SUNGGUH malang nasib satelit India, INSAT 1B, yang diorbitkan
dua bulan silam. Belum sempat unjuk kebolehan, dua pekan lalu
satelit serba guna itu dikabarkan "ditabrak benda beku yang
belum dikenal," hingga tidak bisa berfungsi. Sampai awal pekan
ini, "benda beku" itu belum bisa diidentifikasikan.
Dunia satelit, kebetulan, memang memasuki era baru. Era yang
semakin pahit, ketika keamanan di angkasa kian banyak
dipertanyakan. Akhir bulan lalu, misalnya, Amerika Serikat
mengayunkan langkah bersejarah. Teknologi peran akhirnya
menemukan cara terbaik membungkam sistem komunikasi mutakhir
yang diandalkan musuh.
Melalui persiapan rahasia, Amerika Serikat berhasil mendisain
pesawat tempur jet F-15 untuk mengembangkan sistem "antisatelit"
mereka. Dibebani sepucuk rudal, F-15 tadi akan melesat sampai
ketinggian sekitar 29 km. Kemudian, dari ketinggian itu, ia
melepaskan rudal bertingkat dua dengan kecepatan sekitar 800 km
per menit. Nah, rudal inilah yang merontokkan satelit yang
dijadikan sasaran.
"Sebenarnya sangat sederhana," ujar Dr. Thomas Karas, ahli
pertahanan pada Kantor Penilaian Teknologi Kongres Amerika
Serikat. Angkatan Udara AS (USAF) sekarang ini bisa mengubah
setiap F-15 mereka yang ditempatkan di mana saja menjadi pesawat
antisatelit -- hanya dalam enam jam. Tak lama lagi, dua skuadron
antisatelit AS sudah akan berjaga-jaga selama 24 jam sehari
semalam.
Sebelum pesawat antisatelit (ASAT) dilepas, Pusat Operasi
Pertahanan Udara AS di Colorado akan menguraikan rencana
penyerangan kepada pilot F-15 yang bakal bertugas. Rencana itu
didasarkan pada laporan yang dikumpulkan radar, satelit, dan
teleskop bumi.
Pembantaian satelit musuh itu akan dilakukan oleh sebuah kepala
peluru silindris berukuran 12 x 13 inci, yang ditempatkan di
ujung roket. Kepala peluru itu dilapisi silikon, dan
dilengkapi dengan peralatan elektronis. Setelah melepaskan diri
dari roketnya, kepala peluru kendali langsung menuju sasaran
dengan delapan teleskop mini di hidungnya. Teleskop ini menyerap
sinar inframerah sasaran, yang kemudian difokuskan pada pesawat
sensoris di dalam peluru.
Sebuah komputer yang ditempatkan di dalam kepala peluru secara
terus-menerus akan menyampaikan informasi, termasuk petunjuk
kelembaman yang 'dibaca' dari sebuah giroskop laser. Sementara
itu, 56 roket kendali berukuran kecil akan menjaga arah kepala
peluru, agar tidak melenceng dari sasarannya. Melalui mekanisme
seperti inilah, kamikaze yang dikomputerisasikan itu
menghancurkan satelit musuh.
Perincian lebih detil, tentu saja, tidak akan diberikan. "Kami
ingin musuh terus menebak-nebak," ujar Letnan Kolonel Geoff
Baker, juru bicara Komando Ruang Angkasa USAF. Karena itu,
tempat peluncuran percobaan bulan lalu itu juga tidak diumumkan
terperinci. Hanya "di salah satu tempat di Los Angeles."
Lalu, bagaimana dengan kemampuan Soviet? "Mereka sudah mempunyai
sistem antisatelit sendiri," kata Letnan Jenderal Daniel O.
Graham, bekas direktur inteligen USAF. Daniel, salah seorang
tokoh dari kelompok "elang" (hawk) Amerika Serikat, sangat
mendukung gagasan mengembangkan ASAT.
Tetapi, dibandingkan dengan sistem Amerika, ASAT Soviet bisa
dijuluki "anak bongsor yang lamban". Tingginya 45 meter.
Beratnya lebih dari dua ton! Dalam waktu 10 tahun terakhir,
Soviet konon sudah melakukan 20 kali uji coba. Sejumlah satelit
mereka sendiri diumpankan untuk keperluan uji coba itu.
ASAT Soviet harus menunggu 24 jam, sampai perputaran bumi
membawa sasaran tepat di atas daerah peluncuran di Tyuratam di
bagian Asia Soviet. Kepala peluru mereka tidak langsung mengarah
sasaran. Melainkan masuk dulu ke orbit bumi, dan baru mendekati
calon korbannya setelah sekali dua mengelilingi bumi. Proses
penembakan itu memerlukan waktu tiga jam.
Sebaliknya, ASAT Amerika hanya memerlukan satu jam perjalanan
dari hangar menuju sasaran. Sebagian besar waktu itu digunakan
oleh pesawat pengantar F-15 yang telah dimodifikasikan tadi.
Panjangnya pun hanya 5,5 meter. Kalau rudal AS mempunyai
kecepatan maksimal 805 km per menit, ASAT Soviet tidak lebih
dari 21 km per menit.
ASAT Soviet menghancurkan sasarannya melalui ledakan, bukan
benturan langsung. Menurut Dr. Thomas Karas, ASAT jenis ini baru
berhasil melaksanakan tugasnya bila mampu mendekati sasaran
dalam jarak sekitar delapan km. Perkiraan itu masuk akal bila
diingat bahwa sebuah kepala peluru nuklir berukuran kecil
membutuhkan jarak yang sama untuk mencapai hasil ledakan yang
memuaskan.
Untuk sebagian ahli militer AS, kekhawatiran terhadap ASAT
Soviet selama ini agak berlebihan. Menurut Dr. Marcia S. Smith,
spesialis kepala pada pengamatan ruang angkasa Soviet di Library
of Congress, semua satelit komunikasi dan tanda bahaya AS
terlalu tinggi untuk dicapai ASAT Soviet. Satelit-satelit itu
berada di orbit geosinkron, pada titik 35.903 km di atas bumi.
Sedangkan kemampuan ASAT Soviet, konon, tidak lebih dari 2.254
km. Dengan kemampuan seperti itu, Soviet hanya bisa
menghancurkan satelit cuaca dan satelit pemotret, yang dalam
strategi perang Amerika tidak begitu penting.
Hingga 1987, Pentagon mengharapkan memiliki 112 ASAT. Tetapi
Juni lalu, Kongres AS menolak pemberian dana untuk pengembangan
ASAT, dengan perbandingan suara 234:177. Golongan kontra
dipelopori oleh George E. Brown, Jr., wakil Partai Demokrat dari
California.
Dari segi biaya, pengembangan ASAT memang patut dipertimbangkan.
Menurut perhitungan USAF, pengembangan sistem itu membutuhkan
sekitar Rp 3,6 trilyun. Menurut perkiraan sebuah kantor akuntan
publik, biaya itu bahkan mencapai "puluhan milyar dollar."
Di Amerika Serikat, perbedaan pendapat mengenai pengembangan
sistem ASAT terutama berlangsung antara kelompok militer dan
kalangan "merpati" di dalam Kongres.
Sebuah pamflet gelap bernada kontra bahkan sempat beredar di
Gedung Capitol, musim panas lalu. Dalam pamflet itu dinyatakan,
Soviet sesungguhnya "tidak memiliki sistem operasional."
Alasannya? "Dalam 15 tahun, mereka hanya mampu menghancurkan
sebuah sasaran."
Pihak yang pro, tentu saja, tak tinggal diam. Menurut perkiraan
mereka, Soviet paling tidak sudah melakukan lebih sepuluh tahun
percobaan atas senjata serupa. Orang-orang Rusia itu, kata
Kenneth Kramer, wakil Partai Republik dari Colorado, "bisa saja
melancarkan pukulan pertama yang membuat kita buta, tuli,
senyap, tak bisa berkomunikasi dan menyiarkan apa-apa."
Sebetulnya, Amerika Serikat sudah memulai percobaan antisatelit
sejak dua dasawarsa lalu. Dari 1963 hingga 1975, misalnya USAF
telah mempersenjatai sebuah atol di Pasifik dengan roket-roket
berkepala nuklir. Roket ini diharapkan menangkal satelit Soviet,
bila keadaan tiba-tiba berubah menjadi jelek.
Karena itulah, agaknya, pemimpin Uni Soviet Yuri Andropov
memperlihatkan sikap ogah-ogahan menghadapi pengembangan ASAT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini