Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Teror Sarung dan Peci

Sejumlah pentolan kelompok garis keras bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Mereka mengatasi perbedaan lama dan menggalang pengikut baru. Eks narapidana terorisme terlibat lagi.

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VIDEO amatir itu berdurasi 75 menit 34 detik. Dibuka dengan kaligrafi Arab mengutip ayat-ayat suci Al-Quran, disusul satu demi satu cuplikan gambar kekerasan yang melibatkan umat Islam di Indonesia. Lagu nasyid berirama cepat berkumandang jadi latar belakang. Liriknya berulang-ulang mengajak muslim berjihad.

Lima belas menit pertama video itu penuh berisi sejarah bentrok antara kelompok Islam garis keras dan aparat keamanan di Tanah Air. Dimulai dari penyerbuan tentara ke kelompok pengajian garis keras pimpinan Warsidi di Talangsari, Lampung, 1989, kasus Tanjung Priok, konflik di Ambon, sampai aksi polisi memberangus kelompok militan yang berbasis di Pesantren Tanah Runtuh di Poso, Sulawesi Tengah, tiga tahun lalu.

Tubuh-tubuh yang terkoyak senjata, wajah-wajah babak-belur, dan isak tangis sengaja diberi fokus dan diulang-ulang. Dalam video itu, Indonesia tampak mirip Afganistan.

Pada menit ke-20, muncul inset gambar dari khotbah Abdullah Yusuf Azzam, teolog Palestina yang pertama kali mengobarkan jihad di Afganistan. Azzam disebut-sebut sebagai mentor Usamah bin Ladin, pemimpin Al-Qaidah asal Arab Saudi. Teks terjemahan Indonesia dari khotbah Azzam muncul di bagian bawah gambar. ”Tak ada alasan untuk tidak berjihad,” kata Azzam dalam video itu.

Setelah Azzam, gambar lalu pindah ke suasana kamp latihan militer—biasa disebut tadrib dalam konsep Jamaah Islamiyah—di sebuah perbukitan. Petunjuk peta di awal adegan ini memastikan lokasi kamp ada di Nanggroe Aceh Darussalam. Sekitar 30 pemuda tampak berlatih baris-berbaris, lompat halang rintang, sampai menembak. Rata-rata berpakaian hitam-hitam, dengan perlengkapan seadanya. Badannya kurus dan kecil-kecil, tak tampak seperti tentara.

Setelah latihan, mereka bergerombol makan bersama: dua sampai tiga orang berbagi nasi dari satu piring plastik. Beberapa makan langsung dari wajan. Lauknya satu-dua potong ikan asin sebesar ujung jempol. Sesekali terdengar teriakan nyaring, ”Masya Allah, enak sekali makanan ini.”

Adegan berikutnya adalah khotbah pentolan kamp pelatihan. Duduk bersila di bawah tenda terpal hijau, tangan kiri si pengkhotbah memegang erat sepucuk senapan AK-47. Di belakang, satu pengikut membentangkan bendera hitam bertulisan kalimat syahadat dalam aksara Arab. Sang tokoh dengan berapi-api bercerita nikmatnya menjadi mujahidin. ”Di sini tak ada televisi yang merusak akhlak, tidak ada musik, tidak ada aurat untuk dipandangi,” katanya. Sesekali nada suara meninggi, seperti menjerit. ”Ayo ikhwan, tunggu apa lagi? Ayo bergabung, jangan berjihad dengan sarung dan peci.”

Memasuki dua menit terakhir, barulah suara si orator merendah. ”Di sini kami makan kepala ikan asin, yang biasa kalian berikan kepada kucing dan ayam. Di sini kecap sangat berharga. Agar tak berat kami makan nasi yang keras...,” katanya mengiba. Video itu lalu ditutup dengan tulisan besar: ”Mendukung, membantu, mendoakan, infaq fi sabillilah… adalah keharusan yang tidak ada udzur ketika jihad hukumnya fardhu'ain.”

Akhir Februari lalu, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri menggerebek kamp pelatihan di Bukit Jalin, Kecamatan Jantho, Aceh Besar, itu. Lebih dari 30 peserta pelatihan ditangkap, dan empat pelatihnya ditembak mati. Dari penyerbuan itu, polisi menyita sejumlah dokumen, kamera, laptop, dan belasan pucuk senjata api.

Sepekan setelah itu, sebuah pesan muncul di satu situs Internet milik kelompok militan. Isinya singkat, cuma dua paragraf. Siaran pers itu diawali penjelasan: ”Kami, Tanzim al-Qaidah Indonesia Wilayah Serambi Mekah ... sampai hari ke-10 pengejaran thagut, kami dapat bertahan melanjutkan jihad meskipun sebagian saudara kami ada yang tertawan dan syahid.”

Nama kelompok ini belum pernah terdengar. Dari sejumlah peserta tadrib yang buka mulut, jejak jejaring kelompok ini diendus sampai Jakarta. Awal Maret lalu, polisi menyerbu dan menembak mati seorang pria berjenggot di warung Internet Multiplus di Pamulang, Banten. Belakangan ketahuan pria itu adalah Dulmatin, buron polisi nomor wahid setelah bom Bali pertama 2002. Yang belum jelas betul adalah bagaimana kelompok baru ini terbentuk.

l l l

AKHIR Januari 2009, perbukitan Cot Kareung, hanya 6 kilometer di luar kota Lhokseumawe. Seratusan pemuda tanggung—ada yang bercelana loreng, berbaju kaus, dengan aneka jenis sepatu—melompat dan merunduk di bawah arahan seorang pria setengah baya. Si instruktur menutup seluruh wajahnya dengan kain bermotif kotak hitam- putih, menyisakan sepasang matanya yang melotot, awas mengawasi murid-muridnya berlatih bela diri. Bercelana loreng, si pelatih mengenakan rompi bertulisan ”polisi” di punggungnya.

”Ini pelatihan laskar Front Pembela Islam yang akan kami kirim ke Jalur Gaza,” kata Tengku Muslim Atthahiri, ulama muda pemimpin Dayah Darul Mujahiddin, yang mengorganisasi latihan itu. Koresponden Tempo, Imran M.A., menemuinya seusai latihan, setahun lalu. Ketika itu, Israel memang tengah habis-habisan membombardir wilayah Palestina yang dikuasai Hamas itu. ”Kami merasa terpanggil berjihad di sana,” katanya. Atthahiri adalah Sekretaris FPI Aceh.

Total ada 125 pemuda yang dilatih. Mereka berasal dari seluruh Aceh dan mendaftar setelah membaca pengumuman Front Pembela Islam di surat kabar. ”Sebenarnya ada 500 lebih yang mendaftar,” kata Atthahiri.

Latihan dilakukan empat hari empat malam, di Bukit Cot Kareung, persis di belakang kompleks Pesantren Darul Mujahiddin. Ketika diwawancarai pada 2009, Atthahiri mengaku mendatangkan dua instruktur bela diri dan satu pelatih militer dari Jakarta. Salah satu pelatih saat itu adalah Sofyan Tsauri—pentolan Al-Qaidah Aceh yang kini tertangkap.

Sofyanlah yang mengenakan rompi ”polisi” dan menutup mukanya ketika memimpin latihan setahun lalu. Belakangan terungkap, dia memang brigadir polisi yang desersi dari Polres Depok pada 2008. Beberapa peserta pelatihan ingat saat itu Sofyan sangat tertutup. ”Selesai latihan, tidak pernah bicara lagi, langsung pulang,” kata satu sumber Tempo.

Ketika dimintai konfirmasi pekan lalu, Tengku Yusuf al-Qardhawi, Ketua FPI Aceh, membantah Sofyan adalah instruktur kiriman FPI Pusat di Jakarta. ”Dia sendiri yang datang kepada kami, mengaku bekas mujahidin di Afganistan dan Mindanao,” kata Yusuf. Karena memang membutuhkan pelatih militer, tawaran bantuan dari Sofyan diterima begitu saja.

Awal Februari 2009, Yusuf dan 15 lulusan terbaik pelatihan militer di Cot Kareung datang ke Petamburan, markas FPI Pusat di Jakarta. Sofyan ikut bersama mereka. ”Rencananya, 15 orang ini ikut pendidikan pemantapan dua pekan di Jakarta,” kata Yusuf. Tapi, Maret 2009, rencana ke Palestina akhirnya batal.

Bukannya pulang kampung kembali ke Aceh, sebagian relawan jihad ini malah memilih tinggal di Ibu Kota. ”Tujuh orang tidak mau pulang,” kata Yusuf. Mereka yang tinggal inilah yang belakangan bergabung dengan Sofyan di kamp pelatihan Tanzim al-Qaidah Aceh.

l l l

SIMPUL Sofyan dan anak-anak didikannya di kamp pelatihan militer FPI bersentuhan dengan Tanzim al-Qaidah Aceh lewat pengajian garis keras Aman Abdurrahman. Dia adalah ustad yang pernah ditahan di LP Sukamiskin, Bandung, karena terlibat kursus pembuatan bahan peledak di Cimanggis, Depok, awal 2004.

Selain Sofyan, Yudi Zulfahri—juga bagian dari kelompok Al-Qaidah Aceh—adalah pengikut pengajian Abdurrahman. Sumber Tempo menuturkan, sejak ditahan di LP Sukamiskin, Abdurrahman amat dekat dengan sel-sel kelompok militan teror. Salah satu jejaringnya adalah Abdullah Sunata.

Sunata adalah mantan pemimpin Komite Penanggulangan Dampak Krisis (Kompak) yang aktif menggalang konflik di Ambon dan Poso. Sunata ditangkap polisi pada Juli 2005 karena memiliki senjata tanpa izin. Dia divonis tujuh tahun penjara dan dibui di LP Cipinang. ”Saya kaget Sunata aktif lagi, karena dia baru saja bebas,” kata Asep Jaja, kawan seangkatan Sunata saat berperang di Ambon. Asep sekarang dihukum penjara seumur hidup di LP Porong, Jawa Timur.

Masuknya Sunata dalam jaringan Al-Qaidah Aceh membawa banyak manfaat. Dia menguasai simpul-simpul mujahidin yang pernah aktif di Kompak, baik ketika mereka beraksi di Poso, Ambon, maupun Mindanao, Filipina. Kuat diduga, Sunatalah yang membawa Dulmatin pulang. ”Mereka memang dekat sejak sama-sama di Ambon,” kata Asep Jaja.

Selain membawa Dulmatin, Sunata mengajak Arham dan Jaja—dua pentolan Al-Qaidah Aceh yang tewas tertembak di Leupueng, Aceh Besar, dua pekan lalu. Dua orang ini adalah bagian dari lingkaran dalam Rois alias Iwan Darmawan, pelaku utama bom di Kedutaan Australia. ”Mereka dari kelompok Darul Islam di Banten,” kata Noor Huda Ismail, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, lembaga yang mengamati gerakan teror di Indonesia.

Terbukti, meski saat ini tengah menanti hukuman mati di LP Cipinang, Rois aktif berkomunikasi dengan jejaring Aceh. Delapan telepon selulernya baru disita polisi bulan lalu. ”Dia berhubungan dengan Sapta alias Syailendra,” kata sumber Tempo, seorang perwira di Mabes Polri (lihat ”Sapta dari Gang Buana”).

Tak hanya itu, sel-sel Jamaah Anshari Tauhid (JAT)—kelompok baru yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir selepas pengunduran dirinya dari Majelis Mujahiddin Indonesia—juga ikut ”bermain” di Aceh. Nama Ubaid alias Luthfi Hudaeroh dan Deni alias Faiz, misalnya, sudah dirilis polisi sebagai buron Al-Qaidah Aceh. ”Suara khotbah di video Al-Qaidah Aceh adalah suara Ubaid,” kata sumber Tempo.

Ubaid dan Deni bukan orang sembarangan. Mereka seangkatan dengan Urwah dan Jabir, yang sudah tertembak mati dalam pengejaran polisi. Keempatnya adalah alumni Universitas An-Nur atau Mahad Aly di Solo, Jawa Tengah, yang juga dikenal sebagai pengawal setia Noor Din M. Top.

Al-Qaidah Aceh ini tampaknya berhasil menggabungkan sel dari Kompak, Darul Islam, dan JAT dalam satu wadah gerakan. ”Jejaring baru di Aceh ini benar-benar membingungkan, semua kelompok lebur jadi satu,” kata Huda Ismail.

l l l

MESKI petanya melebur, polisi yakin pola rekrutmen terorisme setelah kematian Noor Din pada September 2009 tidak berubah. ”Jalurnya tetap tiga: persahabatan, garis keluarga, dan hubungan guru-murid,” kata satu perwira yang menolak disebut namanya.

Pola rekrutmen dengan pertalian keluarga sudah dilakukan sejak dulu: hubungan kawin-mawin dan persaudaraan di antara sesama penganut ajaran garis keras. Dua paman Iwan Dharmawan alias Rois, yakni Kang Jaja dan Saptono, misalnya, aktif di Al-Qaidah Aceh. Jaja sendiri belakangan merekrut keponakannya yang lain, Ibnu Sina. Ibnu, 17 tahun, pemuda dari Pandeglang, Banten, kabarnya disiapkan sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri (lihat ”Eksekusi!”).

Pola rekrutmen lewat hubungan persahabatan tampak dari masuknya Yudi Zulfahri—orang Aceh yang melakukan survei awal untuk lokasi kamp militer di Jantho. Dia diajak oleh Gema Awal Ramadhan. Keduanya sama-sama alumni Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, Bandung. Yudi dan Gema saat ini sudah ditahan polisi. Yudi belakangan mengajak Sofyan Tsauri.

Gema mulai dekat dengan kelompok Islam garis keras lewat pengajian Aman Abdurrahman. Saat Abdurrahman dibui di LP Sukamiskin, kebetulan Gema juga ditahan di sana setelah terlibat penganiayaan siswa STPDN, Wahyudi, pada 2007.

Laporan International Crisis Group pada November 2007 menyebutkan, ”Gema dan sejumlah siswa STPDN yang ditahan di penjara itu langsung tertarik pada ajaran garis keras Abdurrahman.” Masuknya Gema mewakili pola rekrutmen melalui hubungan guru-murid.

Keterlibatan banyak eks narapidana terorisme dan penggunaan penjara sebagai tempat penyebaran ideologi garis keras ini membuat khawatir banyak pihak. ”Kasus terakhir di Aceh ini memang menandakan ada kelemahan dalam proses penanganan narapidana terorisme di Indonesia,” kata Huda Ismail. Menurut dia, saat ini ada sekitar 350 mujahidin eks Afganistan di seluruh Indonesia. ”Tanpa penanganan yang benar, jejaring baru akan terus berkembang,” katanya.

Wahyu Dhyatmika, Budi Setyarso (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Imran (Lhokseumawe), Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus