Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS adegannya mirip sepak bola Piala Dunia di Afrika Selatan. Setiap kali lawan mendapat bola, salah satu pemain Darmstadt Dribblers akan mendekati dan berusaha merebutnya. Kadang bola disepak ke samping sehingga menjauh dari kaki pemain lawan. Kadang bola disepak ke depan sampai lawan terjatuh.
Dengan cepat Darmstadt, tim dari Jerman, mencetak sembilan gol. Di menit terakhir, bola dipegang pemain lawan. Alih-alih menembakkan bola ke depan, pemain itu malah membuat gol bunuh diri. Skor berakhir dengan 10-0. Pemain Darmstadt mengangkat kedua tangan, tapi tanpa luapan emosi dan ekspresi kemenangan. Maklum, skuad Darmstadt yang mengalahkan tim RO-PE dari Singapura, kedua grup itu, robot. Pertandingan yang digelar pekan lalu tersebut adalah bagian dari Piala Dunia Sepak Bola Robot (RoboCup) 2010, yang digelar seminggu penuh di Singapura.
Darmstadt Dribblers memang tim yang paling ditakuti dalam RoboCup 2010. Bukan hanya karena mereka juara bertahan, melainkan juga langsung menunjukkan kelas. Sebelum menghabisi tim Universitas Nasional Singapura RO-PE, juara RoboCup tahun lalu ini sudah menghajar Cyberlords La Salle-Cinv (10-0), NYP Lions (10-0), ZJUDancer (8-0), dan aiRobots (10-0) dalam sepak bola tiga lawan tiga.
Dalam dunia sepak bola robot, Darmstadt Dribblers itu tim yang senior. Sejak kejuaraan pada 2006, tim yang dipimpin Profesor Oskar von Stryk dari Universitas Teknologi Darmstadt itu sudah bertanding. Saat itu Stryk sudah membanggakan kemampuan robot buatannya. Selain kecepatan, robot dari Darmstadt punya kelebihan sistem pengindra karena memiliki kamera sudut lebar sebagai mata. ”Artinya, ia bisa melihat kaki sendiri,” kata Stryk.
Robot itu bisa berkoordinasi dengan rekan satu tim di lapangan dengan sinyal Wi-Fi. Kemampuan koordinasi ini tampak jelas ketika tiga pemain Darmstadt mengatur posisi saat melawan RO-PE. RO-PE beberapa kali tidak menutup ruang antara pemain Darmstadt yang memegang bola dan gawang sehingga beberapa gol terjadi lewat tembakan jarak jauh. Sebaliknya, pemain Darmstadt langsung membagi peran untuk menjaga lawan.
Meski sangat ditakuti di dunia robot, jangan dibayangkan para pemain Darmstadt seterampil Michael Ballack. Gerakan mereka masih lamban, mirip bayi yang baru belajar berjalan. Kecepatan berlari anggota tim Darmstadt cuma 1,4 kilometer per jam atau kira-kira sepertiga kecepatan manusia berjalan santai. Tapi ini standar terbaik kemampuan robot sepak bola sekarang. Diharapkan, lewat rangkaian kejuaraan tahunan RoboCup, kesebelasan robot bisa mengalahkan kesebelasan manusia yang masuk Piala Dunia pada 2050.
Target ini sangat ambisius, apalagi jika melihat saat kejuaraan pertama digelar pada 1997. Saat itu belum ada kategori humanoid (robot berbentuk manusia, dengan dua kaki dan dua tangan). Yang ada hanya robot seperti tabung yang berjalan memakai roda. Target ini mulai tampak bentuknya setelah kompetisi berjalan lima tahun dengan diperkenalkannya kategori humanoid di kompetisi ini pada 2002.
Peraturan pertandingan juga terus diperketat dan semakin sulit. Sampai setahun silam, gawang di lapangan dibedakan dengan warna, yakni kuning dan biru, agar gampang dibedakan oleh para pemain. Tapi mulai tahun ini lebih susah: gawang sudah berbentuk jaring seperti pada pertandingan sepak bola manusia.
Ukuran robot pun bertambah. Hingga tahun lalu, robot manusia maksimal setinggi 120 sentimeter. Sekarang diizinkan lebih tinggi dari 120 sentimeter. Tim yang mengirim robot seukuran manusia dewasa itu misalnya Institut Politeknik Virginia dan State University Virginia di Blacksburg dengan robot bernama Charli. Robot yang lebih jangkung lebih rumit dikendalikan. ”Semakin tinggi robotnya, keseimbangan semakin sulit,” kata Dennis Hong, Direktur Laboratorium Robot dan Mekanisme di Politeknik Virginia.
Untuk ukuran di bawah 60 sentimeter, seperti Darmstadt Dribblers, sudah cukup sulit. Programer salah sedikit, robotnya tidak akan mampu bertanding. Dalam pertandingan melawan Darmstadt, robot dari RO-PE tidak hanya melakukan gol bunuh diri, tapi salah satu pemainnya ada yang jatuh dan tidak bisa bangun lagi. Ada yang langsung diam sehingga diambil wasit. Ada pula yang lututnya sudah digerakkan tapi kemudian ambruk lagi.
Kadang kesalahan terjadi akibat situasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya, seperti yang dialami RoboPatriots dari Universitas George Mason, Amerika Serikat, tahun lalu. Saat itu para insinyur dari Universitas George Mason merancang mata robot tersebut terus melacak bola berwarna oranye. Celakanya, dalam RoboCup ketika itu lantai samping lapangan berwarna oranye. ”Jadi robot kami melihat warna oranye dan berpikir: oh, ini bola besar sekali,” kata Sean Luke, profesor dari Universitas George Mason.
Alhasil, RoboPatriots sering ke luar lapangan berjalan-jalan, bukannya bermain sepak bola. Untung saja, mereka tidak terlalu memalukan karena berhasil memblok bola lebih banyak daripada tim lain. Perbaikan ini membuat prestasi RoboPatriots lumayan pada RoboCup tahun ini. Mereka lolos ke babak kedua, meski kemudian kalah 4-0 oleh CIT Brains Kid.
Tidak semua robot mahal. Memang, Virginia Tech mengucurkan US$ 18 ribu untuk membuat robot DARwIn—satu tim minimal butuh tiga robot untuk pertandingan tiga lawan tiga. Begitu pula untuk kategori Platform Standar (kategori memprogram robot yang sama), yang memakai robot Nao dengan harga—menurut situs www.robotshop.ca—mulai US$ 17 ribu atau setara dengan mobil Toyota Avanza. Tapi Profesor Luke berhasil membuat RoboPatriots dengan biaya hanya sekitar US$ 2.000 atau setara dengan sebuah sepeda motor di Indonesia.
Nur Khoiri (Scientific American, Der Spiegel)
Evolusi Tim Robot
Komputer sudah mengalahkan Gary Kasparov, juara dunia catur, sejak 1997. Tapi, untuk sepak bola, urusan komputer jauh lebih rumit lagi karena menyangkut gerakan, reaksi, kecepatan, dan seterusnya. Para pembuat robot sudah memasang target 2050 sebagai batas akhir buatan mereka mengalahkan tim manusia juara dunia FIFA.
1997 2002 2003 2004 2005 2008 2010 2011-2049 2050 Inilah Darmstadt Dribblers
Tinggi: 57,5 sentimeter
Sepak bola antarrobot mulai digelar. Belum ada kelas humanoid (robot manusia yang berjalan dengan dua kaki sendiri). Saat itu robot yang dipertandingkan tanpa kaki dan tangan, bergerak dengan roda.
Kelas humanoid mulai digelar. Ukuran masih bermacam-macam, 10-220 sentimeter. Kompetisi hanya ujian berjalan dan adu penalti serta diizinkan dikendalikan dari jauh oleh manusia.
Humanoid terkenal dari Jepang, Honda Asimo, merajai karena belum ada pesaing.
Tim Osaka dari Jepang, memperkenalkan robot setinggi sekitar setengah meter. Ukuran ini dianggap pas untuk bermain sepak bola sehingga dijadikan standar.
Humanoid mulai bertanding seperti manusia lewat sepak bola dua lawan dua. Pengendali jarak jauh dilarang dan ukuran kaki harus proporsional. Kelas dibagi dua, yakni Ukuran Bocah (tinggi 30-60 sentimeter) dan Ukuran Remaja (100-120 sentimeter).
Kamera yang bisa memutar 360 derajat dilarang. Pertandingan sepak bola dijalankan tiga lawan tiga. Kelas Platform Standar (pertandingan memprogram robot sama), yang semula menggunakan robot anjing berkaki empat Aibo buatan Sony, Jepang, mulai diganti robot berkaki dua Nao buatan Aldebaran, Prancis. Adu penalti mulai diganti adu menggiring dan menendang bola.
Liga Humanoid ditambah Ukuran Dewasa (130 sentimeter ke atas). Gawang dibuat dari jaring seperti sepak bola manusia. Semula gawang dicat biru dan kuning agar para robot bisa membedakan.
RoboCup digelar setiap tahun dan robotnya semakin pintar bermain sepak bola.
Kesebelasan robot ditargetkan mengalahkan tim manusia juara Piala Dunia 2050.
Berat: 3,34 kilogram
Kecepatan maksimal: 1,44 kilometer/jam
Engsel: 21
Motor penggerak: 18 Robotis RX-28, 3 Robotis RX-64
Kamera: Philips SPC 1300 NC, 1,3 MP
Sudut kamera: 80 derajat
Giroskop: Silicon-Sensing CRS03-04 berporos 3
Frekuensi kendali: 100 Hz
Komputer: Intel Atom Z530 1,6 GHz Linux
Tenaga: Baterai Li-poly 18,5 V, 2100 mAh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo