Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERINGAT menetes di wajah perempuan bule itu. Kaus hitam yang berbalut kemeja putih basah oleh peluh. Tapi ia seperti tak peduli pada teriknya matahari di Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, Ahad dua pekan lalu. Ia juga tak peduli akan keriuhan 300-an pelajar dan pelukis profesional yang menggambar relief candi. Perempuan itu terus mengelilingi seluruh candi. Dia asyik memotret relief dan membuat catatan di bukunya.
Lydia C. Kieven, si bule itu, seakan tak puas atas gelar doktor tentang Panji yang telah diraihnya akhir tahun lalu. Lydia tetap mengumpulkan data yang mungkin akan diperlukannya. ”Mungkin akan ada penelitian lebih lanjut,” katanya dalam bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Perempuan kelahiran Jerman, 54 tahun lalu, itu telah lama tertarik pada kekayaan Nusantara. Awal kecintaannya terhadap Indonesia dimulai 25 tahun lalu, saat berkunjung ke Bali. Teman-temannya bercerita soal kebudayaan Jawa. Setahun kemudian, ia mengunjungi Borobudur dan Prambanan. Sarjana matematika dari Universitas Koeln ini langsung berminat mempelajari bahasa Indonesia. Niat itu dilakoninya pada 1990 dengan mengambil master bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Cologne, Jerman.
Keluarganya menilai Lydia aneh karena berminat pada kebudayaan Jawa. Tapi ia cuek. Bahkan ia membeli gamelan Jawa bersama teman-temannya. Nama grupnya Laras Kulon, mirip-mirip kota tempat Lydia tinggal, Koeln. Sembari kuliah, ia bekerja sebagai pemandu wisata ke Indonesia. Setelah mengantarkan para turis, Lydia tinggal beberapa minggu untuk mempelajari budaya negeri ini. ”Saya mencintai Jawa,” katanya.
Saat semester pendek, ia menyempatkan diri belajar arkeologi serta bahasa Jawa dan Jawa Kuno di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lydia bahkan sampai kursus privat kepada Ki Patmopuspito. Tujuannya mempelajari cerita Arjunawiwaha, yang menjadi materi tesisnya. Ia memilih obyek penelitian candi-candi di Jawa Timur karena belum banyak diteliti. ”Pada candi di Jawa Timur, saya merasa menemukan tempat suci. Ini tak saya dapat di Prambanan dan Borobudur karena sudah banyak permainan wisata,” kata mantan jurnalis radio Deutsche Welle bagian Indonesia ini.
Tesis berjudul ”The Asceticism of Arjuna” mengantarnya meraih gelar master pada 1995. Sesuai dengan anjuran Kiai Patmo, setahun kemudian Lydia mempelajari cerita Panji di Candi Kendalisodo. Tapi pengumpulan bahannya terhenti karena ia mengidap kanker. Kembali ke Jerman, ia mengambil program doktoral di Cologne.
Kesibukan bekerja membuat Lydia tak bisa meneruskan penelitiannya tentang Panji. Pada 2002, akibat peristiwa bom Bali, turis Jerman ke Indonesia berkurang. Lydia kehilangan pekerjaannya. Atas anjuran Profesor Adrian Vickers, peneliti Panji di Bali, Lydia mencari beasiswa di Universitas Southeast, Australia. Pada 2006, ia menetap di Australia. Penelitian soal Panji ia lanjutkan kembali.
Agus Bimo Prayitno, jebolan sastra Jawa Universitas Sebelas Maret yang menemani perjalanan Lydia ke semua candi, menilai semangat Lydia mempelajari kebudayaan Jawa begitu besar. Lydia juga tak mengenal lelah mengunjungi candi berkali-kali. Bahkan Lydia sampai menyewa sepeda motor untuk berkeliling Jawa Timur. ”Dia seperti Srikandi. Kalau sudah punya keinginan, harus dicapai,” kata Bimo, yang mengenal Lydia sejak 1993.
Adapun Suprapto Suryodarmo, pemimpin Padepokan Seni Lemah Putih, Surakarta, yang ikut membantu riset Lydia, mengatakan Lydia, yang cukup bisa berbahasa krama inggil, tak menjadikan Indonesia sebagai obyek disertasi semata. Tapi Lydia juga memiliki kepedulian terhadap kebudayaan Indonesia. Saat festival Panji di Malang tiga tahun lalu, Lydia giat membantu Prapto tanpa mendapat bayaran sedikit pun. Lydia bahkan membiayai sendiri perjalanan dan penginapannya. ”Kecintaannya kepada Indonesia bisa lebih tinggi ketimbang orang kita sendiri,” katanya.
Pramono, Bibin Bintariadi (Blitar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo