Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Kentang hingga Kanker Payudara

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Dari Kentang hingga Kanker Payudara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TUJUH tahun silam petani kentang di Kota Batu, Jawa Timur, bak berkubang dalam kemelaratan. Kerja keras mereka seperti sia-sia. Mereka nyaris tak pernah menikmati panen kentang karena hasilnya sering tak bisa menutup ongkos produksi. Kondisi itu mengusik Tatik Wardiyati. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, ini tergerak untuk menelisik penyebab itu semua. Ia akhirnya menemukan biang keroknya: bibit.

Kala itu, para petani Batu memakai bibit impor dari Belanda dan Australia. Karena digunakan terus-menerus, kata Tatik, ”Tidak ada perbaikan bibit.” Untuk membeli bibit baru, mereka tak mampu. Akibatnya, tak hanya produksinya rendah, tanaman juga rentan terhadap hama dan penyakit. Puncaknya terjadi pada 2004. Tanaman kentang di salah satu daerah wisata di Jawa Timur itu diserang hama cacing emas atau nematoda sista kuning. Panen gagal total. Tak ada petani yang berani lagi menanam kentang.

Tatik memulai penelitiannya dari bibit sebagai pangkal penyebab hancurnya pertanian kentang di Batu itu. Doktor hortikultura yang kini berusia 63 tahun itu lalu meneliti untuk pengembangan bibit kentang, termasuk mencari cara memberantas penyakit kentang. Dia juga melibatkan mahasiswanya, baik mahasiswa Program Sarjana Fakultas Pertanian maupun Program Diploma Hortikultura, untuk proyek penelitiannya. ”Ada 10-an mahasiswa yang terlibat,” katanya.

Empat tahun kemudian, penelitian Tatik rampung. Dia berhasil mengembangkan tiga varietas kentang, yakni kentang Atlantic yang biasa dipakai untuk keripik, kentang Desire yang berwarna merah dan cocok untuk ditanam di dataran medium, serta Red Pontiac untuk dataran rendah. Tatik memang berupaya ”menurunkan” habitat kentang, yang biasanya hanya ditanam di dataran tinggi, ke dataran rendah. ”Untuk menjaga lingkungan Kota Batu,” katanya menunjuk kota yang memang terletak di dataran tinggi itu.

Untuk mengatasi penyakit yang sering menyerang tanaman kentang, Tatik membuat gen hayati melalui jamur Trichoderma sp. yang diisolasi. Gen hayati ini bisa mengatasi bakteri yang biasa bercokol di kentang, yaitu bakteri busuk batang, yang banyak menyerang kentang dataran rendah dan medium.

Dengan adanya varietas baru dan gen hayati sebagai pembasmi penyakit itulah, pada 2007, para petani Kota Batu mulai kembali menanam kentang. Hasilnya tak sia-sia. ”Kentang kini menjadi produk unggulan di Kota Batu,” ujar Tatik, yang hingga kini masih terus melakukan penelitian kentang.

Bibit kentang temuan Tatik tak hanya dipakai petani Kota Batu, tapi juga menyebar ke mana-mana: Probolinggo, Pasuruan, Bondowoso, Trenggalek, dan Lombok. Bibit kentang Tatik itu populer dengan nama bibit kentang UB, kependekan dari Universitas Brawijaya. ”Bibit UB lebih unggul dibanding bibit lain,” kata Shodiq, petani kentang dari Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Shodiq mengaku sudah setahun ini menanami lahannya seluas dua hektare dengan bibit UB.

Menurut mantan Kepala Desa Sumber Brantas ini, bibit kentang UB sesuai dengan kondisi tanah di Kota Batu. ”Sekali tanam, langsung bisa memetik hasilnya,” ujarnya. Ini berbeda dengan bibit sebelumnya, yang harus beradaptasi dulu selama satu kali masa musim tanam atau panen. ”Jadi baru berhasil pada musim tanam kedua.”

Bibit UB juga terbukti tahan banting terhadap serangan penyakit. Bahkan, ditanam di tanah yang terkena serangan virus cacing emas pun, UB masih perkasa. Harganya juga lebih murah, sekitar Rp 10 ribu per kilogram, sementara bibit lain sekitar Rp 14 ribu. Yang terpenting tentu saja hasil panennya: lebih banyak ketimbang bibit yang sebelumnya dipakai petani. Bibit ini bisa menghasilkan 35-40 ton kentang per hektare. Adapun bibit lain hanya 25-30 ton per hektare.

Tatik juga meneliti apel. Menurut dia, dalam lima tahun terakhir mutu dan produksi apel Kota Batu turun drastis karena ada indikasi terkena virus. ”Buahnya jadi kecil, masam, dan kulitnya keras,” tuturnya.

Dari total tanaman apel pada area seluas 2.500 hektare di Kota Batu, misalnya, hanya 25 persen dalam kondisi baik. Sisanya rusak. Menurut Mochammad Toha, Sekretaris Gabungan Kelompok Tani Batu Lestari, Kota Batu, penyebab rusaknya tanaman apel ada tiga faktor. Pertama, umur pohon sudah tua, lebih dari 25 tahun; kedua, lahannya kritis karena tak subur lagi; dan ketiga, petani enggan mengelola tanaman apel sehingga pohon tersebut akhirnya mati. ”Petani malas karena memang biayanya besar,” katanya.

Buntut ini semua, produksi apel dari Kota Batu terus menurun. Tahun lalu, produksi apel bisa mencapai 30 ribu ton per tahun, sedangkan tahun ini diperkirakan hanya sekitar 25 ribu ton. Untuk mengubah nasib apel Malang itulah, sejak dua tahun lalu, bersama sejumlah dosen Fakultas Pertanian lainnya, Tatik melakukan penelitian seputar tanaman apel ini: bibit dan lahannya. Penelitian yang didanai Pemerintah Kota Batu ini diperkirakan selesai pada 2012.

l l l

Universitas Brawijaya juga melakukan sejumlah penelitian dalam bidang kesehatan manusia. Yang terakhir ini, misalnya, dilakukan Uun Yanuhar, doktor ilmu kedokteran biomedik. Uun, 36 tahun, tengah meneliti antibodi monoklonal untuk mendapatkan bahan diagnostic cancer. Target penelitiannya: menghasilkan tester kit untuk mendiagnosis kanker payudara. Di pasaran, harga alat ini terbilang mahal. ”Kami ingin membikin alat yang murah, yang bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah,” kata Kepala Laboratorium Ilmu-ilmu Perairan dan Bioteknologi Universitas Brawijaya itu.

Uun tak sendirian melakukan penelitian itu. Ia didampingi Ketut Muliarta, dokter ahli patologi anatomi; Sumarno, dokter ahli mikrobiologi; Janggan Sargowo, dokter ahli penyakit jantung, dan seorang mahasiswa kedokteran. Penelitian ini merupakan program Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (Rapid) Direktorat Perguruan Tinggi. Dimulai Maret 2008, penelitian berbujet Rp 330 juta tersebut direncanakan selesai pada 2010. Rapid adalah program penelitian yang hasilnya langsung bisa diaplikasikan ke masyarakat. Karena tingkat kesulitannya sangat tinggi, menurut Uun, ini merupakan program paling bergengsi di antara program-program penelitian lain.

Riset yang dilakukan Tatik, Uun, dan rekan-rekannya ini hanya sedikit dari sekian banyak penelitian dosen Universitas Brawijaya. Tahun ini, penelitian yang dilakukan di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Brawijaya mencapai 125 proyek dengan total biaya Rp 10,7 miliar. Tahun lalu, jumlah penelitian 111 proyek, yang menghabiskan biaya sekitar Rp 11 miliar.

Menurut Ketua LP2M Universitas Brawijaya Siti Chuzaemi, kegiatan riset universitasnya memang diarahkan ke agroindustri. Ini, kata Siti, selain karena Universitas Brawijaya memiliki banyak ahli agroindustri, untuk kepentingan wilayah Malang dan sekitarnya. ”Masyarakat Malang banyak bergerak di bidang agro,” ujar Siti. Menurut Pembantu Rektor I Universitas Brawijaya Bambang Suharto, pihaknya kini tak sekadar memfokuskan penelitian pada sektor pertanian, tapi juga mengembangkan penelitian ke semua sektor yang berkaitan dengan pertanian itu sendiri, termasuk industri. ”Jangkauan risetnya dari lokal hingga internasional,” katanya.

LP2M Universitas Brawijaya memiliki program Payung Riset Unggulan, yang terdiri atas empat klaster, yakni sains dan teknologi, life science, agro dan kesehatan, serta sosial hukum. Masing-masing klaster memfokuskan satu bidang. Klaster sains dan teknologi memfokuskan diri pada smart material and energy, klaster life science pada biomedical engineering dan pelestarian biodiversitas, klaster agro dan kesehatan pada food security dan medicine, sementara klaster sosial hukum pada capacity building dan social welfare. Semua klaster ini melibatkan multidisiplin ilmu. ”Dengan klaster ini, penelitian menjadi terintegrasi,” ujar Siti. Tahun depan, Universitas Brawijaya berencana mengembangkan penelitiannya menjadi 10 klaster.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus