Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tantra: <font color=#FF0000>Tafsir Baru Panji</font>

Panji adalah kisah asmara populer dari Jawa Timur abad ke-14. Kisah ini menceritakan Pangeran Panji Inu Kertapati yang mencari kekasihnya, Candra Kirana, yang hilang. Sampai saat ini, kisah Panji hidup dalam seni pertunjukan tari topeng.

Seorang arkeolog asal Jerman bernama Lydia Kieven tertarik meneliti relief-relief Panji di candi-candi di Jawa Timur. Bertahun-tahun ia naik-turun gunung melakukan studi ikonografi. Disertasinya tentang Panji yang tahun lalu diselesaikannya di Australia bisa menimbulkan pro-kontra.

Menurut dia, kisah Panji sesungguhnya adalah simbol dari aliran religi tantrisme yang berkembang di Jawa Timur saat itu. Tantrisme adalah aliran yang menekankan, demi mencapai Tuhan, orang harus melalui ritual olah asmara. Lydia hadir dalam Festival Seni Rupa Panji di pelataran Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, pertengahan Juni lalu. Berikut ini laporan Tempo tentang tafsir baru Panji itu disertai reportase kondisi situs-situs di Jawa Timur yang memiliki relief Panji.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah siraman sinar matahari yang beranjak siang, gambar sosok pria yang terpahat pada relief itu terlihat cukup jelas. Sosok itu tampak gagah. Ia mengenakan topi tekes, tutup kepala mirip blangkon tapi tanpa tonjolan di belakang kepala, bertelanjang dada, serta mengenakan kain berlipat dari pinggang hingga di bawah lutut.

Sosok pria itu duduk di atas kereta tanpa kuda dengan salah satu kakinya menyilang. Ia diiringi lima orang. Empat orang di depan dan satu orang lagi duduk bersimpuh di bawah kaki sosok itu.

Relief sosok bertopi tekes yang terpahat pada situs Gambyok di sebuah makam keramat di Desa Gambyok, Kecamatan Grogol, Kediri, Jawa Timur, itu paling diyakini para arkeolog kita sebagai sosok Raden Panji dalam kisah Panji. Sosok serupa tidak ditemui pada relief candi-candi di Jawa Tengah. Ia hanya ada di candi-candi di Jawa Timur. Sosok seperti itu di relief-relief candi di Jawa Timur selalu didampingi para pengiring, baik di depan maupun di belakang.

Seperti diketahui, cerita Panji merupakan kisah sangat populer yang berkembang di zaman Majapahit (1300-1500 Masehi). Dari Majapahit, cerita itu menyebar ke seluruh Asia Tenggara dengan berbagai variasinya. Cerita tersebut mengisahkan Raden Panji dari Kerajaan Jenggala dan Putri Candra Kirana dari Kerajaan Kediri yang mau menikah. Tapi mereka terpisah dan lama harus saling mencari sebelum akhirnya bisa ketemu dan menyatu.

Publik selama ini menerima kisah Panji sebagai cerita percintaan yang menuturkan pahit dan getirnya ”perjalanan kehilangan” sepasang kekasih. Tapi Lydia Kieven, 54 tahun, arkeolog Jerman yang datang ke Festival Seni Rupa Panji di pelataran Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur, pada Ahad pertengahan Juni lalu, membawa penafsiran lain.

Bertahun-tahun ia naik-turun gunung di Jawa Timur, meneliti sejumlah situs dan candi yang memuat cerita Panji. Ia berpendapat: kisah Panji sesungguhnya memiliki arti simbolis yang lebih dalam daripada sekadar cerita asmara biasa. Kisah Panji adalah perlambang sebuah sikap religiositas tertentu. Pendapat itu ia tuangkan dalam disertasi gelar doktor berjudul ”Meaning and Function of the Figures with a Cap in Reliefs at East Javanese Temples of the Majapahit Period” di Universitas Sydney, Australia, tahun lalu.

Yang kontroversial, ia melihat kisah Panji tersebut sesungguhnya adalah simbol religi sekte tantrisme yang hidup di Jawa Timur saat itu. Selain situs Gambyok, ada enam candi yang menjadi obyek penelitiannya, yakni Candi Penataran, Surowono, Mirigambar, Yudha, Kendalisodo, dan Selokelir. ”Penataran adalah candi yang terbesar dan paling banyak memiliki relief tentang cerita Panji,” kata Lydia kepada Tempo.

Kompleks Candi Penataran memiliki panjang sekitar 180 meter dan lebar 60 meter, punya halaman yang berderet dari barat ke timur. Teras pendapa halaman pertama dihiasi relief naratif cerita Panji. Dalam relief itu tampak seorang laki-laki bertopi tekes dan seorang perempuan berambut panjang. Menurut Lydia, dua-duanya acap muncul dalam adegan kasih asmara yang romantis, tapi sering juga dalam situasi duduk dan saling merindukan.

Dalam relief di beberapa candi lain, seperti Candi Kendalisodo, lebih jauh Lydia melihat banyak adegan yang menggambarkan Panji tengah bercengkerama dengan kekasihnya, Candra Kirana, dengan mesra dan erotis.

Lydia menafsirkan adegan hubungan asmara yang erotis itu menjadi petunjuk pada ajaran tantra, yang pada masa Majapahit dipraktekkan dalam kepercayaan Hindu dan Buddha. Tantra merupakan salah satu jalan utama untuk mencapai penyatuan dengan dewa saat manusia masih hidup. Satu di antara cara penyatuan itu adalah dengan berhubungan asmara atau bersanggama.

Tafsiran tentang adanya ajaran tantrisme itu, menurut Lydia, didukung banyaknya adegan dalam relief yang menggambarkan Panji bersama seorang resi. Lydia mengartikan resi sebagai guru spiritual Panji. ”Di Candi Penataran ada banyak relief pertemuan antara Panji dan resi,” katanya.

Selain itu, menurut Lydia, dalam relief terdapat banyak adegan yang menggambarkan Panji dan kekasihnya tengah menyeberangi air. Dalam mitologi Hindu dan Buddha, menyeberangi air merupakan simbol untuk maju dari satu tingkat pengetahuan kebijaksanaan ke tingkatan yang lebih tinggi. ”Menyeberangi air bisa menjadi simbol perjalanan menuju spiritual tingkat tinggi,” ujarnya menjelaskan.

Lydia menganalisis mengapa demikian banyak gambar relief Panji dipahatkan di relief candi di Jawa Timur. Itu, menurut dia, untuk memudahkan para peziarah dahulu kala melakukan inti ritual tantrisme. Relief-relief itu dimaksudkan menyiapkan para peziarah untuk mampu melaksanakan ritual pada bagian sakral candi.

Di Candi Penataran, misalnya, cerita Panji yang terpahat pada relief di teras pendapa menjadi pintu masuk bagi para peziarah untuk melakukan ritual di halaman induk candi yang sakral. Pada relief induk Candi Penataran terpahat cerita tentang Ramayana dan Krisna—yang dalam sastra India merupakan cerita tentang dewa. Jadi, secara simbolis, cerita Panji yang mengandung ajaran tantrisme sebagai perantara untuk penyatuan dengan dewa.

Tafsir baru Lydia yang menyatakan adanya unsur tantrisme dalam cerita Panji menuai pro-kontra. Lydia sadar banyak kalangan di Indonesia yang menentang dan menganggap tafsiran Lydia dibuat-buat. Bahkan ada yang mengatakan tafsirannya berlebihan. Adapun yang mendukung sepakat bahwa relief Panji itu bukan sekadar hiburan, melainkan memiliki arti dan simbolisme sangat tinggi.

l l l

Penelitian tentang Panji memang terus dilakukan sejumlah sarjana. Hal itu terjadi karena masih banyak yang beranggapan bahwa Panji adalah sosok fiktif yang hanya ada dalam dongeng. Citra itu tak lepas dari kemasan budaya tutur Panji yang lebih berupa ”dongeng yang disejarahkan” ketimbang ”sejarah yang didongengkan”.

Sebelum Lydia Kieven meneliti Panji dari aspek religi, sejumlah ahli juga pernah melakukan penelitian dari aspek lain. Profesor Poerbatjaraka (almarhum), misalnya, meneliti Panji dari segi filologi (segi naskah dan teks tertulis) dan sastra. Ia meneliti Panji dari penokohan dan alur ceritanya, seperti tertuang dalam bukunya, Tjeritera Pandji dalam Perbandingan, terbitan Gunung Agung (1968).

Poerbatjaraka mencoba mengkritik pendapat umum tentang asal-usul Panji yang dikatakan bermula pada masa awal Majapahit. Menurut dia, Panji itu bermula dari Kerajaan Kediri. Raden Panji, kata dia, adalah lambang dari Sri Kameswara, Raja Kediri yang mempunyai permaisuri bernama Kirana Ratu.

Setelah Poerbatjaraka, pembicaraan tentang Panji boleh dibilang sepi. Baru sekitar 1978, arkeolog Setyawati Sulaeman mengungkapkan hasil penelitiannya. Menurut arkeolog perempuan pertama Indonesia ini, cerita Panji yang terpahat pada relief di sejumlah candi di Jawa Timur merupakan bukti tampilnya kembali kekuasaan Kerajaan Kediri setelah Majapahit surut.

Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, meneliti Panji dari aspek sejarah. Dalam lembar sastra berjudul ”Citra Panji pada Masa Majapahit” yang diterbitkan sekitar 1988, Agus menyatakan bahwa cerita Panji itu jelas mengandung sisi religi. Menurut Agus, tidak mungkin relief yang tidak bernapaskan agama akan dipahatkan di bangunan suci seperti candi. ”Kalau cerita Panji itu hanya cerita asmara biasa,” katanya, ”tidak mungkin dipahatkan di tempat suci seperti candi.”

Selain bertopi tekes, ditemani para pengiring, dan berhadapan dengan perempuan, menurut Agus, Panji mahir berperang, bermain gamelan, dan bercinta serta bersikap santun. Nah, dalam relief-relief itu Panji digambarkan sebagai sosok yang santun terhadap kekasihnya. ”Kalau Lydia Kieven menafsirkannya sebagai tantra, itu bisa jadi ada benarnya,” katanya. ”Lewat tantra, Panji dan kekasihnya tengah melakukan ritual kebajikan.”

Jalan tantra itu, Agus menambahkan, tidak hanya bersetubuh. Tantra itu ada dua, tantra kiri dan tantra kanan. Tantra kiri ditempuh dengan jalan mengerikan (wamamarga), dengan melakukan hal-hal yang dilarang, seperti matsya (makan ikan gembung sampai mabuk) dan madat (mabuk). Adapun tantra kanan dilaksanakan melalui jalan yang baik (baktimarga), seperti meditasi. Tapi kedua tantra itu tujuannya sama: untuk bersatu dengan dewa saat manusia masih hidup.

Kalaupun Lydia menafsirkan Panji—yang digambarkan bersikap santun terhadap kekasihnya—sebagai ritual tantra, itu masuk ke dalam tantra kanan. ”Tapi, harus diingat, tak ada satu pun cerita Panji yang menyatakan secara konkret perihal ritual agama,” kata Agus. ”Inilah kelemahan tesis Lydia.”

Agus menyatakan ia mencoba mencari soal ritual tantra dalam naskah cerita-cerita Panji, ternyata tidak ada. Memang, dalam sejumlah cerita Panji disebutkan bahwa Panji melakukan ritual atau upacara dengan persembahan, seperti kerbau, serta ada gamelan dan tari-tarian. ”Tapi tidak ada ritual tantra,” ujarnya.

Lydia menangkap cerita Panji dari relief-relief kemudian membandingkannya dengan naskah cerita Panji. Menurut Agus, seharusnya Lydia lebih dulu melihat naskah cerita Panji, apa saja uraiannya, baru kemudian meneliti reliefnya. Sebab, secara logika, kisahnya dulu ada, baru kemudian dipahatkan pada dinding candi.

Sayangnya, kata Agus, Lydia lebih bermain di reliefnya. Menurut Agus, sebetulnya dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Lydia, ia sendiri juga melakukan penelitian tentang Panji. Agus malah mendapatkan temuan lain. Ia melihat kisah Panji itu merupakan penggalan peristiwa sejarah pada masa Majapahit.

Menurut Agus, kisah Panji itu sesungguhnya memuat atau memetaforakan peristiwa kegagalan Raja Majapahit menikah dengan putri Sunda. Ini metafora kisah Hayam Wuruk yang gagal menikah dengan Dyah Pitaloka, seperti dimuat dalam kitab Pararaton, Kidung Sunda, dan Carita Parahyangan.

Dalam kitab Pararaton, Kidung Sunda, dan Carita Parahyangan, misalnya, terdapat penggalan peristiwa demikian: ... Putri Raja Sunda membunuh diri di Bubat setelah terjadinya pertempuran berdarah akibat ambisi politik Patih Majapahit. Hayam Wuruk sangat sedih, dan mengalami kedukaan yang mendalam karena putri Sunda merupakan cinta pertamanya....

Penggalan peristiwa itu mempunyai kemiripan dengan uraian dalam cerita Panji: ... Terbunuhnya kekasih Panji yang pertama (Martalangu/Angreni), padahal kekasih itu merupakan tumpuan cinta Panji dan pilihan pribadinya. Panji sangat merasakan kesedihan yang mendalam, bahkan sering pingsan dan kehilangan ingatan....

Menurut Agus, masih banyak peristiwa sejarah masa Majapahit lainnya yang mirip uraian dalam cerita Panji. Misalnya, pembangunan pedukuhan di Wilwatika (Majapahit) yang dilakukan Raden Wijaya dan kawan-kawan dengan pembangunan pesanggrahan yang dilakukan oleh Raden Panji dan kawan-kawan.

Berangkat dari kemiripan-kemiripan itu, Agus berpendapat, candi-candi atau punden-punden di Jawa Timur yang dihiasi relief cerita Panji sesungguhnya dimaksudkan untuk memperingati Hayam Wuruk. ”Candi-candi itu dibuat sebagai tempat suci untuk memuliakan Hayam Wuruk.” Menurut dia, masyarakat saat itu percaya bahwa Hayam Wuruk adalah mediator yang baik untuk menuju dewa. Bersembahyang di candi-candi yang diperuntukkan bagi Hayam Wuruk adalah jalan mendekati dewa.

Namun Agus tak sejauh Lydia, yang menafsirkan bahwa relief Panji di candi-candi Jawa sebetulnya adalah sebuah petunjuk untuk mengikuti tata cara ritual tantrisme. ”Saya tidak berani seperti Lydia Kieven, yang beranggapan bahwa relief Panji sesungguhnya pintu masuk peribadatan tantrisme,” katanya.

Nurdin Kalim, Ismi Wahid, Bibin Bintariadi (Blitar), Hari Tri Wasono (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus