Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Penyelamat Petani

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Para Penyelamat Petani
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

WAYAN Sukaraga asyik mengamati abalon dalam botol kecil. Laki-laki 47 tahun itu sedang meneliti kemungkinan pertumbuhan jamur pada biota laut jenis kerang tersebut. Abalon yang memiliki nama Latin Haliotis itu menjadi obyek penelitiannya sebagai persyaratan menyelesaikan kuliah program S-2 bioteknologi pertanian Universitas Udayana, Bali. Wayan ingin membuktikan apakah ekstrak lengkuas dapat digunakan sebagai pengendali jamur produk kering abalon.

Menurut guru biologi di SMP Negeri I Ubud, Gianyar itu, pengolahan produk abalon adalah untuk bahan makanan menu restoran makanan laut. Di Jepang, abalon dikenal sebagai awabi, dimakan mentah untuk sushi dan sashimi. Jadi, pertumbuhan jamur harus ditekan agar penampilan abalon tetap mulus dan yang penting tidak beracun.

Bukan hanya Sukaraga yang setia pada penelitian di bidang bioteknologi pertanian. Masih ada puluhan peneliti lagi dengan beragam topik kajian. Sebab, program yang didirikan sejak 1999 ini, sebagai pengembangan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, memang didesain sebagai pusat penelitian bioteknologi yang bisa menjadi solusi masalah yang dihadapi para petani darat maupun air. ”Ide awalnya memang untuk mengatasi keterpinggiran petani dan pertanian,” kata Ketua Program Studi Bioteknologi G.N. Alit Susanta Wirya.

Bioteknologi merupakan metode untuk mengeksploitasi aktivitas biokimia dari organisme hidup dan produknya. Metode ini sudah sangat berpengaruh pada dunia pertanian seperti pada penemuan transgenik, biopestisida, pestisida nabati, dan pupuk organik. Sehingga, mau tak mau, untuk menerapkan bidang ilmu ini, para pengajarnya pun sudah harus mumpuni di bidang penelitian, tak bisa hanya teori semata.

Seperti Profesor Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta, yang dijuluki sebagai penyelamat pisang Bali. Pada 2004, ia mendapat penghargaan Keanekaragaman Hayati (Kehati) karena keberhasilannya membuat inovasi menggunakan daun sirih dan lengkuas untuk mengatasi penyakit layu pisang. Ia kemudian melakukan penelitian mengendalikan penyakit busuk batang vanili. Kedua hasil kajian tersebut telah dipatenkan dan banyak dimanfaatkan daerah lain serta perusahaan yang memiliki perkebunan pisang dan vanili. Untuk itulah, program studi bioteknologi ini diyakini mampu memberikan manfaat langsung kepada petani.

Program studi bioteknologi selain getol di bidang penelitian, juga sedang merintis program gelar ganda (dual degree) dengan Universitas Ibaraki, Jepang. Dengan program perolehan kredit yang setara (credit earning), mahasiswa yang mengikuti satu mata kuliah di bioteknologi pertanian akan diakui setara dengan mereka yang kuliah di universitas Jepang, demikian pula sebaliknya. Ini juga membuka kesempatan bagi para mahasiswa Jepang belajar di Bali. Apalagi dengan fasilitas laboratorium yang lengkap, seperti untuk penelitian biopestisida, biokimia, kimia analitik, dan mikrobiologi. Yang menarik, biaya perkuliahan di program ini terjangkau: sekitar Rp 3,5 juta per semester. Tak mengherankan jika dari tahun ke tahun jumlah mahasiswanya terus meningkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus