Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GANG sempit di belakang Kanal Banjir Barat itu langsung ramai begitu Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia mengumumkan selikur nama yang terlibat baku tembak di Desa Bayu, Aceh Besar, pada 10 Maret lalu. Nama di baris pertama adalah Syailendra Ady Sapta bin Robert Bakri alias Ismet alias Abu Mujahid, 40 tahun.
Syailendra adalah bekas tetangga mereka di Gang Buana Nomor 11 RT 12 RW 4, Petamburan, Jakarta Pusat. Mantan preman ini tinggal di daerah itu sejak 1986. ”Sejak masih SMP,” kata Yadi, Ketua RT 12, Rabu pekan lalu.
Tetangga dekat rumah Syailendra, Malik, juga terkesiap begitu melihat foto Syailendra terpajang. ”Saya yakin itu Sapta,” kata Malik, 40 tahun, Rabu pekan lalu. ”Dia sering berbicara dengan saya.” Rumah Malik hanya berselang dua rumah dari rumah Syailendra.
Pada 1998, Syailendra pernah bekerja sebagai anggota satuan pengaman di Metro Plaza Senayan. Ketika melamar pekerjaan itu, ia meminjam ijazah sekolah menengah atas milik Oji, teman masa remajanya. ”Karena saya pikir buat bantuin temen, ya saya pinjemin,” ujar Oji. Sudah lima belas tahun Oji tidak pernah berkomunikasi dengan Syailendra.
Baru bekerja enam bulan, Syailendra diberhentikan. ”Dia membawa motor komandannya, tapi tidak dikembalikan,” Yadi bercerita. Sejak itu kegiatan Syailendra tak jelas. ”Dia hanya mondar-mandir Jakarta-Pandeglang,” Yadi menambahkan.
Setelah rumah di Gang Buana itu dijual, pada 2007, Syailendra dan keluarganya pindah ke Pandeglang, Banten. Kebetulan istri Syailendra, Audiah, berasal dari daerah Cikedal, Pandeglang. Sekarang, oleh pemilik baru, rumah itu dijadikan kontrakan dengan sepuluh kamar.
Menurut warga lain, Yati, Audiah hanyalah perempuan biasa. ”Bukan aktivis atau orang yang suka organisasi,” kata Yati, 41 tahun, pedagang bedak yang dagangannya pernah dibeli Syailendra. Audiah jarang bergaul dengan tetangga. ”Juga jarang keluar,” Yati menambahkan.
Meski sudah dua tahun pindah ke Pandeglang, Syailendra masih sering mengunjungi Gang Buana. ”Puasa tahun kemarin dia masih ke sini, dan ceramah di Musala Al-Hidayah,” ujar Yadi. Syailendra juga sering terlihat tidur di Musala Ar-Rahmah.
Tak jelas kapan Syailendra mulai berubah. Menurut Yadi, mungkin sejak 2000. ”Kalau tak salah, waktu itu abis mabok di Karet Tengsin,” katanya. Menurut Malik, perubahan total terjadi ketika Syailendra baru pulang dari Poso dan Ambon. ”Waktu itu, selain sudah pakai baju gamis dan celana bahan, dia bawa handphone banyak,” kata Malik. Mantan preman ini juga sempat membuat kelompok pengajian.
Sebelum pindah ke Pandeglang, Syailendra bercerita kepada kakak perempuannya, ia ikut pengajian bersama Imam Samudra. Kakak perempuan ini bercerita kepada istri Malik, yang bercerita lagi kepada suaminya. Pengajian itu dilakukan pada sekitar 2000. ”Waktu itu kami belum tahu siapa itu Imam Samudra, dan keluarga Sapta sepertinya juga enggak tahu,” ujar Malik.
Paman Syailendra, yang enggan disebut namanya, menyatakan keluarga belum mengambil sikap apa pun setelah penangkapan Syailendra. ”Biar nanti anggota keluarga lain yang merasa berwenang yang bicara,” ujar warga Petamburan itu. Bahkan ia mengaku jarang bertemu dengan Syailendra. ”Saya juga jarang ngobrol sama dia.”
Cheta Nilawaty, Nur Resti Agtadwimawanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo