Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada kebun kakao di Swiss. Tapi negara federasi seluas Jawa Barat itu berabad-abad identik dengan cokelat. Beragam cokelat paling maknyus dan terkenal di jagat raya diolah di negara itu. Padahal mereka harus mengimpor kakao, bahan baku cokelat, dari Ghana, Pantai Gading, dan Indonesia.
Situasi ini sudah lama mengusik Idrus A. Patturusi. Ia terpanggil karena daerahnya, Sulawesi Selatan, merupakan pemasok 68 persen produk kakao di Indonesia. Maka, ketika menjadi Rektor Universitas Hasanuddin pada 2006, laki-laki 59 tahun itu membuat rencana besar: menjadikan kakao sebagai fokus penelitian kampusnya. ”Apalagi dalam lima tahun terakhir produksi kakao anjlok,” katanya.
Penyebab utamanya adalah merosotnya produktivitas. Pada 2004, setiap hektare kebun kakao bisa memproduksi 2 ton, tapi kini tinggal 200 kilogram alias terpangkas 90 persen. Akibatnya, ekspor kakao Indonesia merosot tinggal 100 ribu ton pada 2007. Indonesia pun kian tertinggal oleh dua pesaingnya dari Afrika itu.
Untuk mengembalikan masa kejayaan itu, tahun lalu di Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Kelautan dibentuk divisi khusus penelitian kakao. Ada 20 orang doktor dari pelbagai bidang—dari fisika, tanah, hama, agronomi, hingga pemasaran—yang berhimpun di divisi ini. ”Kami ingin meneliti kakao secara menyeluruh,” kata Sikstus Gusli, Kepala Pusat Penelitian.
Dari penelitian yang sudah dilakukan, merosotnya produksi itu karena cara petani menanam yang salah dan tak tersedianya bibit unggul. Akibatnya, hama bisa mudah merusak biji. Para peneliti pun tinggal di kebun-kebun menjadi konsultan para petani. Kaluku, di Kabupaten Mamuju, dijadikan kecamatan percontohan bagaimana menanam dan mengolah kebun kakao yang benar.
Untuk menunjangnya, Universitas Hasanuddin sedang membangun dua ”laboratorium kakao” di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat—dua provinsi penghasil kakao terbesar. Biaya pembangunannya ditaksir Rp 6 miliar. Di sana, selain meneliti dan menghasilkan benih kakao unggul, mereka akan berusaha membuatnya menjadi cokelat yang gurih. ”Nanti akan ada cokelat van Hasanuddin,” kata Idrus.
Departemen Pertanian dan Departemen Pendidikan Nasional sudah siap mengucurkan duit. Sumber dana lainnya dari pemerintah daerah, hibah, dan kerja sama dengan universitas lain atau perusahaan swasta. Tahun ini jatah Hasanuddin dari penerimaan bukan pajak mencapai Rp 240 miliar—naik 12 kali lipat dibanding tahun lalu. Khusus untuk penelitian, alokasinya Rp 50-100 juta per tema.
Semua rencana ini dilakukan Universitas Hasanuddin untuk mengembalikan kampus sebagai lembaga pendidikan berbasis penelitian. Apalagi kampus ini akan berubah menjadi badan hukum pada 2011. ”Kalau sebuah penelitian dimuat di jurnal internasional, kami menyediakan penghargaan Rp 20 juta,” kata Idrus.
Kakao hanya salah satu fokus penelitian universitas ini. Menurut Idrus, penelitian kentang juga akan terus diintensifkan karena sudah lama digeluti para peneliti di sana. Wartawan Tempo melihat kehibukan para peneliti dari sarjana sampai doktor di Laboratorium Bioteknologi Pertanian. Laboratorium ini telah lama meneliti dan menghasilkan benih kentang unggul.
Profesor Baharuddin, misalnya, tahun lalu mematenkan teknologi pembuatan kentang atlantik dan teknik aeroponik untuk menghasilkan benih dari kultur jaringan. ”Problem utama kentang juga sulitnya mencari bibit yang sehat dan bermutu,” kata penulis enam buku tentang rekayasa genetika tanaman ini.
Dari kebutuhan 128 juta ton per tahun, hanya 4,5 persen bibit unggul yang tersedia. Akibatnya, 80 ribu hektare kebun kentang hanya menghasilkan 1,1 juta ton per tahun dari kebutuhan 8,9 juta ton.
Benih hasil penelitian Baharuddin kini sudah ditanam di Bantaeng. Bibit aeroponik bernama G0 ini terbukti menaikkan produktivitas dari 6 ton per hektare menjadi 20 ton. Bantaeng pun kini menjadi ikon penghasil kentang sayuran, selain Gowa dan Enrekang sebagai penghasil kentang kalosi, serta Malino sebagai pusat industri pengolahan.
Kakao dan kentang hanya dua obyek dari beragam bidang yang akan diteliti. Pertanian mendapat perhatian berlebih karena Sulawesi Selatan salah satu pusat hasil perkebunan, juga karena di bidang ini 60 persen dosennya sudah doktor. ”Ketahanan pangan ini problem utama bangsa kita,” kata Idrus.
Apalagi, kata Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Manggabarani, ”Lima tahun ke depan, Indonesia tak lagi bisa mengandalkan ekspor minyak dan gas.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo