Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUNDING Levi baru tersadar ia terjebak di tengah massa saat polisi, lewat pengeras suara, memberikan peringatan: “Kalian sudah kami potret dan rekam, jadi tak usah macam-macam. Lebih baik bubar.” Beberapa saat setelah suara menghilang, bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pun pecah. Hujan batu dari pengunjuk rasa dan peluru karet dari senjata polisi pun berhamburan.
Pertengahan Maret 2006 itu, Cunding, koresponden Tempo di Jayapura, tengah meliput aksi unjuk rasa di Jalan Abepura-Sentani di depan Universitas Cenderawasih. Ini demo besar-besaran yang dilakukan oleh mereka yang menamai diri Front Aksi Nasional Penutupan Freeport. Dua batalion polisi dikerahkan untuk membubarkan massa.
Di tengah bentrokan inilah sesuatu yang tak diduga Cunding terjadi. Massa mengira ia intel polisi. Tak hanya dilempari, ia dipukuli. Cunding terjatuh. Ia pingsan dengan hidung berdarah. Seseorang kemudian menyelamatkannya.
Saat sadar, yang pertama dicari Cunding adalah kamera sakunya. Beruntung, kamera itu selamat. “Semua hasil pekerjaan saya untuk Tempo ada di situ.” Beberapa saat kemudian, Cunding sudah kembali ke lokasi unjuk rasa untuk bekerja lagi.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Tragedi Cenderawasih. Laporan Cunding ini—ia dibantu istrinya, Lita, yang saat itu juga bekerja untuk Tempo—dimuat di edisi 20-26 Maret 2006 dengan judul “Kebrutalan di Sebuah Jembatan”.
Buntut tulisan ini, Cunding kemudian juga dikuntit polisi. Polisi rupanya mengira ia bagian dari pengunjuk rasa. Para wartawan di Jakarta belakangan baru tahu Cunding menjadi korban justru dari berita televisi. Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti, yang waswas dengan keselamatan Cunding, menawari pria berambut keriting itu keluar dulu dari Jayapura. Cunding menolak.
Mencintai profesinya sepenuh hati, mungkin itulah yang membuat wartawan Tempo, meminjam istilah sejumlah orang, militan. Tak hanya dalam meliput benda hidup, tapi juga ”benda mati”.
Demikianlah misalnya yang dilakukan Dwidjo Utomo Maksum, bekas koresponden Tempo di Kediri, yang kini ditarik ke Jakarta. Saat Gunung Kelud diberitakan bakal meletus, Dwidjo justru menongkrongi gunung itu dari lokasi yang terdekat. Perintah dari redaksi Jakarta untuk turun karena, menurut prediksi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, gunung itu dalam situasi gawat tak digubrisnya. Dwidjo baru turun setelah berhari-hari kemudian gunung itu ternyata tak juga meletus.
Menjadi wartawan di daerah, menurut Dwidjo, tak mudah. Ini lantaran para koresponden harus menjaga ”ideologi” independensi yang memang diterapkan dengan ketat oleh Tempo. Yang juga dituntut adalah laporan yang detail, eksklusif, dan cover both sides. Seperti di Jakarta, para wartawan di daerah mesti mengirim laporan dengan sumber-sumber yang lengkap. Laporan yang bolong-bolong dipastikan akan dikembalikan.
Tempo sendiri memakai sejumlah cara untuk merekrut korespondennya di daerah atau luar negeri. Ada yang melamar langsung, ada pula yang ”dipinang” lantaran Tempo memerlukannya untuk meng-cover peristiwa yang terjadi di tempatnya berada. Ada yang sudah lulus kuliah, ada pula yang berstatus mahasiswa.
Wartawan kami di Mesir, Akbar Pribadi, misalnya, adalah mahasiswa Universitas Kairo. Akbar masuk Gaza saat Israel menyerang wilayah itu pada akhir 2008. Akbar memang andalan kami jika terjadi suatu peristiwa besar di Timur Tengah yang mesti kami liput untuk diberitakan. Ia misalnya pernah mewawancarai Abdl. Hamed Hassan al-Ghazali, bekas Ketua Biro Politik Ikhwanul Muslimin, dan tentu saja meliput aksi unjuk rasa di Mesir beberapa waktu lalu yang menjungkalkan Presiden Husni Mubarak.
Kami memang berharap Akbar meneruskan keuletan seniornya dalam soal mengejar narasumber atau mendapat liputan eksklusif, seperti yang dilakukan Yuli Ismartono. Wartawati Tempo ini pernah berkelana dan meliput ladang opium Khun Sa di perbatasan Thailand dan Burma di wilayah Segitiga Emas.
Tempo memang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi koresponden untuk bergabung dengan teman-teman mereka di “pusat”, Jakarta. Salah satu kriterianya, mereka mesti berprestasi dan teruji di lapangan. Jika setuju, mereka akan menjalani tes laiknya rekan mereka di Jakarta. Tempo kini memiliki koresponden di hampir semua ibu kota provinsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo