SETELAH berlangsung satu dasawarsa, kampanye KB sekarang ini
agaknya sudah waktunya bergerak ke samping. Selain kreatif
menemukan nama untuk masa kampanye, seperti Safari Senyum
(sungguh enak dan nyaman untuk masyarakat) yang sekarang sedang
berjalan di Jawa Barat dan Sumatera Barat, juga banyak
diharapkan adanya penjelasan sekitar kemungkinan pengaruh
samping dari berbagai alat kontrasepsi.
Beberapa penelitian oleh dokter Indonesia sendiri sudah
mendukung ke arah itu. Rum Sudoko dari Surabaya, misalnya, belum
lama ini menulis disertasi tentang tidak ditemukannya bukti pil
KB bisa membikin kanker. Dan yang terakhir adalah trio dokter
gigi dari Jakarta yang dalam penelitian mereka baru-baru ini
secara meyakinkan menemukan pil KB sebagai biang keladi
terjadinya radang mulut.
Dokter gigi Dewi Nurul M., staf pengajar FKG-UI, dan dua
sejawatnya (Sri Lelyati dan Yuniarti Syafril) pada mulanya
masygul melihat begitu banyak nyonya rumah tangga peserta KB
dengan pil yang mengeluh tentang gusi berdarah disertai sakit.
Banyak pula yang mengeluh giginya goyang.
Lantas dari Maret sampai Juni 1983 mereka mengadakan penelitian
di Puskesmas pendidikan milik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia di Kecamatan Bungur, Jakarta. Setelah mengelompokkan
akseptor berdasarkan metode KB, mereka memisahkan dan secara
khusus meneliti 82 akseptor pil. Sasaran penelitian itu berusia
17 sampai 39 tahun.
Riwayat kesehatan mulut para akseptor diselidiki dengan
mengajukan rupa-rupa pertanyaan. Mulai dari berapa kali
menggosok gigi setiap hari. Kalau pernah memeriksakan gigi,
berapa kali setahun. Pernah atau tidak menderita penyakit gigi.
Kemudian mereka melakukan pemeriksaan langsung terhadap selaput
lendir mulut. Begitu pula dengan jaringan penyangga gigi. Contoh
lapisan permukaan gigi yang mengandung sisa makanan dan bakteri
juga diambil dan diperiksa. Sebagai pembanding dalam penelitian
itu, dipilih 100 peserta KB spiral.
"Ternyata alkseptor spiral tidak menunjukkan radang selaput
lendir. Sementara 100% akseptor pil mengalami radang selaput
lendir dari tingkat ringan sampai sedang. Gigi goyang dijumpai
sekitar 20% dari peserta KB pil," kata Devi.
Penelitian trio dokter gigi yang memakan biaya Rp 2 juta ini,
sebagaimana mereka akui sendiri, baru bersifat pendahuluan.
Mereka berjanji akan mengembangkan hasilnya ke masalah-masalah
yang lebih spesifik. Tetapi boleh dicatat, seperti yang
dikatakan Kasmir Siregar, staf ahli dari BKKBN, penelitian di
Bungur itu merupakan yang pertama di Indonesia.
Di Barat efek samping itu sudah ramai dibicarakan awal tahun
1970-an. Tetapi jelas tingkat kerusakan selaput lendir mulut di
sini jauh lebih tinggi, karena kondisi kesehatan yang lebih
rendah. Yang jelas, penelitian di Bungur itu memperkuat
penelitian serupa di Mesir tahun 1971 yang menemukan bertambah
parahnya kondisi kesehatan mulut kalau orang menelan pil KB.
Yang menyebabkan kerusakan selaput lendir mulut itu adalah
hormon sintetis yang terkandung dalam pil. Hormon tadi
menyebabkan perubahan pada pembuluh darah dan jaring ikat yang
mengakibatkan peradangan pada selaput lendir. Seperti yang
ditemukan Dewi dan kawan-kawannya di Bungur tadi, wanita-wanita
penelan pil menderita gusi yang bengkak memerah. Bisa terjadi
perdarahan spontan. Kadang-kadang disertai sariawan yang tak
kunjung sembuh.
Rendahnya mutu kesehatan mulut sebagai yang ditemukan di Bungur
tadi membuat Dewi jadi agak putus asa kalau memikirkan
mulut-mulut wanita di desa yang jauh dari jangkauan penyuluhan
kesehatan. "Di Jakarta saja efek samping pil KB masih
menimbulkan keradangan berat, bagaimana dengan daerah yang
pelayanan kesehatannya kurang?" Dewi menggerutu.
Dari daerah-daerah yang jauh belum terdengar keluhan mengenai
mulut yang nyut-nyutan setelah menelan pil. Atau, seperti yang
dikatakan Kasmir Siregar dari BKKBN, penyakit itu tak dihiraukan
karena yang ditakutkan adalah kanker. Namun, di Jakarta sudah
banyak yang mengeluh kepada dokter. Terutama di Klinik Raden
Saleh yang saban hari hingar-bingar oleh wanita-wanita yang
berusaha menghindari kehamilan yang tak diharapkan. "Di antara
akseptor yang datang ke sini ada yang mengeluh mengenai sariawan
yang tak kunjung sembuh," cerita ahli kebidanan dan kandungan,
Biran Affandi, di klinik itu.
Untuk mengatasi keluhan itu, Biran terpaksa menganjurkan si
akseptor untuk menanggalkan ketergantungannya kepada pil dan
menggantikannya dengan cara lain. "Baru kemudian efek samping
tadi disembuhkan," katanya.
Kalangan dokter biasanya menangani keluhan tadi dengan
antiseptik lokal berupa obat isap. Kalau radangnya memang berat,
dikombinasikan pula dengan antibiotika.
Jika hasil penelitian di Bungur itu bisa dianggap cermin dari
pemakai pil KB, maka mereka yang mengeluh karena sariawan, gusi
meradang dan gigi goyang cukup besar. Menurut catatan dari
berbagai rumah sakit di seluruh Indonesia, pemakai pil KB untuk
tahun 1982 tercatat 120.000 orang. Pil menempati tempat teratas
dari jenis kontrasepsi yang ada.
Sambil memuji hasil penelitian 3 dokter dari Fakultas Kedokteran
Gigi UJ itu, Kasmir Siregar menjanjikan akan melakukan
penelitian lanjutan kalau memang nantinya keluhan sakit mulut
ini bertambah menonjol di kalangan peserta KB. "Mungkin juga
keluhan semacam ini sudah banyak terdapat di antara para
akseptor pil, tetapi karena kesehatan mulut belum menjadi
perhatian, keluhan itu diabaikan saja," kata Siregar.
Siregar, yang bekerja di biro kontrasepsi BKKBN, menganggap
betapa pentingnya penelitian mengenai efek samping dari pil dan
alat kontrasepsi lain. Sebab, peningkatan jumlah akseptor akan
disertai tuntutan penerangan mengenal efek sampingnya.
Pil KB sendiri yang sudah berusia 20 tahun pernah menempuh masa
yang mencemaskan. Ketika pil diperkenalkan awal tahun 1960-an,
kalangan dokter di seluruh dunia khawatir kalau-kalau obat
pencegah kehamilan itu akan menyebabkan kanker payudara bertebar
di kalangan wanita pemakai. Karena, kebetulan masa itu ditandai
dengan banyaknya korban kanker payudara yang jatuh terutama di
kalangan wanita di negara maju. Tetapi, setelah 20 tahun
dipakai, ternyata tidak ada bukti pil KB mempercepat wanita kena
kanker payudara -- satu penyakit yang jauh lebih berbahaya
daripada yang menyerang selaput lendir mulut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini