Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAGU itu mengalun pelan dari sebuah tape kecil. Jatuh Bangun dari penyanyi dangdut Kristina, melodinya tidak begitu sederhana, begitu juga iramanya. Tapi di ruangan tanpa dinding yang dipenuhi seorang dosen dan 20 mahasiswanya itu, musik seperti tidak menyentuh. Perhatian Muhammad Bata, 47 tahun, dan mahasiswanya terfokus pada sapi. Di kandang sapi itu Bata bereksperimen: membuat hidangan jerami plus dangdut buat sapi.
Bata dosen Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Ia menjadi andalan fakultas ini dalam soal sapi. Skripsi hingga disertasinya mengulas soal sapi serta makanannya. Kini ia mencoba menarik benang merah antara musik dan selera makan sapi. ”Dengan musik, sapi tenang sehingga banyak makannya,” ujar doktor lulusan Universitas Georg-August Jerman ini.
Ide menyulap jerami menjadi santapan sapi muncul sejak 2005. Bata waktu itu masih menjadi Kepala Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak. Ia melihat ketersediaan pakan sapi dari alam, seperti rumput liar, makin terbatas karena lahan tambah sempit. Di sisi lain, jerami padi sangat melimpah, dan selalu dibuang atau dibakar.
Bata lalu mengajak mahasiswanya meneliti kandungan jerami. Ia mengolah jerami dengan tambahan pupuk urea dan ampas singkong bekas produksi tepung tapioka. Campuran bahan itu lalu diperam 15 hari. ”Awalnya sapi muntah ketika diberi makanan itu,” ujar Bata. Sapi hanya perlu waktu seminggu beradaptasi dengan makanan ini.
Pakan jerami awalnya hanya dicoba pada 16 sapi. Fakultas Peternakan membeli sapi dengan bobot dua kuintal. Setelah empat sampai lima bulan, beratnya bertambah menjadi 6 kuintal. Harganya pun melonjak tiga kali lipat. Kini kandang di kampus ini dihuni 60 sapi. Hasil penjualan sapi itu dipakai untuk membeli alat atau bahan kimia yang dibutuhkan saat uji laboratorium. Uang tersebut juga dibagikan kepada alumni yang menanam modalnya di peternakan.
Bata memang lebih leluasa menggali riset tentang sapi karena fasilitas di kampusnya. Ia betah berlama-lama di lahan percobaan yang luasnya dua hektare—dua kali lapangan sepak bola. Lahan tempat praktek Fakultas Peternakan itu dikenal dengan sebutan exp-farm, kepanjangannya experimental farm. Di lahan eksperimen ini terdapat kandang sapi perah, potong, ayam broiler, unggas air, dan kambing. Ada juga tanah khusus untuk pohon yang dijadikan pakan ternak. ”Saya hidup di kandang,” kata Bata.
Fakultas Peternakan menggandeng lembaga lain dalam penelitian ini: Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sejumlah perusahaan swasta seperti Bogasari. Dari lembaga itu Bata dan kawan-kawan mendapat dana untuk menyempurnakan riset serta pengadaan perangkat di laboratorium Peternakan.
Bagi Fakultas Peternakan, penelitian merupakan kewajiban bagi dosen dan mahasiswa. Apalagi Jawa Tengah merupakan sentra produksi ternak, terutama sapi, yang mensuplai kebutuhan di Jakarta. Jadinya riset di kampus ini turut menopang kebutuhan daging atau susu sapi nasional.
Dekan Fakultas Peternakan, Mas Yedi Sumaryadi, mengatakan riset akan memperkaya bahan pengajaran. Riset juga diarahkan untuk memperoleh hak paten sehingga royaltinya bisa membiayai kebutuhan laboratorium. Jadi, tak membebankan biaya laboratorium kepada mahasiswa.
Riset di kampus berguna sebagai alih teknologi bagi masyarakat. Fakultas Peternakan selalu menjadi rujukan bagi kelompok tani di Purwokerto dan daerah selatan Jawa Tengah. Fakultas ini juga menjalin kerja sama dengan daerah Ciamis, Cianjur, Lampung, Bengkulu, bahkan Merauke.
Setiap dosen selalu melibatkan mahasiswanya dalam riset. Pengalaman riset itulah yang menjadi modal utama lulusan peternakan. Setiap tahun ada 26 perusahaan yang mengadakan tes di kampusnya. Dari 150 lulusan setiap tahun, 106 orang langsung diterima di perusahaan swasta. ”Enam puluh persen lulusan kami terserap di perusahaan,” kata Yedi.
Riset memang menjadi andalan Fakultas Peternakan. Dari catatan di fakultas, ada 46 penelitian bekerja sama dengan lembaga dunia mulai 2000 hingga 2008. Beberapa riset yang sering dilakukan adalah sistem penggemukan ternak dan pakan ternak murah. Riset lain adalah teknik reproduksi ternak, yakni pemisahan sperma jantan dan betina. Ada juga teknologi seleksi yang mencari bibit unggul dari teknologi molekular.
Fakultas ini pernah mencatatkan dosennya di tingkat internasional. Pada Desember lalu, dosen Mulyoto Pangesti mendapat penghargaan EGold Young Inventor Awards C dari Far Eastern Economic Review, bekerja sama dengan Hewlett-Packard Asia. Dosen tamu di Universitas Monash Australia ini membuat metode pengeringan dan penyimpanan sperma yang sangat berguna bagi ilmuwan dan dokter di negara berkembang.
Mulyoto mengembangkan metode penyimpanan dengan bahan sederhana, seperti sedotan plastik dan kantong aluminum foil. Ia membuat terobosan dengan memanfaatkan alat serba murah. Sperma yang telah dikeringkan itu dapat tahan bertahun-tahun dalam kondisi prima. Sperma dapat dipakai untuk pembuahan buatan berikutnya.
Dengan segudang prestasi itu, Fakultas Peternakan makin menambah kapasitas mahasiswanya. Daya tampung kampus sekarang ini 200 orang. Sedangkan total mahasiswanya mencapai 900 orang dan 20 persennya dari Banyumas dan sekitarnya. Kampus ini juga didukung 24 tenaga pengajar dengan gelar doktor, 74 magister, dan 10 sarjana. Fakultas ini telah meluluskan 3.000 sarjana, 2.000 diploma, dan 36 pasca-sarjana.
Fakultas Peternakan awalnya merupakan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta cabang Purwokerto. Pada 10 Februari 1966, Peternakan masuk menjadi fakultas di Universitas Jenderal Soedirman setelah setahun kampus ini berdiri.
Di kampus ini, mahasiswa menempuh studinya yang sebagian besar mata kuliah pilihan. Mahasiswa bebas memilih mata kuliah sesuai dengan cita-citanya. Ada mata kuliah khusus bagi mahasiswa yang ingin berwirausaha, ahli pakan ternak, manajemen peternakan, atau menjadi pekerja di perusahaan peternakan.
Farida Rizki Fauziah, mahasiswa semester VI, bercita-cita menjadi wirausaha peternakan sapi. Ia lebih banyak menghabiskan kuliahnya di kandang sapi. Menurut dia, praktek di kandang sapi lebih banyak manfaatnya dibanding hanya belajar teori. Apalagi selalu diiringi lagu dangdut seperti Jatuh Bangun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo