HANYA sebuah noktah di tengah keluasan Samudra Hindia.
Penduduknya cuma lima ribu orang. Administrasi 'pemerintahan'
ditangani sekitar 30 perwira dan karyawati yang diperbantukan
dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Tetapi fasilitasnya, jangan
ditanya. Tak kalah jauh dari sebuah metropolitan.
Terletak pada 07ø20 Lintang Selatan, dan 72ø26 Bujur Timur, Pulau
Diego Garcia juga memiliki bandar udara internasional, restoran
(termasuk sebuah 'Diego Burger'), lapangan tenis, bioskop,
bahkan yacht club. Sarana ini masih dilengkapi sebuah stasiun
radio FM, Radio One-O-Two.
Mengapa sampai demikian komplet? "Pulau ini adalah basis dan
pusat pengadaan rahasia Amerika Serikat di Samudra Hindia," ujar
seorang wartawan kantor berita GAMMA yang berkunjung ke sana
belum lama berselang. Tetapi, berbeda dengan laporan-laporan
umum yang pernah dibaca, Diego Garcia sebenarnya bukan pangkalan
militer dalam pengertian klasik.
Pulau ini diatur bersama oleh orang-orang Amerika dan Inggris --
dan salah satu pusat pengadaan terbesar bagi berbagai tujuan
militer Pentagon. Pangkalan ini melayani Pasukan Gerak Cepat
Amerika Serikat (Rapid Deployment Force), armada-armada Angkatan
Laut AS di Samudra Hindia, dan pesawat-pesawat pembom nuklir
(B-52) yang bersarang di Teluk Subic, Filipina. Lain dari itu,
sebagian besar penduduk Diego Garcia merupakan pekerja sipil
yang dibayar mahal oleh berbagai perusahaan Amerika yang
ditunjuk Pentagon, untuk memelihara kesiap-siagaan pangkalan ini
setiap saat.
Diego Garcia termasuk gugusan Kepulauan Chagos, bagian dari
Wilayah Samudra India Inggris (BIOT), yakni daerah-daerah
kekuasaan mahkota Kerajaan Inggris yang terakhir. BIOT sendiri
dibentuk berdasarkan sebuah dekrit Kabinet Inggris 8 November
1965. Dalam komunike itu ditambahkan, kawasan baru ini akan
digunakan untuk fasilitas militer Inggris-AS.
Pada 30 Desember 1966, kedua negara itu menandatangani
perjanjian yang mengizinkan pihak AS menyewa 'pulau-pulau
tertentu di lingkungan BIOT' -- termasuk Kepulauan Chagos --
untuk periode 50 tahun pertama. Perlombaan menguasai
tempat-tempat strategis di Samudra Hindia antara negara super
power memang masih berlangsung.
Perang enam hari, Juni 1967 di Timur Tengah, mengakibatkan
ditutupnya Terusan Suez. Dan membuka alur lalu lintas baru
minyak ke Barat dengan mengitari Tanjung Harapan. Sejak itu,
Samudra Hindia mulai memainkan peranan strategis yang penting.
Pada 24 Oktober 1972, sebuah komunike bersama Inggris-AS
mengumumkan didirikannya Stasiun Komunikasi Angkatan Laut di
Diego Garcia. Masalah 'pangkalan' tidak disebut-sebut. Dan pada
bulan-bulan berikutnya, Uni Soviet mendapat 'fasilitas berlabuh'
bagi kapal-kapal perangnya di Berberra (Somalia), Aden (Yaman
Selatan), Umm Qasr (Irak), dan Chittagong (Bangladesh).
Kenyataan ini agaknya menerbitkan gagasan baru pada para
pengambil keputusan di London dan Washington. Pada 25 Februari
1979 Inggris dan AS sepakat memperpanjang landasan udara di
Diego Garcia. Dan perubahan ini mengizinkan mendaratnya
pesawat-pesawat jet, seperti KC-135 dan B-52.
Dengan kejadian-kejadian terakhir di Timur Tengah, Afghanistan,
Teheran, dan perang Iran-lrak, pulau ini pun berkembang menjadi
mata rantai pertahanan Barat yang sangat penting. Dengan pulau
ini pula AS berhadapan dengan Uni Soviet di samudra yang dulu di
kontrol Inggris dan Prancis itu.
Diego Garcia, bagian paling selatan Kepulauan Chagos itu, boleh
dikatakan terletak tepat di tengah Samudra Hindia, yang luasnya
75 juta km. Pulau itu sama jauhnya dari pantai-pantai India,
Kepulauan Indonesia, dan pantai timur Afrika. Ia juga jalan
pertengahan antara Arab/Teluk Persia, Selat Hormuz, Selat
Malaka, dan Bab el-Mandeb.
Karenanya, pulau ini tak pelak lagi merupakan kunci keamanan di
samudra yang luas itu. Letaknya di wilayah bebas badai,
berbentuk ladam kuda, memiliki panjang 26 km dan lebar antara 5
dan 10 km. Pesawat angkut jet C-52 Galaxy milik Angkatan Udara
AS mensuplai makanan segar secara teratur, baik dari Singapura
maupun dari pangkalan AS di Filipina.
Di pulau ini pula berpangkalan kapal-kapal berpangkalan
kapal-kapal container raksasa Angkatan Bersenjata AS. Kapal itu,
penuh tank, panser, senjata api, amunisi, dan perlengkapan
logistik untuk satu divisi, siap berangkat ke sekitar tujuan
berdekatan, dan sudah bisa dimuati lagi dalam tempo 48 jam.
Dari segi organisasi dan pertimbangan militer, pulau ini tampak
tidak mempunyai masalah. Ia dapat menampung beberapa ribu
personil militer yang sedang melakukan perjalanan transit.
Pelabuhannya sudah diperdalam, sehingga layak dihampiri kapal
induk. Namun, dalam sejarah politiknya, Diego Garcia sangat
sering mengalami keretakan dan kekusutan -- keadaan yang bahkan
dapat menjadi titik sasaran konfrontasi diplomatik di masa
depan.
Sebelum dihisabkan menjadi bagian BIOT, Kepulauan Chagos berada
di bawah administrasi dan kontrol teritorial Mauritius, koloni
Kerajaan Inggris sejak 1814. Dalam Perjanjian Paris 10 Mei 1814,
Mauritius dipisahkan dari koloni Prancis (berdasarkan klaim
1769) dan diserahkan kepada Inggris.
Ketika BIOT dibentuk, 1965 Mauritius belum merdeka. Malah dalam
kenyataannya penduduk Mauritius sendiri tidak ingin merdeka.
Tetapi Partai Buruh Mauritius, yang dipimpin tokoh kebapakan
Seewoosagur Ramgoolam, melakukan pendekatan dengan Partai Buruh
Inggris yang ketika itu sedang memerintah.
Pada 1968 Mauritius dinyatakan merdeka, dan 'Sir' Ramgoolam
diangkat menjadi perdana menteri. Ia bertahta 14 tahun. Pada
1982 muncul Gerakan Militer Mauritius, yang dipimpin seorang
profesor muda, Paul Berenger. Bersekutu dengan Partai Sosialis,
gerakan ini memenangkan 60 dari 62 kursi di parlemen.
Para pemimpin generasi-baru kemudian mencoba menyelidiki lebih
jauh berbagai persoalan di sekitar 'kemerdekaan' Mauritius. Dan
mereka, konon, menemukan hal-hal yang mencurigakan. Sir
Ramgoolam ternyata pernah menerima Å“ 3 juta sebagai 'uang ganti
rugi', karena 426 keluarga -- kira-kira 1.200 jiwa penduduk
Chagos akan dipindahkan dan dimukimkan kembali di Mauritius.
Rencana itu akan dilaksanakan setelah Chagos dipisahkan dari
negara yang akan dimerdekakan itu.
Soalnya, orang Amerika lebih suka menerima Kepulauan Chagos
tanpa penduduk. Tetapi para pribumi segera melancarkan unjuk
perasaan. Keturunan bekas budak yang dulu diangkut Inggris dan
Prancis untuk mengembangkan perkebunan kelapa itu melakukan
serangkaian mogok duduk dan mogok makan, meminta perhatian para
penguasa Mauritius dan Inggris.
Karena itu, pemerintah yang baru, koalisi Partai Sosialis dengan
Gerakan Militan Mauritius itu, mulai menamakan pemisahan Chagos
dari Mauritius sebagai 'pengkhianatan nasional'. Sebuah komite
kemudian melaporkan pula: kursi perdana menteri yang diperoleh
'Sir' Ramgoolam sebenarnya berasal dari kongkalingkong dengan
penguasa Inggris. Pada 1968 itu, menurut komite ini, mana
mungkin Ramggolam dipilih rakyat. Mengapa? "Ya, karena rakyat
Mauritius sebetulnya ogah merdeka," demikian tulis wartawan
tadi.
Sementara itu, pribumi Chagos hidup dalam keadaan merana di
daerah-daerah miskin Port Louis. Mereka kemudian
mengorganisasikan kampanye internasional yang legal terhadap
BIOT. Sesungguhnya, keputusan pemerintahan Partai Buruh Inggris
pada 1965 bertentangan dengan beberapa piagam dan deklarasi
internasional. Misalnya dengan resolusi PBB No. 1514, 14 Agustus
1960, yang melarang kekuasaan kolonial memenggal suatu wilayah
dengan alasan pemberian kemerdekaan.
Tambahan pula, dekrit kabinet yang menyatakan pembentukan BIOT
itu sepenuhnya tidak sesuai dengan perasaan 1.200 penduduk
Chagos. Ia bertentangan dengan Piagam San Francisco, Juni 1945,
yang juga melahirkan PBB. Piagam itu mengakui "hak setiap rakyat
untuk menentukan nasibnya sendiri". Dengan mengorbankan Chagos,
Mauritius memperoleh kemerdekaannya. "Kini negeri itu jatuh ke
dalam perbudakan ekonomi," kata wartawan GAMMA tersebut.
"Mauritius menjadi 'koloni' Dana Moneter Internasional dan Bank
Dunia."
Menyusuli sebuah laporan Dana Moneter Internasional, Februari
1983, pemerintahan koalisi Mauritius bubar jalan setelah berbeda
pendapat mengenai kebijaksanaan ekonomi. Dan pada 21 Agustus
lalu negeri pulau ini melaksanakan pemilihan umum.
Sementara hasil pemilihan umum belum diketahui, Gerakan Militan
Mauritius yang berkampanye sendirian sudah memetik kemenangan
diplomatis. Dalam KTT Nonblok di New Delhi, India, mereka
berhasil menggolkan resolusi yang menuntut demiliterisasi
Samudra Hindia dan pengembalain Kepulauan Chagos kepada
Mauritius.
Pelaksanaan resolusi itu sendiri, tentu saja, sulit diramalkan.
Dalam pada itu, Kepulauan Chagos, khususnya Pulau Diego Garcia,
tetap saja menjadi sarang mesin peperangan. Dunia memang selalu
tak aman, rupanya, dengan atau tanpa Deigo Garcia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini