengendalian ternak sapi. Kepala UPT RPH dan Pasar Hewan Kecamatan Bojonegoro drh Yuyun Ariyani Dahlan, pun mengaku baru mengetahui peraturan itu saat ditemui Tempo.

Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Bojonegoro drh Catur Rahayu Kusuma membenarkan sosialisasi peraturan daerah tersebut masih minim. Instansinya lebih mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan. Catur meyakinkan sapi betina yang disembelih sudah tidak produktif atau cedera. Ia memperketat aturan penyembelihan sapi betina.

Dinas Peternakan Jawa Timur baru akan menjatuhkan sanksi denda pidana mulai 2014. Alasannya, saat ini masih tahap sosialisasi. Kepala Dinas Peternakan Maskur menantang keberanian RPH menolak sapi betina produktif.

Kondisi serupa terjadi di Yogyakarta. Ketua Paguyuban Pedagang Daging Sapi Segoroyoso, Ilham Akhmadi, mengatakan sebagian besar sapi yang dipotong adalah betina. Soalnya, jumlah sapi jantan amat minim. Pengusaha pemotongan sapi di Bantul ini biasa memotong 30 ekor sapi per hari, 60-70 persennya betina.

Kepala Dinas Pertanian Yogyakarta Sasongko menyebutkan, dari populasi 400 ribu ekor sapi per tahun, 80 persennya betina. Tapi ia mengatakan hanya sapi betina jenis PO (peranakan Ongole) produktif yang dilarang dipotong. Sapi PO disebut juga sebagai sapi Jawa atau lokal, berwarna putih dan berpunuk. "Sapi jenis ini menjadi sumber bibit. Hanya betina mandul dan tak produktif yang boleh dipotong."

Sasongko menjelaskan, sapi betina jenis lain boleh dipotong. Misalnya jenis limosin—berwarna merah—karena sulit dibiakkan. Perbandingannya, jika betina PO bisa beranak sekali setahun, betina limosin belum tentu bisa beranak sekali dalam dua-tiga tahun. Biaya perawatan sapi PO juga lebih murah. Sumber pakannya mudah didapat, seperti rumput dan jerami. Berbeda dengan jenis limosin yang perlu pakan tam­bahan. Betina hasil persilangan sapi PO dan limosin pun sulit dikembangbiakkan.

Dia tak menampik kabar terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Yogyakarta, meski pemerintah menyediakan insentif Rp 500 ribu kepada peternak yang memiliki sapi bunting agar tak memotong sapinya. "Peraturan ini masih tumpul," ujarnya. Pemerintah tak bisa memaksa karena dana untuk menebus sapi dari pemilik terbatas.

Menteri Pertanian Suswono cuma bisa mengimbau dinas peternakan intensif mensosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang melarang pemotongan sapi betina produktif. Ia meminta masyarakat yang menemukan pelanggaran melapor ke dinas.

I Gede Suparta Budisatria, Wakil Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, berpendapat maraknya pemotongan sapi betina bukan problem utama yang bisa menggagalkan target swasembada. Ia mengemukakan fenomena di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di wilayah ini banyak peternak mengawinkan sapi jenis limosin dengan PO (menjadi limpo) atau persilangan sapi jenis simental dengan PO (menjadi simpo). "Sapi hasil silang ini susah bereproduksi meski sudah masuk usia produktif. Padahal sudah dikawin suntik hingga lima kali. Di Indonesia, betina yang berpotensi produktif hanya jenis lokal."

Faktor lain, lemahnya sensus ternak 2011, yang hanya melihat produktivitas sapi dari segi usia. Adapun pengamatan terhadap kualitas reproduksi tak dimasukkan. Situasi ini bisa menyebabkan salah prediksi pada 2014. Artinya, perbandingan sapi betina yang mencapai 65 persen bukan jaminan swasembada karena tak ada data pasti tentang kualitas reproduksi.

Toh, Menteri Suswono yakin berbagai program kementeriannya bisa mendorong pencapaian target swasembada daging pada 2014. Ia melihat peternak di pasar sapi tradisional bergairah karena harga sapi naik. Di Kabupaten Sleman, misalnya, sebelum ada subsidi pada 2011, di pasar sapi hanya tersedia 300-an ekor, kini dua kali lipat. Peternak, kata dia, menyambut positif program untuk mencapai swasembada sapi.

Retno Sulistyowati & Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Addi M. & Anang Zakari (Jawa Tengah dan DIY), Sujatmiko & Diananta (Jawa Timur)


Anggaran Penyelamatan Sapi Betina Produktif

  • 2010: Pengendalian pemotongan sapi betina produktif, bujet Rp 80,36 miliar.
  • 2011: Penyelamatan dan insentif sapi/kerbau betina produktif, bujet Rp 563,35 miliar.
  • 2012: Penjaringan dan penguatan sapi/kerbau betina produktif, bujet Rp 472,85 miliar.
  • 2013: Program penguatan sapi/kerbau betina bunting, bujet Rp 183,42 miliar.

    Populasi Sapi di Indonesia

    BetinaBetina produktifNonproduktif
    Sapi potong10.103.2765.469.3124.633.964
    Sapi perah471.477279.113192.364
    Kerbau897.305425.386471.919

    Perbandingan Jumlah Jantan dan Betina

    JantanBetinaTotal
    Sapi potong4.721.09710.103.27614.824.373
    Sapi perah125.736471.477597.213
    Kerbau407.773897.3051.305.078
    SUMBER: KEMENTERIAN PERTANIAN
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus